Janji Kosong Pemimpin Dunia Tangani Krisis Iklim dan Ancaman Musnahnya Peradaban
Para ilmuwan mengatakan, KTT iklim PBB atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, sepertinya menjadi kesempatan terakhir untuk menentukan tindakan serius dalam mencegah skenario bencana terburuk yang dihadapi planet ini, ketika suhu Bumi terus naik dan cuaca ekstrem menjadi hal yang biasa.
Para pengkritik soal lambannya tindakan penanganan pemanasan global selama beberapa dekade menyuarakan skeptisisme yang mendalam ketika para pemimpin dunia berkumpul di Glasgow untuk menuntaskan kesepakatan penting guna segera menangani krisis iklim yang semakin memburuk.
Banyak aktivis mempertanyakan apakah negara-negara maju pada akhirnya akan bergerak untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan perusahaan-perusahaan besar yang bertanggung jawab atas emisi tersebut, dan jika negara-negara kaya – satu-satunya yang bertanggung jawab atas krisis tersebut – akan mendukung secara finansial negara-negara miskin beralih dari bahan bakar fosil.
-
Apa itu perubahan iklim? Menurut PBB, perubahan iklim adalah mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini mungkin alami, seperti melalui variasi siklus matahari. Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan fosil seperti batu bara, minyak dan gas.
-
Kapan Hari Fiksi Iklim Internasional diperingati? Even, ditetapkan peringatan khusus, yaitu Hari Fiksi Iklim Internasional setiap 20 April.
-
Bagaimana cara mengatasi perubahan iklim? Ada beberapa cara mengatasi perubahan iklim yang bisa dilakukan, di antaranya: Mengehmat Energi Salah satu cara mengatasi perubahan iklim adalah menghemat energi. Dengan menghemat energi, kita bisa mengurangi efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.
-
Di mana Pertamina mempresentasikan capaian target iklimnya? Pertamina pamerkan deretan capaian tersebut pada gelaran Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2023 atau Conference of the Parties 28 di Uni Emirat Arab.
-
Bagaimana Kementerian PUPR mendorong kerjasama internasional dalam bidang pengelolaan air? Indonesia dikatakan Presiden, konsisten mendorong tiga hal pada forum. Pertama, adalah meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusifitas untuk mencapai solusi tantangan bersama terutama bagi negara-negara pulau kecil yang mengalami kelangkaan air. Kedua, memberdayakan hydro-diplomacy untuk kerja sama konkret dan inovatif sesuai kebutuhan negara penerima disamping mencegah persaingan dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas berdasarkan hukum internasional. Ketiga, adalah memperkuat political leadership sebagai kunci dalam menyukseskan berbagai bentuk kerja sama menuju ketahanan air yang berkelanjutan.
-
Bagaimana Indonesia mendorong pemerintah agar mengatasi perubahan iklim di Sidang Umum ke-44 AIPA? “Dalam aspek itu, peran dan visi parlemen sangat penting dan besar untuk tidak hentinya selalu mendorong pemerintah agar melakukan segala upaya tidak hanya bisnis as usual, tapi juga out of the box, melampaui daripada konsep-konsep biasa,” ujar Wakil Ketua BKSAP DPR RI ini.
Para ilmuwan mengatakan, KTT iklim PBB atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, sepertinya menjadi kesempatan terakhir untuk menentukan tindakan serius dalam mencegah skenario bencana terburuk yang dihadapi planet ini, ketika suhu Bumi terus naik dan cuaca ekstrem menjadi hal yang biasa.
Bangladesh, negara di Asia Selatan berpenduduk 165 juta orang, masuk peringkat negara ketujuh di dunia yang paling terdampak bencana iklim, dan naiknya suhu hanya akan membuat keadaan semakin buruk.
Migrasi massal dari daerah pesisir ke pusat kota sedang berlangsung karena naiknya air laut ke daratan, di mana sebanyak 30 juta orang bakal menjadi “pengungsi iklim” dalam beberapa dekade mendatang.
Negara-negara maju pada 2009 sepakat mereka akan menyumbang USD 100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim dan mengubah sistem energi mereka. Namun negara-negara kaya gagal menepati janji mereka.
Wakil koordinator Fridays For Future-Bangladesh, Fariha Aumi (22), yang berasal dari Jamalpur di wilayah utara negara tersebut, menyampaikan kepada Al Jazeera, keengganan para pemimpin dunia bertindak mengatasi krisis iklim membuatnya skeptis terkait hasil COP26.
“Kita akan tunggu dalih-dalih yang akan dibuat negara-negara maju, dan berharap untuk melemparkan beberapa pertanyaan bagus terkait mitigasi (iklim) negara kami,” jelas mahasiswi kedokteran ini, dilansir Al Jazeera, Kamis (4/11).
“Jika mereka (pemimpin G20) memiliki rasa tanggung jawab terkait tindakan atau keputusan mereka, mereka akan mengingat Dunia Selatan dan memberikan uang kompensasi dengan benar. Tak satu pun dari ini terlihat.”
Aumi menambahkan, KTT iklim sebelumnya diklaim “berhasil” tapi janji-janji yang dibuat tidak ditepati.
