"Aku Menulis Ini Seandainya Seseorang Menemukan Mayatku di Gaza"
Agresi brutal Israel di Jalur Gaza, Palestina, dimulai sejak 7 Oktober dan telah menewaskan lebih dari 10.000 warga sipil.
"Aku Menulis Ini Seandainya Seseorang Menemukan Mayatku di Gaza"
Pengungsian keluarga di Gaza, Palestina, terus berlanjut, bahkan hingga memasuki minggu keempat sejak mereka dipaksa meninggalkan rumah mereka dan melarikan diri ke Gaza selatan. Berita ini membawa aliran kesedihan, kepedihan, dan rasa sakit yang terus menghantui mereka.Saat ini, kematian hanya menjadi sebuah berita yang disampaikan kepada orang lain. Mereka tidak punya banyak waktu untuk berduka. Ketika mereka mendengar seseorang yang mereka cintai meninggal, mereka hanya bisa berkata, “Semoga arwahnya beristirahat dalam damai. Tapi kami juga berpikir, kami berikutnya, hanya tidak tahu kapan.”
Sumber: Metro News
Hari itu, seorang istri dari salah satu keluarga baru saja mengetahui sepupunya telah meninggal. Dia menelepon kerabatnya untuk menyampaikan belasungkawa. Beberapa saat kemudian, dia khawatir karena kekurangan air untuk mencuci pakaiannya. Keadaan memang seburuk itu.
Kini, kematian adalah hal yang biasa, justru bertahan hidup adalah sesuatu yang aneh. Melihat matahari terbit di esok hari adalah hak istimewa yang tidak semua orang bisa nikmati.
Dia menceritakan dirinya tidur setiap malam dengan mengucapkan syahadat karena tidak yakin apakah dia akan bangun lagi. Hari-harinya selalu dimulai dengan memeriksa pesan dari semua orang yang memberitahunya bahwa mereka masih hidup. Mereka mengirim pesan dan berdoa agar pesannya mendapatkan balasan.
“Kami mengirim doa dan yakin doa itu akan didengar,” ujarnya.
Di tengah kesendirian, mereka berdiri hanya dengan satu harapan bahwa Allah akan membawa perubahan. Mereka merasa seolah-olah ditinggalkan dan diabaikan oleh dunia, dianggap sebagai kerugian tak terhindarkan dalam perang. Seolah-olah mereka dianggap kurang penting, kurang setara, dan kurang manusiawi.
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan lagi. Hati saya terbakar, pikiran saya dipenuhi dengan keputusasaan, ketakutan, penderitaan, rasa sakit, dan kelelahan,” katanya.
“Anda mungkin membaca kalimat-kalimat ini, atau mungkin tidak. Saya menulis hanya untuk berjaga-jaga. Ini menjadi kebiasaan untuk melepaskan rasa sakit saya. Saya duduk di sini dalam kegelapan, sendirian dengan kata-kata saya. Saya melihatnya sebagai wasiat, seperti cerita dalam makam seorang firaun yang mungkin ditemukan dan dibaca setelah saya pergi.”
Pada Jumat, 27 Oktober, sambungan telepon mereka di Gaza tiba-tiba terputus. Sebenarnya koneksi tersebut sudah mengalami masalah sejak awal eskalasi, tetapi setidaknya mereka masih bisa mengirim pesan singkat dan telepon yang terputus-putus.
Namun, kali ini tidak ada komunikasi sama sekali. Mereka tidak bisa menelepon atau mendapatkan berita apapun. Awalnya mereka pikir ada masalah dengan internet. Segala upaya dilakukan, bahkan merestart router berkali-kali pun tidak berhasil. Dan ketika mereka mengetahui telepon juga tidak bisa, mereka sontak menyadari ada sesuatu yang salah. Dugaan akan serangan bom menuju daerah mereka membuat ketakutan meluas.“Kaki saya membeku dan hati saya berlutut.”
Ketegangan mencapai puncak ketika seorang kerabat mendengar ada invasi darat sedang terjadi. Pencarian stasiun radio untuk mendapatkan informasi hanya menghasilkan saluran yang menyiarkan perintah evakuasi. Suara pesawat dan drone di langit, disertai ledakan yang terdengar di kejauhan, semakin menambah ketakutan.
Namun, akhirnya mereka menemukan saluran berita dan tahu bahwa invasi darat sudah resmi dimulai. Suara pesawat demi pesawat terdengar menderu di langit, melewati kepala mereka dan kemudian pesawat itu menjatuhkan bom di Gaza.“Saya bisa mendengar suara ledakan yang jauh dan suara ratusan drone yang berdengung di sekitar kami. Sepertinya mereka sangat rendah di langit. Suaranya membuat saya ketakutan.”
Dalam keheningan malam itu, segala kemungkinan buruk menghantui pikiran mereka. Mungkin serangan bom secara acak sedang mengintai mereka.
“Saya pikir akhir kami telah tiba. Saya mengucapkan syahadat dan berdoa kepada Allah untuk mendapatkan ampunan. Saya berpikir bahwa kami tidak akan bisa menghubungi ambulans karena ponsel kami tidak berfungsi.”
“Saya pikir kami mungkin akan mati, dan tidak ada yang tahu. Saya memikirkan teman-teman saya di luar negeri, saudara perempuan saya, dan teman-teman saya di lembaga amal, Islamic Relief, yang selalu mengecek kami. Ini akhirnya, pikirku.”
Mereka duduk terdiam dalam keheningan, sambil memikirkan orang-orang terdekat yang tidak bersama mereka sekarang.
“Orangtua istri saya berada di Kota Gaza dan kami berada di selatan. Istri saya mulai menangis, terutama setelah mendengar bahwa serangan udara semakin intensif di kota.”
“Saya memberitahu dia bahwa kita sekarang hidup di zaman pertengahan, ada pembunuhan di mana-mana, dan tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada siapa pun. Jika kami mati, tidak ada yang akan tahu. Jika kami terluka, tidak ada yang akan tahu. Ini adalah perasaan yang menakutkan, tidak tahu apakah keluarga dan orang yang kita cintai aman.”
Namun, yang bisa mereka lakukan hanyalah menyederhanakan dan menerima semua ini. Ya, ini adalah situasi yang harus mereka jalani. Mereka hanya bisa berharap bertahan hidup, tetapi di sisi lain juga semakin lelah dan kehilangan kepekaan.
“Perasaan kami dirampas, rumah kami, barang-barang kami, keluarga kami, kenangan kami, hidup kami,” katanya.
“Negara kami sedang dirampas.”
Seiring dengan kembalinya jaringan komunikasi, keluarga itu merasa lega karena mendapat kabar bahwa mereka dan keluarganya masih selamat. Namun, keinginan untuk mengakhiri kekerasan dan ketidakadilan yang mereka alami tetap menyala.“Alhamdulillah, kami semua baik-baik saja, sejauh ini. Tetapi kekerasan brutal dan ketidakadilan ini harus diakhiri.” Harapan mereka terletak pada masyarakat internasional untuk menghentikan penderitaan mereka dan memberi peluang untuk bertahan hidup.
Sumber: Metro News