Kerja Sama Maritim Prabowo dengan China Dinilai Bahayakan Isu Natuna di Laut China Selatan, Ini Jawaban Kemlu
Sejumlah pengamat mengkhawatirkan kerja sama Indonesia-China dalam sektor maritim di Laut China Selatan.
Presiden Prabowo Subianto Jumat lalu menjalani kunjungan kenegaraan pertamanya ke China. Dalam pertemuannya dengan Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Qiang, Prabowo menyaksikan penandatanganan kerja sama Indonesia-China dalam berbagai sektor, termasuk salah satunya sektor maritim di Laut China Selatan.
Dikutip dari VOA Indonesia, sejumlah pengamat menyampaikan kekhawatiran atas kerja sama Indonesia-China dalam hal eksplorasi minyak di laut Natuna yang selama ini merupakan bagian dari Laut China Selatan yang dikuasai Indonesia dan masih masuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia namun diklaim oleh China.
Dalam poin 9 Pernyataan Bersama antara China dan Indonesia dikatakan "Kedua pihak akan menciptakan kerja sama maritim yang lebih cerah" dan ada kalimat yang menyebut "Kedua belah pihak mencapai pemahaman bersama yang penting mengenai pengembangan bersama di wilayah klaim yang tumpang tindih dan sepakat untuk membentuk Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah guna menjajaki dan memajukan kerja sama terkait berdasarkan prinsip 'saling menghormati, kesetaraan, saling menguntungkan, fleksibilitas, pragmatisme, dan pembentukan konsensus,' sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di masing-masing negara."
"Menurut saya ini tidak perlu dan berbahaya bagi Indonesia," kata Aristyo Darmawan, pengamat internasional dari Universitas Indonesia kepada VOA.
"Saya pikir Prabowo ingin menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Beijing, dan, oleh karena itu, hal ini mungkin menunjukkan bagaimana ia akan bersikap dalam setiap pelanggaran (China) di Laut Natuna Utara," tambahnya.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri
Ketegangan di Laut China Selatan sudah berlangsung cukup lama terkait wilayah perairan sejumlah negara termasuk Indonesia dan beberapa negara ASEAN. Wilayah itu diyakini kaya akan cadangan minyak dan gas.
China selama ini mengklaim wilayah di Laut China Selatan dengan doktrin wilayah itu masuk dalam 9 dash-lines atau sembilan garis putus-putus milik China.
Pada Desember 2020, Presiden Joko Widodo kala itu mengunjungi Kepulauan Natuna di tengah ketegangan antara kapal perang Indonesia dengan kapal penjaga pantai China yang mengawal 60 kapal penangkap ikan. Tak lama setelah itu Indonesia mengerahkan jet tempur dan kapal perang untuk berpatroli di wilayah perairan itu serta mengimimkan nota diplomatik kepada Duta Besar China untuk Indonesia.
Setahun kemudian China meminta Indonesia menghentikan pengeboran minya dan gas alam di perairan itu. Surat dari diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan kegiatan lepas pantai yang dilakukan Indonesia terjadi di wilayah China.
Pada 2023 kapal penjaga pantai China mengawal kapal penelitian China tanpa izin memasuki wilayah perairan Natuna Utara untuk melakukan eksplorasi.
Dalam pidato pelantikannya Prabowo berjanji akan memperkuat pertahanan wilayah Indonesia. Sehari kemudian Badan Keamanan Laut mengusir kapal penjaga pantai China dari wilayah Laut Natuna Utara.
Kapal yang sama kemudian balik lagi ppada 24 dan 25 Oktober, mengganggu kegiatan survei yang dilakukan oleh Pertamina. Tiga kali pelanggaran itu terjadi dalam waktu sepekan setelah Prabowo dilantik menjadi presiden. Hal ini tentu menjadi pertanyaan, apa motif sebenarnya dari Beijing.
Menanggapi isu ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam rilisnya hari ini menyatakan:
"Sejalan dengan semangat Declaration of the Conduct of the Parties in the South China Sea yang telah disepakati oleh negara-negara ASEAN dan RRC di tahun 2002 serta upaya untuk menciptakan perdamaian di kawasan Laut China Selatan, Indonesia dan China sepakat untuk membentuk kerja sama maritim. Kerja sama ini diharapkan dapat menjadi suatu model upaya memelihara perdamaian dan persahabatan di Kawasan.
Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim “9-Dash-Lines”. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara."