Survei: 53 Persen Masyarakat Sulit Urus Izin UKM
Merdeka.com - Survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mencatat 53 persen warga menilai sulit mengurus izin untuk mendirikan usaha kecil menengah (UKM). Sementara 48 persen warga menilai UKM sulit mendapatkan modal usaha.
Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas, mengatakan, survei tersebut dilakukan melalui wawancara per telepon pada 2.003 responden di seluruh Indonesia (dengan margin of error 2,2 persen) pada 24-26 Juni 2020.
"Dalam kondisi ekonomi yang sulit ini, pemerintah perlu serius membantu bangkitnya usaha di tingkat kecil dan menengah. Kalau memang benar RUU Cipta Kerja dirancang untuk membantu kemudahan izin dan modal usaha, RUU ini perlu segara dirampungkan," ujar dia dalam keterangannya, di tulis Rabu (1/7).
-
Siapa yang mendapat bantuan modal UMKM? Mereka adalah mayoritas pedagang kecil yang mendapatkan modal bantuan Rp500 per orang. Beberapa pelaku UMKM yang mendapatkan bantuan antara lain adalah pedagang gorengan, nasi uduk, minuman, jajanan anak-anak dan para pemilik warung kecil di pinggir jalan.
-
Apa itu UMKM? UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai jenis usaha kecil yang dijalankan oleh individu atau kelompok dengan modal terbatas, tetapi memiliki peran penting dalam perekonomian suatu negara.
-
Bagaimana cara UMKM dikelola? UMKM umumnya memiliki karakteristik usaha yang berskala kecil atau menengah, baik dari segi jumlah tenaga kerja, pendapatan, maupun aset yang dimiliki.
-
Dimana UMKM beroperasi? UMKM meliputi berbagai sektor ekonomi, termasuk kuliner, fashion, otomotif, dan jasa lainnya.
-
Mengapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Apa saja tantangan serius yang dihadapi UKM? Tantangan tersebut mencakup permasalahan akses pembiayaan, akses pemasaran, entrepreneurship, hingga penciptaan ekosistem digital di sektor UKM.
Menurut survei SMRC, 53 persen warga menilai sulit mengurus izin untuk mendirikan usaha kecil menengah (UKM). Yang menilai mudah ada 40 persen. Adapun warga Indonesia yang pernah mengurus izin usaha itu sendiri sekitar 22 persen dari keseluruhan warga Indonesia.
Penilaian warga tentang kemudahan UKM mendapatkan modal usaha sekarang ini pun tidak berbeda. Sekitar 48 persen warga menilai UKM sulit mendapatkan modal usaha. Yang menilai mudah hanya 25 persen.
Dibandingkan tiga bulan lalu, jumlah warga yang menilai sulit bagi UKM untuk mendapat modal usaha sekarang terlihat meningkat. Pada Maret 2020, warga yang menilai sulit bagi UKM untuk mendapat modal usaha baru sekitar 34 persen.
Selain itu, 45 persen warga Indonesia yang pernah mengurus izin usaha menilai sulit mengurus izin usaha. Sebaliknya, yang menilai mudah ada 48 persen.
Penilaian warga tentang kondisi mengurus izin mendirikan usaha yang sulit di atas konsisten dengan penilaian warga bahwa izin usaha di Indonesia termasuk yang paling sulit di antara negara-negara ASEAN (Asia Tenggara). Sekitar 46 persen warga yang setuju bahwa izin usaha di Indonesia paling sulit di antara negara-negara ASEAN. Sebaliknya, yang tidak setuju lebih sedikit, yaitu 21 persen.
Menurut Abbas, penilaian warga terhadap sulitnya mengurus izin mendirikan usaha terutama berasal dari kelompok warga yang berpendidikan dan berpenghasilan lebih rendah. Rinciannya, 67 persen warga yang berpendidikan SD dan 60 persen warga yang berpendidikan SMP yang menilai sulit mengurus izin mendirikan usaha.