“Jika mereka masih tidak paham bahwa “pandemi tersembunyi” masih berlangsung, saya rasa mereka tidak akan mengambil tindakan apapun untuk menghentikan emisi,” jelasnya.
Ada banyak alasan untuk meragukan para pemimpin dunia bakal bertindak dan berusaha mencegah bencana pemanasan global.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (IPCC), dibentuk pada 1988, baru-baru ini memperingatkan suhu rata-rata Bumi akan menjadi 1,5 derajat Celcius lebih panas pada 2030, lebih cepat satu dekade dari yang diprediksi tiga tahun lalu.
Musnahnya peradaban
Aktivis lingkungan dan iklim yang berbasis di Inggris, Rupert Read juga skeptis para pemimpin dunia, khususnya negara-negara kaya dan kuat, akan melakukan tindakan nyata setelah lebih dari 30 tahun tak melakukan apapun untuk mencegah memanasnya suhu Bumi karena aktivitas manusia.
“Kita berada di jalur musnahnya peradaban,” ujarnya kepada Al Jazeera.
“Jadi intinya adalah tidak ada orang dewasa di ruangan tersebut, tidak ada pasukan berkuda yang datang untuk menyelamatkan. Kita perlu bertindak bersama-sama dalam masalah ini dan kita perlu bertindak dalam hal ini tanpa berharap pemerintah kita akan menyelamatkan kita.”
Pada KTT iklim 2015 di Paris, 191 negara sepakat untuk mencegah pemanasan global lebih dari 1,5 derajat Celcius dari level pra industri. Enam tahun kemudian, suhu Bumi terancam naik 2,7 derajat Celcius pada akhir abad ini – level yang bisa membawa menuju bencana besar bagi planet dan seluruh penghuninya.
Lonjakan suhu ini berarti akan ada badai atau angina kencang, banjir, kebakaran yang lebih intens dan meningkatnya permukaan air laut. Jutaan orang akan berpindah ketika wilayah di planet ini tidak bisa lagi dihuni.
Beberapa pengkritik mempertanyakan promosi emisi “nol bersih” oleh para pemimpin dunia sebagai obat mujarab krisis iklim. Nol bersih mengacu kepada keseimbangan antara gas rumah kaca yang dikeluarkan dan dihilangkan dari atmosfer.
“Nol bersih digunakan oleh para penghasil polusi terbesar dan pemerintah sebagai hiasan untuk mengelak dari tanggung jawab dan menyamarkan kelambanan mereka atau tindakan merugikan mereka terkait perubaahan iklim,” jelas Kim Bryan dari organisasi anti perubahan iklim, 350.org.
“Nol bersih bukan berarti pengurangan emisi. Dalam rangka menangkal dampak terburuk kerusakan iklim, kita perlu tetap di bawah 1,5 derajat kenaikan suhu. Itu berarti mengurangi emisi sekarang.”
Pendanaan kriminal perusak iklim
Kim Bryan juga menyoroti fakta bahwa bank-bank besar terus “mendanai kriminal” industri bahan bakar fosil “yang membunuh orang-orang di seluruh dunia saat ini”.
Dia juga menekankan, triliunan dolar masih mengalir ke sektor bahan bakar fosil, dan hanya ada beberapa komitmen untuk mengakhirinya.
“Bank-bank kita sakit jiwa tetap menopang sebuah industri yang menyebabkan krisis iklim,” jelasnya kepada Al Jazeera, menekankan JP Morgan Chase, Lloyds Bank, HSBC, dan Blackrock merupakan penyedia dana terbesar ekspansi bahan bakar fosil.
Sementara itu, pemerintah di dunia mensubsidi industri bahan bakar fosil dengan dana USD 11 juta per menit, menurut analisis IMF.
Pendiri dan CEO kelompok We Don’t Have Time, Ingmar Rentzhog, mengatakan mensubsidi sektor bahan bakar fosil adalah masalah iklim paling mendesak yang harus diatasi.
“Selama bertahun-tahun (negara-negara) ekonomi kuat ini telah berjanji untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil, dan masih belum terjadi. Faktanya, subsidi tersebut diproyeksikan naik selama beberapa tahun ke depan,” jelasnya dalam sebuah pernyataan.
Oxfam, badan amal yang berbasis di Inggris, mengatakan 2020 disebut tahun terpanas dalam catatan dengan hampir 100 juta orang terkena dampak bencana terkait iklim yang menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya USD 171 miliar.
Namun negara-negara di dunia masih belum melakukan tindakan yang terang dan nyata ketika semua indikasi bahwa umat manusia hanya memiliki delapan tahun lagi untuk mencegah dampak pemanasan global – atau menghadapi kiamat planet ini.
Artinya, para kritikus pemimpin dunia menyatakan sedikit KTT iklim di Skotlandia akan mencapai apa yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan Bumi ini.
“(COP26) hampir pasti akan gagal. Itu akan mengecewakan kita seperti mereka mengecewakan kita sebelumnya. Bahkan Perjanjian Paris pada tahun 2015 – yang merupakan pencapaian diplomatik yang luar biasa – adalah macan kertas,” pungkas Rupert Read.
(mdk/pan)