Dekat dengan Yahudi, setia terhadap Palestina
Mandela mendukung Palestina dan Israel hidup berdampingan sebagai dua negara berdaulat.
Barangkali awalnya sulit bagi sebagian orang menebak pemikiran Nelson
Mandela soal konflik Palestina-Israel. Apalagi dia pernah bilang dalam pidato pelantikannya sebagai presiden Afrika Selatan pada 1994, cuma negara Zionis itu tidak boleh mengundang dirinya. Dia menolak sejumlah tawaran buat melawat ke Israel.
Kaum Yahudi di Afrika Selatan juga terbelah. Banyak penasihat politik dan pengusaha Yahudi menyokong perjuangannya buat menghapus poltik apartheid. Ketika memerlukan nasihat atau fulus, merekalah orang dihubungi pertama oleh Mandela. Sebagian lagi mendukung secara terbuka atau rahasia rezim rasis kulit putih.
Salah satu sahabat dekat Mandela dari kalangan Yahudi adalah Arthur Goldreich. Dia membantu menyembunyikan Mandela dan pemimpin Kongres Nasional Afrika (ANC) lainnya di kawasan pertanian miliknya di Rivonia saat mereka menjadi buronan pemerintah. Goldreich kemudian pindah ke Israel dan menjadi profesor di sekolah seni Bezalel.
Bahkan, orang Yahudi pula memberikan pekerjaan pertama buat Mandela. Ketika politik rasis masih membekap Afrika Selatan, sangat langka orang kulit putih mau menerima pegawai berkulit hitam. Mandela diterima sebagai pegawai di firma hukum milik Lazar Sidelsky.
"Saya melihat orang-orang Yahudi lebih berpikiran terbuka ketimbang orang kulit putih soal ras dan politik," katanya seperti dilansir surat kabar the Jerusalem Post hari ini. "Mungkin karena mereka menurut sejarah pernah menjadi korban dari prasangka buruk."
Di lain pihak, orang Yahudi bernama Percy Yutar termasuk pendukung rezim apartheid. Dia adalah kepala tim jaksa menuntut hukuman seumur hidup bagi mandela dan tujuh rekannya atas dakwaan berupaya menggulingkan pemerintah.
Hingga akhirnya empat bulan sehabis masa jabatannya sebagai presiden, Mandela pada Oktober 1999 berkunjung dua hari ke Israel. Dia pun mengungkapkan alasannya sepakat melawat ke sana setelah bertemu Menteri Luar Negeri Israel David Levy. "Saya telah berdamai dengan banyak orang sudah membantai bangsa kami seperti binatang. Israel memang bekerja sama dengan rezim apartheid, namun mereka tidak ikut membantai," ujarnya.
Alasan lain soal kesediaannya menerima undangan ke Israel dia sampaikan saat jamuan makan siang di kediaman Presiden Israel Ezer Weisman. Agenda ini dihadiri para anggota kabinet dan tokoh lainnya.
Menurut dia, lawatannya ini untuk mengobati luka Israel dan warga Yahudi di Afrika Selatan. "Saya sangat senang berada di Israel sebagai penghargaan atas jasa masyarakat Yahudi di Afrika Selatan. Saya begitu bangga terhadap mereka.
Sebelumnya, Mandela terbang ke Iran, Suriah, dan Yordania. Dua negara pertama merupakan musuh bebuyutan Israel. Melalui Hamas di Palestina dan Hizbullah di Libanon, Iran dan Suriah terus berusaha mengganggu keamanan Israel.
Mandela menentang penjajah Israel atas wilayah mereka kuasai setelah menang dalam Perang Enam Hari Juni 1967, yakni Tepi Barat dan Jalur Gaza. "Jika ingin merengkuh perdamaian, Israel harus mundur dari semua wilayah itu," tuturnya.
Dia sempat diajak berkeliling Kota Tua Yerusalem, termasuk mengunjungi Bukit Golgota dan Gereja Makam Yesus. Setelah itu dia datang ke museum Holocaust Yad Vashem. "Peristiwa menyakitkan tapi kaya pengalaman," tulis Mandela di buku tamu museum.
Tapi dia juga mengakui hak negara Bintang Daud itu buat hidup tenteram. "Saya tidak mungkin bermimpi Israel bakal menarik diri jika negara-negara Arab tidak mau mengakui Israel," katanya.
Dari Israek, Mandela terbang ke Gaza dan berangkulan erat dengan Presiden Otoritas Palestina Yasir Arafat. Dia sangat mendukung PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) karena statusnya sama dengan ANC, berjuang demi memperoleh hak. Dia menyokong terbentuknya negara Palestina merdeka.
Namun harapan Mandela belum tercapai hingga ajal menjemput dia hari ini. Israel masih menjajah Palestina.