"Warga yang menilai sulit bagi UKM untuk mendapat modal usaha lebih banyak ditemukan di kalangan warga berpendapatan rendah, yaitu 59 persen masih mencari pekerjaan, 54 persen pedagang warung/kaki lima, 52 persen petani/peternak/nelayan. Juga mereka yang berpendapatan harian," tuturnya.
Abbas mengatakan penilaian negatif warga tentang mengurus izin mendirikan UKM, kemudahan UKM mendapat modal usaha, dan mengurus izin usaha harus mendapat perhatian serius pemerintah. Sebab, kelompok inilah yang mengalami dampak ekonomi paling parah akibat wabah Covid-19.
Survei ini menunjukkan mayoritas warga, 70 persen merasa kondisi ekonomi rumah tangganya sekarang lebih buruk atau jauh lebih buruk dibanding sebelum ada wabah Covid-19. Sisanya, sekitar 19 persen merasa tidak ada perubahan, 9 persen merasa lebih baik, dan 1 persen tidak menjawab.
"Memang terjadi penurunan penilaian warga yang merasa kondisi ekonomi rumah tangganya sekarang lebih buruk bila dibandingkan pada survei 20-22 Mei sebesar 83 persen. Tapi penilaian 70 persen itu masih tetap besar," tegas dia.
Survei SMRC ini juga menunjukkan bahwa dalam sebulan terakhir ada peningkatan harapan warga terhadap kondisi ekonomi nasional. Mayoritas warga, 75 persen memang mengaku pendapatan merosot setelah adanya wabah.
Namun, 49 persen warga optimistis kondisi ekonomi rumah tangganya akan lebih baik setelah wabah Covid-19 berakhir. Sementara yang menilai menjadi lebih buruk atau tidak ada perubahan 45 persen.
Mayoritas warga, 84 persen, juga menilai kondisi ekonomi nasional sekarang lebih buruk atau jauh lebih buruk dibanding tahun lalu. Namun dibandingkan survei 12-16 Mei, di mana 92 persen warga menganggap kondisi ekonomi nasional memburuk, dapat dikatakan ada penurunan persentase mereka yang pesimistis.
Warga yang optimistis dengan ekonomi rumah tangganya, yakni yang menilai ekonomi rumah tangga tahun depan lebih baik atau jauh lebih baik dibanding sekarang, mencapai sekitar 44 persen. Sementara yang menilai akan lebih buruk atau jauh lebih buruk atau tidak ada perubahan 43 persen.
"Warga secara umum masih kurang optimistis dengan kondisi ekonomi nasional, hanya 36% yang menilai ekonomi nasional tahun depan akan lebih baik dibanding sekarang. Namun demikian, dibanding temuan bulan lalu (5-6 Mei 2020) di mana yang merasa optimis hanya 27%, optimisme warga sekarang dalam melihat kondisi ekonomi nasional ke depan terlihat sedikit menguat," imbuh dia.
Abbas menyebut adanya peningkatan optimisme itu mungkin antara lain terpengaruh oleh dimulainya era Normal Baru yang diharapkan turut mendongkrak aktivitas ekonomi nasional. Namun, prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 oleh berbagai lembaga terkemuka menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia masih akan negatif, misalnya Kementerian Keuangan (-0,40); IMF (-030); ADB (-1,040), hingga OECD (-2,80).
Untuk itu, intervensi negara mutlak diperlukan agar skenario positif yang dibayangkan warga bisa terwujud. Antara lain pemerintah harus tegas mempermudah izin usaha dan mempermudah akses modal usaha bagi terutama masyarakat kalangan kecil dan menengah.
"Kalangan tersebut akan bisa menjadi faktor penentu kebangkitan ekonomi Indonesia. Bila RUU Cipta Kerja memang akan menjawab persoalan-persoalan serius itu, sebaiknya RUU itu segera dirampungkan," tukasnya.
Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten masduki mengatakan secara garis besar hasil survei SMRC ini hendak menguatkan pentingnya peran RUU Cipta Kerja dalam menjawab tantangan sosial-ekonomi. Salah satunya menyelesaikan masalah UMKM terkait perijinan dan pembiayaan bagi pelaku usaha UMKM nasional.
"Hasil survey ini sangat berguna untuk memperbaiki prosedur perijinan dan akses pembiayaan," ujar Teten dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu (1/7).
Namun, dia menyebut terkait urusan perizinan UMKM tidak berada di ranah kementeriannya. Sebab urusan dalam perizinan ini ada sebagian di pemerintah daerah, ada OSS di BKPM, juga izinedar di BPOM.
Di sisi lain, pihaknya juga akan akan menindaklanjuti hasil survei yang menemukan bahwa Pulau Kalimantan, Maluku, Papua, Sumatera, Bali, dan Nusa Tenggara masuk kategori paling sulit mengakses perijinan. Sehingga akan dilakukan pendampingan lebih bersama pemerintah daerah setempat.
Pun, hasil survei yabg mencatat kelompok petani, nelayan, dan peternak termasuk diantara kelompok masyarakat yang paling sulit mendapatkan perijinan telah diantisipasi oleh pihaknya. Yakni, dengan memberikan prioritas pembentukan koperasi pangan di wilayah pedesaan.
Terkait problem pembiayaan, Menteri teten juga sudah lakukan koordinasi bersama pihak terkait. Seperti sinergi hotline untuk masalah pembiayaan dengan bank pelaksana, turun ke pasar, koperasi dan pelaku UMKM untuk memastikan penyaluran berjalan baik, sinergi bersama Kementerian/Lembaga terkait, sampai memperkaya literasi terkait mekanisme yang tepat bagi pembiayaan UMKM.
"Hal ini untuk memastikan tiap UMKM semakin mudah dalam mengakses pembiayaan bagi bisnisnya," tandasnya.
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Masih banyak UMKM Indonesia menghadapi kendala dalam adopsi teknologi digital.
Baca SelengkapnyaSebanyak 29,2 juta pelaku UMKM saat ini belum memperoleh akses pembiayaan dari perbankan.
Baca SelengkapnyaTarget penyaluran kredit perbankan UMKM hingga 30 persen sulit tercapai karena berbagai faktor. Sebab, ekspansi bisnis UMKM kini tengah melemah.
Baca SelengkapnyaSekitar 30 juta UMKM belum mengakses pembiayaan perbankan.
Baca SelengkapnyaPemerintah telah menyediakan berbagai skema pembiayaan untuk mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah.
Baca SelengkapnyaAdanya pelaku UMKM yang mengajukan pinjaman melalui Fintech lending, disebabkan mereka yang selama ini belum dapat mengakses industri perbankan.
Baca SelengkapnyaPadahal, lanjut Jokowi, dukungan kredit perbankan amat diperlukan pelaku UMKM dalam menjalankan maupun mengembangkan skala bisnisnya.
Baca SelengkapnyaKeterbatasan akses terhadap modal dapat menghambat pertumbuhan dan pengembangan usaha yang potensial.
Baca SelengkapnyaOJK telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mendorong perusahaan termasuk UMKM melakukan penawaran umum di Pasar Modal.
Baca SelengkapnyaKemenkop UKM juga menemukan ada dana KUR yang diterima tidak sepenuhnya dipakai untuk modal usaha.
Baca SelengkapnyaPemerintah akan mendata UMKM untuk menyusun kebijakan dan program pembangunan UMKM yang tepat sasaran dan efektif.
Baca SelengkapnyaPembiayaan UMKM harus dipermudah, karena penyaluran kredit perbankan ke UMKM baru 21 persen dari total kredit yang ada.
Baca Selengkapnya