Lewat Film Propaganda, China Gambarkan Etnis Uighur yang Riang Gembira
"The Wings of Songs", film musikal yang didukung negara, bagian terbaru dalam kampanye propaganda China untuk mempertahankan kebijakannya di Xinjiang.
Dalam salah satu adegan, perempuan Uighur terlihat menari dengan gaya Bollywood yang meriah saat berhadapan dengan sekelompok lelaki Uighur. Di foto lain, seorang pria Kazakh memainkan kecapi dua senar tradisional sambil duduk di yurt di hadapan kawan-kawannya.
Selamat datang di "The Wings of Songs", film musikal yang didukung negara, bagian terbaru dalam kampanye propaganda China untuk mempertahankan kebijakannya di Xinjiang. Kampanye tersebut semakin intensif dalam beberapa pekan terakhir karena sejumlah negara Barat dan kelompok hak asasi menuduh Beijing menindas Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang, diduga menerapkan kerja paksa dan melakukan genosida.
-
Mengapa warga Uighur merasa diperlakukan tidak adil di China? Abdul mengatakan, saat ini terdapat ratusan tempat pengungsian konsentrasi yang mengelilingi pemukiman warga Uighur. Kamp konsentrasi ini diperkenalkan kepada dunia internasional sebagai pusat pendidikan. Namun kenyataannya kamp konsentrasi tersebut ditujukan untuk menghapuskan identitas agama dan bangsa Uighur serta membuat mereka lupa seorang muslim."Penerintah komunis China mengkriminalisasi praktek Islam yang normal," kata Abdul.
-
Apa yang terjadi pada warga Uighur di China yang membuat mereka terpisah dari keluarga? Abdul mengaku mendapat telepon dari kerabat di Shanghai pada September 2017. Menurut Abdul, kerabatnya itu mengabarkan bahwa adiknya diambil dari kamp konsentrasi warga Uighur di China. "Dan kemudian mereka tidak tahu tentang orang tuaku. Itu terakhir kali aku mendengar kabar dari mereka," ujar Abdul ketika menjadi narasumber pada agenda konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' diselenggarakan oleh OIC Youth Indonesia di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Siapa yang menganggap pelanggaran HAM di China terhadap warga Uighur sebagai tindakan pelanggaran HAM? Presiden Organization of Islamic Conference (OIC) Youth Indonesia, Astrid Nadya Rizqita menilai banyak dugaan pelanggaran HAM dalam persoalan warga Uighur."Kalau merujuk pada HAM, kebebasan beragama, itu banyak sekali hal-hal yang melanggar HAM," kata Astrid saat menyampaikan pidato pembukaan di konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Bagaimana cara Indonesia bisa membantu warga Uighur di China? Menurutnya, Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip non-intervensi juga bukan berarti hanya bisa diam, tetapi dapat menerapkan mekanisme dialog ataupun diplomasi untuk ikut bersuara dalam permasalahan dunia. "Ini bukan berarti kita diam atau memalingkan kepala. Namun, bukan berarti indonesia juga langsung lantas berangkat ke sana, tapi kita dapat menggunakan mekanisme dialog dan diskusi," ujar Astrid.
-
Siapa saja yang terlibat dalam ukhuwah Islamiyah? Ukhuwah Islamiyah merupakan konsep persaudaraan dalam agama Islam yang mengajarkan umat Muslim untuk saling tolong menolong, saling menghormati, dan saling menyayangi satu sama lain tanpa memandang perbedaan suku, ras, atau status sosial.
-
Apa yang menjadi ciri khas dari Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman di Tebet? Bangunan menyerupai perahu inilah yang kemudian menjadi ikon dari masjid tersebut. Tak sedikit juga jemaah yang mengabadikan gambar di sekitar area perahu.
Film yang memulai debutnya di bioskop-bioskop China pekan lalu itu menawarkan sekilas visi alternatif Xinjiang yang didukung Partai Komunis China kepada penonton di dalam dan luar negeri. Tidak ada penindasan, film musikal ini sepertinya ingin menunjukkan Uighur dan minoritas lainnya bernyanyi dan menari dengan gembira dalam pakaian warna-warni. Tetapi propaganda ini dikecam aktivis HAM Uighur.
"Gagasan bahwa orang Uighur bisa menyanyi dan menari karena itu tidak ada genosida - itu tidak akan berhasil,” jelas Nury Turkel, seorang pengacara Uighur-Amerika dan rekan senior di Institut Hudson di Washington.
“Genosida dapat terjadi di tempat yang indah sekalipun,” lanjutnya, dikutip dari The New York Times, Rabu (7/4).
Setelah sanksi Barat, pemerintah China menanggapi dengan gelombang baru propaganda Xinjiag. China menggambarkan versi kehidupan yang bersih dan nyaman di Xinjiang sebagaimana digambarkan dalam film musikal tersebut dan mengerahkan pejabat China di situs media sosial untuk menyerang para kritikus Beijing. Untuk memperkuat pesannya, partai tersebut menekankan upayanya untuk memberantas ancaman terorisme kekerasan.
Menurut pemerintah, Xinjiang sekarang menjadi tempat damai di mana etnis Han China, kelompok etnis mayoritas, hidup harmonis bersama etnis minoritas Muslim di kawasan itu, seperti "biji delima". Ini adalah tempat di mana pemerintah berhasil membebaskan perempuan dari belenggu pemikiran ekstremis. Dan etnis minoritas di kawasan itu digambarkan bersyukur atas upaya pemerintah.
