Mantan Tawanan Ungkap Intelijen Israel Tidak Tahu Apa-Apa tentang Terowongan Hamas
Mantan tawanan Israel di Gaza yang sudah dibebaskan November lalu menceritakan dia diinterogasi oleh Shin Bet soal terowongan Hamas.
Adina Moshes (72), seorang wanita tawanan Israel yang telah dibebaskan dari Gaza setelah 49 hari ditawan Hamas menceritakan tentang jaringan terowongan bawah tanah Hamas. Demikian dilaporkan stasiun televisi Israel Channel 12 kemarin.
Moshe ditawan oleh Hamas pada 7 Oktober 2023 dan dibebaskan pada 24 November 2024 sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata sementara yang ditengahi oleh Qatar dan Amerika Serikat antara Hamas dan Israel.
- Israel Sengaja Ingin Tawanan di Tangan Hamas Segera Tewas, Ini Tujuannya
- Terungkap Cara Intel Israel Bekerja di Tepi Barat: Pura-pura Jadi Warga Palestina, Besoknya Pasukan Serang Penduduk
- Israel Kewalahan Tangani Ribuan Tentaranya yang Cacat karena Perang di Gaza
- Mesir Usulkan Gencatan Senjata 14 Hari di Gaza, Minta Hamas Bebaskan 40 Tawanan Israel
Setelah dibebaskan, Moshe ditanyai oleh Shin Bet ('Shabak'), Dinas Keamanan Dalam Negeri Israel.
“Shin Bet meminta saya menggambar peta terowongan di Gaza karena mereka tidak tahu apa-apa tentang terowongan tersebut,” kata dia seperti dikutip Channel 12 dan dilansir the Cradle, Ahad (8/9).
Ketika dia sedang berpidato saat menuntut pemerintah menyepakati kesepakatan gencatan senjata di Gaza dan menukar tawanan dengan Hamas, Moshe mengatakan Shin Bet mengirimkan seorang insinyur menanyakan kepada dia seperti apa terowongan Hamas, jaringan telepon, dan kabel serta di mana saja lokasinya.
Moshe kemudian menyadari "Shin Bet selama ini tidak tahu apa-apa tentang terowongan Hamas."
Selanjutnya Moshe mengatakan kepada insinyur tersebut, “Terowongan di Jalur Gaza adalah sebuah labirin besar yang membentang di bawah tanah di seluruh Jalur Gaza, dan tekanan militer tidak akan membantu mengembalikan para tawanan.”
Dia menekankan "Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berbohong dan dia dengan tentaranya tidak tahu apa-apa tentang terowongan Hamas di Jalur Gaza."
Sabotase Netanyahu
Pada 7 Februari, setelah sejumlah tawanan Israel dibunuh pasukan Israel sendiri dan tewas oleh gas beracun dari serangan udara Israel di Gaza, para mantan tawanan Hamas mendesak Perdana Menteri Netanyahu untuk menyetujui gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tawanan lainnya.
“Sekali lagi, saya meminta Anda, Tuan Netanyahu, semuanya ada di tangan Anda, Anda adalah satu-satunya yang mampu melakukannya, dan saya sangat takut jika Anda terus melanjutkan sikap ini... tidak akan ada lagi sandera yang bisa dibebaskan," ungkapnya dalam sebuah konferensi pers.”
Netanyahu berupaya menyabotase kemungkinan kesepakatan gencatan senjata, yang menyebabkan sejumlah warga Israel menyalahkannya atas kematian banyak tawanan di Gaza.
Media Israel Yedioth Ahronoth melaporkan, pada 2 September 2024 Perdana Menteri Netanyahu bertanggung jawab atas kematian enam tentara Israel yang terbunuh saat menjadi tawanan Hamas karena ia menyabotase perjanjian gencatan senjata Gaza pada bulan Juli yang seharusnya berujung pada pembebasan mereka.
Koran berbahasa Ibrani itu melaporkan, menurut pejabat keamanan senior, Israel mengajukan proposal kesepakatan pada Mei untuk mengembalikan tawanan Israel dan menuju gencatan senjata.
Namun, setelah Hamas menyetujui sebagian besar persyaratannya, Perdana Menteri Netanyahu memutuskan untuk menarik diri dari kesepakatan tersebut. Ia memerintahkan agar dokumen baru disusun pada bulan Juli, dengan mencakup "klarifikasi" terhadap proposal pertama Israel, termasuk poin yang menyebut pasukan Israel harus tetap menduduki perbatasan Mesir-Gaza.
Setelahnya kejadian itu enam tawanan Israel terbunuh. Jasad mereka ditemukan pasukan Israel di Rafah, Gaza Selatan pada 31 Agustus 2024.
Reporter Magang: Elma Pinkan Yulianti