China mencari-cari alasan sangkal penamaan Laut Natuna Utara
China masih berharap Indonesia mau tunduk dengan klaim mereka.
Pemerintah Indonesia sudah memutuskan mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara. Ternyata, Tiongkok rupanya terusik dengan langkah Indonesia dan masih berusaha memberikan sejumlah penyangkalan supaya hal itu tidak terjadi.
Dilansir dari laman CNN, Minggu (16/7), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, berkelit dia tidak mengetahui rincian keputusan Indonesia menamakan wilayah perairan di sekitar Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara. Dia cuma mencoba memberi alasan kalau hal itu seolah tidak logis.
"Pengubahan nama itu sama sekali tidak berdasar, dan tidak mendukung upaya internasional buat memberikan standarisasi penamaan kawasan," kata Shuang.
Dengan bahasa diplomasi yang terkesan sedikit memaksa, Shuang berharap kalau negara-negara, termasuk di Indonesia, berada di sekitar Laut Natuna Utara yang mereka klaim sepenuhnya mau mengakui kedaulatan Tiongkok atas kawasan itu dan tunduk.
"Kami berharap negara-negara yang ada bisa bekerja sama dan mencapai tujuan yang sama dengan China, dan bergabung mempertahankan situasi yang sulit di Laut China Selatan," ujar Shuang.
Deputi I Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno, mengatakan penamaan itu disesuaikan agar sejalan dengan sejumlah kegiatan pengelolaan migas yang dilakukan di wilayah tersebut. Selama ini, sejumlah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas telah menggunakan nama Natuna Utara, Natuna Selatan atau North East Natuna dalam nama proyeknya.
"Jadi supaya ada satu kejelasan atau kesamaan antara landas kontinen dengan kolom air di atasnya, jadi tim nasional sepakat agar kolom air itu disebutkan sebagai Laut Natuna Utara," ungkapnya.
Sesuai peta lama Indonesia edisi 1953, keterangan mengenai Laut China Selatan itu hampir mendekati wilayah Laut Jawa. "Jadi ujung laut Jawa yang berbatasan dengan Selat Karimata itu pada 1953 masih dalam klasifikasi Laut China Selatan," katanya.
Namun, karena peta 1953 itu merupakan dokumen lama, maka pemerintah melakukan pemutakhiran (update) dengan memasukkan dan memberikan nama baru di sejumlah wilayah Nusantara. Penamaan Laut Natuna sendiri, lanjut dia, sebelumnya juga telah ditetapkan pada 2002, kendati sejak 1970-an eksplorasi migas di sana telah menggunakan nama Natuna Utara.
Havas mengatakan Indonesia memiliki kewenangan untuk memberikan nama wilayah di wilayah teritorial Tanah Air. Ada pun untuk kepentingan pencatatan resmi secara internasional akan dilakukan melalui forum khusus pencatatan nama laut, yakni International Hydrographic Organization (IHO).
"Memang kita perlu 'update' terus penamaan laut ini. Untuk PBB nanti kita berikan 'update' juga batas yang sudah disepakati. Ini supaya masyarakat internasional mengetahui kalau lewat dia paham itu wilayah mana," katanya.
Peta dunia terkait nama Laut China Selatan, Havas mengatakan penamaannya dikembalikan sesuai dengan nama di peta dunia. "Dulu kan ada keppres mengenai penggantian nama China jadi Tiongkok, kami tidak mengganti tapi mengembalikan sesuai nama internasional. Karena itu ditujukan untuk negara dan nama keturunan orang, jadi tidak terlalu relevan dengan nama laut," tutupnya.
Pemerintah menetapkan pembaruan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah serangkaian pembahasan sejak Oktober 2016.
Penetapan dilakukan oleh 21 perwakilan kementerian-lembaga terkait yakni Kemenko Kemaritiman, Kemenko Perekonomian, Kemenko Polhukam, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI, Pusat Hidrografi fan Oseanografi TNI AL, Polri, Bakamla, Badan Informasi Geospasial, LIPI, BPPT dan BMKG.
Pada peta NKRI 2017, terdapat beberapa perubahan dan penyempurnaan atas perkembangan hukum internasional juga penetapan batas maritim dengan negara tetangga.
Indonesia mengikuti langkah Filipina dalam perebutan klaim lautan itu. Enam tahun lalu, Filipina mengubah kawasan perairan di sebelah barat negara mereka menjadi Laut Barat Filipina. China menolak keputusan itu dan kedua negara membawa sengketa itu ke Pengadilan Dunia di Den Haag, Belanda.
Pada Juli tahun lalu, Pengadilan Internasional mengabulkan klaim Filipina. Mereka juga menyatakan China tidak memiliki bukti-bukti hukum mendukung klaim dengan argumen sejarah versi mereka dalam kawasan Laut China Selatan.
Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia juga menolak klaim China. Kawasan itu memang dipenuhi pulau-pulau kecil, gugusan karang, dan laut dangkal dan menjadi jalur penting pelayaran. Bahkan kawasan itu dianggap kaya dengan sumber daya alam seperti minyak dan gas.
Demi menunjukkan kekuatan dan klaim mereka, beberapa tahun belakangan China gencar menggelontorkan duit buat membangun pulau-pulau reklamasi yang dijadikan pangkalan militer. Beberapa hari lalu mereka juga sudah mengirim pasukannya ke sejumlah fasilitas militer.
Indonesia juga menolak klaim China atas Laut China Selatan. Sebab, Indonesia kerap membekuk kapal nelayan Tiongkok yang dianggap mencuri ikan di perairan sekitar Pulau Natuna.