Media Sosial Dibanjiri Hoaks Soal Perang Hamas-Israel, Ada yang Gunakan Video Lama Bahkan Video Game untuk Sebar Berita Palsu
Beberapa jam setelah serangan Hamas ke Israel, X atau Twitter dibanjiri video dan foto hoaks serta informasi menyesatkan tentang perang di Gaza.
Media Sosial Dibanjiri Hoaks Soal Perang Hamas-Israel, Ada yang Gunakan Video Lama Bahkan Video Game untuk Sebar Berita Palsu
Penyebaran hoaks mewabah di berbagai platform media sosial terkait eskalasi di Jalur Gaza. Situasi saat ini masih memanas, Israel terus memborbardir Gaza, memutus pasokan listrik, air, dan BBM, sebagai balasan atas serangan Hamas pada Sabtu lalu.
Sumber: Al Jazeera
Beberapa jam setelah serangan Hamas ke Israel, X atau Twitter dibanjiri video dan foto hoaks serta informasi menyesatkan tentang perang di Gaza.
- Media Israel Ungkap Jumlah Sebenarnya Tentara yang Tewas dan Luka di Gaza
- Hamas Rilis Video Intai Tentara Israel di Gaza dari Jarak Dekat Tanpa Diketahui Lalu Ledakkan Bom
- Daftar Kebohongan Israel yang Terbongkar di Media Sosial tentang Palestina
- Tentara Pembelot Israel Beri Informasi Intelijen kepada Hamas Untuk Operasi Penyerangan
Salah satu contohnya adalah unggahan dari Ian Miles Cheong, seorang komentator sayap kanan yang sering berinteraksi dengan Elon Musk, bos X. Cheong mengunggah video hoaks pejuang Palestina membunuh warga Israel disertai keterangan: "Bayangkan jika ini terjadi di lingkungan kita, pada keluarga Anda."
Catatan Komunitas di platform X, yaitu fitur yang memungkinkan pengguna menambahkan konteks ke unggahan, menyatakan bahwa orang-orang dalam video tersebut adalah aparat Israel, bukan Hamas, namun video tersebut masih naik dengan jutaan penayangan dan telah dibagikan oleh ratusan akun X lainnya, bahkan oleh akun yang terverifikasi.
Penyebaran disinformasi atau berita palsu yang disengaja terkait perang Israel-Palestina juga tersebar di Facebook, Instagram, dan TikTok, tetapi dampak dari platform X tampak lebih signifikan. Hal ini sebagian disebabkan oleh kebijakan terbaru Musk yang memungkinkan siapapun membayar untuk diverifikasi dan PHK besar-besaran di tim Kepercayaan dan Keamanan X.
Selama akhir pekan, X melaporkan adanya lebih dari 50 juta unggahan terkait konflik Israel-Hamas di platformnya. Menanggapi hal tersebut, perusahaan ini telah menghapus akun-akun baru yang berafiliasi dengan Hamas, meningkatkan peringatan pada "puluhan ribu unggahan" yang berisi media grafis dan ujaran kebencian, serta memperbarui kebijakan terkait apa yang dianggap "layak diberitakan" di platform tersebut.
Sumber: Al Jazeera
“Perusahaan-perusahaan besar ini masih bingung dengan penyebaran disinformasi, bahkan ketika tidak ada yang masih terkejut karenanya,” kata Irina Raicu, direktur Program Etika Internet di Universitas Santa Clara.
"Mereka memberikan angka - berapa banyak kiriman yang telah dihapus, berapa banyak akun yang telah diblokir, pengaturan apa yang mungkin ingin Anda ubah jika Anda tidak ingin melihat kekacauan. Yang tidak mereka sampaikan adalah metrik kegagalan mereka: berapa banyak distorsi yang tidak disertai dengan 'Catatan Komunitas' atau tanda label lainnya, dan untuk berapa lama. Sehingga, tanggung jawab untuk mendokumentasikan kegagalan platform-platform ini dalam mengatasi disinformasi jatuh pada para jurnalis dan peneliti."
Selama beberapa tahun terakhir, aktor jahat telah berulang kali menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan hoaks sebagai tanggapan terhadap konflik dunia nyata. Pada 2019, Twitter dan Facebook dibanjiri rumor dan berita palsu setelah India dan Pakistan, dua kekuatan nuklir, hampir terlibat dalam perang setelah Pakistan menembak jatuh dua pesawat tempur India dan menangkap seorang pilot India.
Sumber: Al Jazeera
Pekan ini di X, pengguna bernama The Indian Muslim membagikan video dengan keterangan "Semakin banyak kekuatan untuk Anda #Hamas" dan mengklaim video itu menunjukkan seorang pejuang Hamas sedang menembakkan meriam roket besar yang dipasang di pundak dan menembak jatuh helikopter Israel.
Beberapa peneliti disinformasi, baik di media sosial maupun dalam wawancara dengan Al Jazeera, menunjukkan bahwa rekaman tersebut ternyata berasal dari video game bernama Arma 3. Unggahan ini, yang memiliki Catatan Komunitas, masih tersedia dan telah ditonton lebih dari setengah juta kali.
Unggahan lain oleh Jim Ferguson, seorang influencer media sosial asal Inggris, mengklaim Hamas menggunakan senjata AS "yang ditinggalkan di Afghanistan untuk menyerang Israel."
Namun, menurut Catatan Komunitas, foto tersebut menunjukkan pasukan tentara Taliban dari tahun 2021, bukan Hamas. Unggahan Fergusson, yang masih ada di platform ini, telah dilihat lebih dari 10 juta kali.
Dina Sadek, seorang peneliti Wilayah Timur Tengah di DFRLab Atlantic Council, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa narasi palsu lain yang dilihat timnya menyebar di platform adalah bahwa Hamas telah menerima bantuan dari dalam Israel untuk merencanakan serangan tersebut."Ada rekaman lama dan daur ulang yang beredar di internet yang sangat membingungkan dan membuat pengguna sulit untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak," ujar Sadek.
Disinformasi seputar serangan ini juga menyebar antar platform, tambah Sadek. "Beberapa video TikTok menemukan jalannya ke X, dan beberapa rekaman yang muncul pertama kali di Telegram kemudian dilihat di X," katanya.
"Banjir penyebaran kebohongan dan kebencian tentang krisis Israel-Gaza dalam beberapa hari terakhir, ditambah dengan algoritma yang secara agresif mempromosikan konten ekstrem dan mengganggu, adalah alasan mengapa media sosial telah menjadi tempat yang sangat buruk untuk mendapatkan informasi yang dapat dipercaya," jelas Imran Ahmed, CEO Center for Countering Digital Hate, kepada Al Jazeera.
"Perusahaan teknologi telah membuktikan diri tidak tertarik, jika tidak benar-benar bersalah, dalam penyebaran propaganda berbahaya."
Para pengamat menyatakan, erusahaan teknologi sosial besar seperti X, Meta (pemilik Facebook, Instagram, Threads), TikTok, dan BlueSky masih menghadapi tantangan dalam mengatasi penyebaran disinformasi. Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk menghapus konten berbahaya, tantangan sebenarnya adalah memahami dampak dan penyebaran disinformasi yang belum diidentifikasi dengan baik serta memperbaiki algoritma yang mempromosikan konten ekstrem dan mengganggu. Dalam banyak kasus, tanggung jawab untuk mendokumentasikan kegagalan platform-platform ini dalam mengatasi disinformasi jatuh pada para jurnalis dan peneliti.