Potret Lawas Orang Belanda Diusir dari Indonesia Tahun 1957, Berbondong-bondong Naik Kapal Laut
Potret lawas orang-orang Belanda berbondong-bondong naik kapal laut saat diusir dari Indonesia beredar di media sosial.
Potret lawas orang-orang Belanda berbondong-bondong naik kapal laut saat diusir dari Indonesia beredar di media sosial.
Potret Lawas Orang Belanda Diusir dari Indonesia Tahun 1957, Berbondong-bondong Naik Kapal Laut
Setelah Nasionalisasi, pemerintah memerintahkan kepada semua orang-orang Belanda untuk pulang ke negera mereka. Bukan hanya orang-orang Belanda saja, warga Indonesia pro-Belanda juga mengalami pengusiran pada tahun 1957 silam. Mereka lantas berbondong-bondong naik kapal laut untuk pergi dari Tanah Air. Lantas bagaimana potret lawas orang-orang Belanda diusir dari Indonesia pada tahun 1957? Melansir dari akun Instagram perfectlifeid yang diambil dari Jack Garofalo, Kamis (13/7), berikut informasinya.Natal yang jatuh tiap 25 Desember, merupakan hari yang ditunggu-tunggu umat nasrani. Tak hanya orang dewasa, anak-anak yang masih kecil pun bersuka cita menyambutnya.
Di berbagai negara, Natal biasanya identik dengan Sinterklas. Tokoh yang kerap digambarkan berbaju merah dengan jenggot putih panjang itu biasa membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak saat Natal. Di era Orde Lama, Presiden Soekarno merupakan sosok yang sangat menyukai anak-anak. Bung Karno bahkan pernah mengundang seorang Sinterklas ke Istana untuk menyenangkan anak-anak yang diundangnya.
Warga Belanda yang masih tinggal di Indonesia saat itu pun kerap menggelar perayaan Sinterklas setiap tanggal 5 Desember, atau 20 hari sebelum Natal. Dalam tradisi Belanda, Sinterklas datang dari Spanyol dengan mengendarakan kuda. Hanya saja, di Belanda Sinterklas datang setiap tanggal 5 Desember alih-alih 25 Desember seperti negara lainnya. Akan tetapi semua itu tiba-tiba berubah 180 derajat. Bung Karno marah dan melarang perayaan Sinterklas yang biasa digelar pada 5 Desember 1957. Kemarahan Bung Karno disebabkan oleh sikap Belanda yang tidak mau hengkang dari Irian Barat.
Seperti dikutip dari buku 'Tembak Bung Karno Rugi 30 Sen' Karya; Walentina Waluyanti de Jonge, kemarahan Bung Karno semakin menjadi ketika PBB pada 29 November 1957 memutuskan Irian Barat berada di kekuasaan Belanda.
Hal itu menjadi tamparan keras bagi Bung Karno yang giat menyatukan wilayah nusantara. Ia lantas memberi ultimatum kepada orang Belanda dan keturunannya untuk segera hengkang dari Tanah Air.
Sebelumnya, sejak penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia pada 1949, Bung Karno telah mewajibkan orang Belanda untuk meninggalkan Indonesia.
Tak ada bungkus kado dan perayaan Sinterklas pada waktu itu. Padahal saat Indonesia masih dalam kondisi perang, warga Belanda dan keturunannya itu masih bisa merayakan hari Sinterklas. Namun, sejak kemarahan Bung Karno semuanya lenyap.
Gerakan anti-Belanda kemudian dengan cepat menjalar di masyarakat. Mereka menuntut orang-orang Belanda untuk segera hengkang dari Indonesia.
Warga Belanda tidak berani keluar dari rumah mereka. Puncaknya pada Desember 1957, toko-toko dan kantor pos tidak ada yang mau melayani mereka.
Orang-orang Belanda dinyatakan 'berbahaya bagi negara' dan diserukan untuk meninggalkan Indonesia. Perusahaan Belanda pun dinasionalisasi. Hubungan ekonomi antara Indonesia dengan Belanda terputus. Pada tanggal 17 Agustus 1960, hubungan diplomatis kedua negara juga diputuskan.
Hampir sebanyak 50 ribu orang Belanda meninggalkan Indonesia pada bulan-bulan berikutnya.
Mereka berbondong-bondong kembali ke negara asal mereka. Begitu pula dengan warga Indonesia pro-Belanda. Mereka menggunakan kapal laut yang disewakan oleh pemerintah Belanda.
Rumah besar, harta kekayaan, semua ditinggalkan mereka. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak membawa apa-apa, hanya membawa pakaian yang melekat di badan.
Di kapal, mereka saling menatap. Mereka bingung apa yang harus dilakukan di negeri yang ditujunya yakni Belanda. Sebab, banyak dari mereka yang merupakan keturunan alias Belanda-Indo. Mereka tak pernah datang ke negeri leluhurnya Belanda.
Istilahnya, rambut mereka boleh pirang, tapi banyak di antara mereka yang lahir dan besar di Indonesia. Sesampainya di negeri kincir angin, mereka disambut oleh Ratu Belanda, Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau.
Sang ratu berupaya membesarkan hati mereka dengan mengatakan 'Selamat datang di negeri sendiri'. Namun, banyaknya jumlah mereka membuat pemerintah Belanda pusing.
Selain membangunkan rumah untuk mereka, pemerintah Belanda juga mengimbau kepada warganya untuk memberi tumpangan kepada mereka.
Pesta Sinterklas pada 5 Desember 1957 yang harusnya meriah menjadi kelabu. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan sebutan 'Sinterklas Hitam' atau dalam Bahasa Belanda 'Zwarte Sinterklaas'.