Hidup Etnis 'Chindo' Pada Masa Soeharto
Inpres Nomor 14 tahun 1967 bikin kehidupan etnis Tionghoa semakin terdesak.
Diskriminasi pernah dirasakan oleh etnis Tionghoa ketika masa Orde Baru. Soeharto secara terbuka mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat China.
Inpres tersebut dianggap mencekik aktivitas etnis Tionghoa di Indonesia. Salah satu diskriminasi yang dirasakan oleh etnis Tionghoa adalah larangan bagi etnis Tionghoa untuk merayakan perayaan keagamaan dan adat istiadat secara terbuka.
Perayaan hanya boleh dilakukan dalam lingkungan keluarga. Ketentuan ini tercantum dalam poin kedua Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China, yang menyatakan bahwa ‘Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga’.
Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, etnis Tionghoa merasa mereka telah didiskriminasi oleh pemerintah. Karena aktivitas mereka sangat dibatasi dan mereka dilarang merayakan perayaan keagamaan secara bebas.
Periode 1967-1998
Periode ini berlangsung antara 1967 hingga 1998, selama pemerintahan Presiden Soeharto. Larangan ini berawal dari prasangka negatif Soeharto terhadap Tiongkok, yang ia kaitkan dengan komunisme.
Oleh sebab itu, ia menganggap orang Tionghoa dan seluruh keturunannya, termasuk yang telah lama tinggal di Indonesia, sebagai ancaman.Selama lebih dari 30 tahun, etnis Tionghoa tidak bisa merayakan kebudayaan mereka secara bebas.
Perayaan Imlek, pertunjukan Barongsai, penggunaan bahasa Mandarin, dan lagu-lagu berbahasa Mandarin dilarang di ruang publik. Bahkan, agama Khonghucu beserta seluruh aktivitas peribadatannya dilarang.
Ketakutan Soeharto terhadap pengaruh China membuat para etnis Tionghoa, atau 'Chindo' kesulitan.
Jika mereka ingin melakukan atau merayakan budaya dan adat istiadat mereka maka mereka harus diam-diam melakukannya. Apalagi, hari-hari besar mereka juga tidak diberikan sebagai hari keagamaan atau libur nasional seperti sekarang.
Selain soal budaya dan agama, etnis Tionghoa juga dipersulit secara administrasi. Mereka yang bernama Cina sering mengalami hambatan dalam pengurusan administrasi.
Sehingga banyak yang mengganti nama mereka dengan nama Indonesia demi mempermudah urusan. Selain itu, mereka juga diwajibkan menunjukkan bukti bahwa mereka adalah warga negara Indonesia.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti