3 November 1956 Tentara Israel Bantai Warga Palestina di Depan Mata Seorang Bocah, di Kemudian Hari Bocah Itu Jadi Pemimpin Hamas
Menurut sejarah, pada tahun 1956, Israel sudah pernah menyatakan niatnya untuk “memberantas” militan Palestina di Jalur Gaza itu.
Akhir bulan lalu, Israel mengumumkan pasukan daratnya menginvasi Gaza dengan tujuan “memberantas Hamas”.
3 November 1956 Tentara Israel Bantai Warga Palestina di Depan Mata Seorang Bocah, di Kemudian Hari Bocah Itu Jadi Pemimpin Hamas
Dari 1949 sampai 1951, ribuan warga Palestina, sebagian besar di antaranya tidak bersenjata, pulang kembali ke rumah mereka setelah perang, seperti yang dilakukan para pengungsi. Bagi Israel yang waktu itu negaranya baru berdiri, warga Palestina bukanlah pengungsi, mereka adalah “penyusup”.
Ribuan warga Palestina yang tak bersenjata dibantai militer Israel ketika mereka mencoba kembali ke rumah.
Kekerasan melahirkan kekerasan
Menurut sejarawan Palestina dari Univeristas Princeton, Zachary Foster, pejuang Palestina melancarkan puluhan serangan dalam beberapa tahun berikutnya. Pada April 1956, misalnya, militan Palestina menyusup ke Israel dari Gaza dan melakukan penembakan sinagoga Shafrir, yang menewaskan enam anak Israel.
Namun, pembalasan Israel tak kalah brutal. Dari tahun 1949 hingga 1956, pasukan Israel membunuh 2.700 hingga 5.000 warga Palestina.
- Israel Kembali Bom Gaza Hanya Beberapa Menit Setelah Gencatan Senjata Berakhir, Sejumlah Warga Palestina Terbunuh
- Israel Kuasai RS Al-Shifa Gaza, Jadikan Pusat Penyiksaan dan Penahanan
- Pemerintah Kirim Lagi 26,5 Ton Bantuan untuk Palestina, Ada Tenda hingga Makanan
- Perang Besar! Hamas Arak Jenderal Israel di Jalan Kota Gaza, Kolonel Senior Didor Sampai Tewas
Namun, pembalasan Israel tak kalah brutal. Dari tahun 1949 hingga 1956, pasukan Israel membunuh 2.700 hingga 5.000 warga Palestina. Sebagian besar yang tewas adalah orang-orang yang tidak bersenjata, tetapi itu tidak cukup untuk menghentikan serangan lintas perbatasan.
Israel mungkin membunuh sebagian besar pejuang fedayeen (pejuang kemerdekaan) di Gaza, tetapi mereka gagal membunuh gagasan bahwa warga Palestina memiliki hak untuk hidup di Palestina.
Oleh karena itu, setelah tujuh tahun pembalasan yang tidak sepadan, militer Israel menetapkan tujuan "memberantas" perlawanan militan Palestina dari Gaza.
Sumber: evergreenreview.com
Mereka menginvasi Gaza pada 1956 dan menduduki Jalur Gaza dari Oktober 1956 hingga Maret 1957. Pasukan Israel membunuh ribuan pejuang Palestina dan mengeksekusi puluhan orang.
Benny Morris, seorang sejarawan Israel, menjelaskan insiden pada periode tersebut secara rinci dalam bukunya “Israel's Border Wars”.
"Pada 3 November [1956], hari ketika Khan Yunis ditaklukkan, pasukan Israel (IDF) menembak mati ratusan pengungsi Palestina dan penduduk setempat di kota itu. Salah satu laporan PBB menyebutkan 'sekitar 135 penduduk setempat' dan '140 pengungsi' tewas ketika pasukan IDF bergerak melalui kota dan kamp pengungsi 'mencari orang yang memiliki senjata.'" (Morris, Israel's Border Wars, 408).
Tentara Israel mengumpulkan sekitar 15 pria Palestina, menyuruh mereka menghadap sebuah tembok. Adegan selanjutnya terlalu keji untuk diceritakan. Mereka mengeksekusi para pria itu.
Seorang bocah delapan tahun, Abdulaziz Rantissi, menyaksikan kejadian itu di depan matanya. Di kemudian hari bocah itu menjadi salah satu pendiri Hamas.
Meskipun militer Israel berhasil menghentikan serangan dari Gaza, mereka hanya mendorong perlawanan militer Palestina ke Tepi Barat, di mana para pejuang melancarkan sekitar 17 serangan dalam tiga tahun berikutnya.
Pada 1959 mereka mendirikan sebuah organisasi bernama Fatah, singkatan bahasa Arab untuk Gerakan Pembebasan Nasional Palestina. Organisasi ini menjadi musuh utama Israel selama 40 tahun berikutnya.
Israel mungkin membunuh sebagian besar fedayeen di Gaza, tetapi gagal membunuh gagasan bahwa warga Palestina memiliki hak untuk hidup di tanah mereka sendiri.
Selama dua dekade berikutnya, Fatah dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) melancarkan ratusan serangan terhadap sasaran Israel dalam upaya mereka untuk menegakkan hak tersebut dengan kekuatan.
Israel akhirnya berhasil mengusir PLO dari Libanon. Mereka juga menduduki selatan negara itu selama dua dekade. Invasi dan pendudukan Libanon oleh Israel menyebabkan munculnya gerakan baru. Alih-alih memberantas perlawanan militan, Israel malah memperparahnya. Gerakan baru itu adalah Hizbullah, musuh militer Israel yang paling tangguh hari ini.
Mereka bergabung dalam eskalasi kekerasan saat ini, melancarkan tujuh serangan lintas batas terhadap sasaran militer Israel pada 27 Oktober dan menembakkan sejumlah rudal ke wilayah Israel pada 28 Oktober. Mereka juga memaksa ratusan ribu warga Israel mengungsi dari rumah mereka di utara.
Pada tahun 1987, pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza semakin brutal. Rata-rata, Israel membunuh 32 warga Palestina setiap tahun selama dua dekade sebelumnya, dan mengusir ribuan warga Palestina dari rumah mereka.
Israel menggunakan lebih banyak kekerasan untuk meredam protes. Hamas lahir dari situasi semacam itu.
Sayangnya, setiap beberapa dekade, Israel percaya mereka bisa menumpas perlawanan Palestina dengan kekuatan yang besar, dan setiap beberapa dekade, Israel terbangun hanya untuk menemukan kekerasan semakin menjadi-jadi.
Warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki Israel dan Gaza yang diblokade meyakini mereka tidak pernah kehilangan hak untuk hidup di Tepi Barat dan Gaza tanpa kekerasan, apartheid, pendudukan dan blokade.