Tak sesuai kenyataan
Film musikal ini membawa narasi ke tingkatan baru yang memicu rasa ngeri. Film ini bercerita tentang tiga pemuda, seorang Uighur, seorang Kazakh dan seorang China Han, yang berkumpul untuk mengejar impian musik mereka.
Film tersebut menggambarkan Xinjiang, wilayah yang didominasi Muslim di ujung barat China, yang terbebas dari pengaruh Islam. Pemuda Uighur mencukur jenggotnya dan terlihat menenggak bir, bebas dari jenggot dan pantangan alkohol yang dianggap pihak berwenang sebagai tanda-tanda ekstremisme agama. Perempuan Uighur terlihat tanpa penutup kepala.
Uighur dan etnis minoritas Asia Tengah lainnya juga digambarkan terasimilasi sepenuhnya dengan masyarakat arus utama. Mereka fasih berbahasa Mandarin, dengan sedikit petunjuk bahasa asli mereka. Mereka rukun dengan mayoritas etnis Han, tanpa rasa kebencian yang telah lama membara di antara Uighur dan minoritas lainnya karena diskriminasi sistematis.
Narasi tersebut menyajikan gambaran yang sangat berbeda dari kenyataan di lapangan, di mana pihak berwenang mempertahankan kontrol ketat menggunakan jaringan kamera pengintai dan kantor polisi yang padat, dan menangkap banyak orang Uighur dan Muslim lainnya di kamp-kamp interniran massal dan penjara. Pada Senin, film tersebut telah menghasilkan USD 109.000 di box office, menurut Maoyan, sebuah perusahaan yang melacak penjualan tiket.
Pejabat China awalnya membantah keberadaan kamp interniran di kawasan itu. Kemudian berdalih fasilitas tersebut pusat pelatihan vokasi atau keterampilan.
Semakin agresif
Saat ini pendekatan pemerintah China semakin agresif, berupaya membenarkan kebijakannya dengan dalih memerangi terorisme dan separatisme di wilayah tersebut.
Pejabat China dan media pemerintah telah mendorong narasi pemerintah tentang kebijakannya di Xinjiang sebagian dengan menyebarkan narasi alternatif - termasuk disinformasi - di jejaring sosial Amerika seperti Twitter dan Facebook. Pendekatan ini mencapai titik tertinggi sepanjang masa tahun lalu, menurut laporan yang diterbitkan pekan lalu oleh para peneliti di Pusat Kebijakan Siber Internasional Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI).
Para peneliti ASPI menemukan, kampanye media sosial dilakukan para diplomat China di Twitter, akun media pemerintah, influencer dan buzzer pro-Partai Komunis. Akun tersebut mengirim pesan yang kerap bertujuan menyebarkan disinformasi tentang Uighur yang berani berbicara, dan menyerang para peneliti, jurnalis, dan organisasi yang menangani masalah Xinjiang.
Profesor politik China Universitas Canterbury di Selandia Baru, Anne-Marie Brady, yang tidak terlibat dalam laporan ASPI, menyebut tindakan ofensif China di Xinjiang merupakan kampanye propaganda internasional terbesar yang dia lihat selama 25 tahun penelitiannya terkait sistem propaganda China.
"Lantang dan dogmatis, semakin agresif,” ujarnya melalui surel.
“Dan itu akan terus berlangsung, apakah itu efektif atau tidak.”
Dalam sebuah pernyataan, Twitter mengatakan telah memblokir sejumlah akun yang dikutip oleh para peneliti ASPI. Facebook mengatakan dalam sebuah pernyataan, baru-baru mereka telah menghapus grup peretas kriminal yang menargetkan diaspora Uighur.
Buku teks subversif?
Pekan lalu, pemerintah melontarkan klaim telah mengungkap rencana intelektual Uighur untuk menyebarkan kebencian etnis. Media pemerintah, CGTN, merilis sebuah film dokumenter pada Jumat yang menuduh para intelektual tersebut menulis buku teks yang penuh dengan “darah, kekerasan, terorisme dan separatisme.”
Buku-buku tersebut diizinkan penggunaannya di sekolah dasar dan menengah di Xinjiang selama lebih dari satu dekade. Kemudian pada 2016, sesaat sebelum penindasan dimulai, tiba-tiba buku-buku tersebut dianggap subversif.
Film dokumenter itu menuduh para intelektual telah mendistorsi fakta sejarah, mengutip, misalnya, dimasukkannya foto sejarah Ehmetjan Qasim, seorang pemimpin negara merdeka berusia pendek di Xinjiang pada akhir 1940-an.
“Itu tidak masuk akal,” kata Kamalturk Yalqun, yang ayahnya, Yalqun Rozi, seorang sarjana Uighur terkemuka, dijatuhi hukuman 15 tahun penjara pada tahun 2018 karena percobaan subversi atas keterlibatannya dengan buku teks itu.
Dia mengatakan foto ayahnya yang ditampilkan dalam film tersebut adalah pertama kali dia melihat ayahnya dalam lima tahun terakhir.
“China hanya mencoba memikirkan cara apa pun yang dapat mereka pikirkan untuk merendahkan orang Uighur dan membuat buku teks ini terlihat seperti bahan berbahaya,” jelasnya melalui telepon dari Boston.
“Ayah saya bukanlah seorang ekstremis tetapi hanya seorang sarjana yang mencoba melakukan tugasnya dengan baik.”
(mdk/pan)