Sisi Gelap Teknologi AI, Dijadikan Alat Uji Coba Israel untuk Membantai Warga Palestina di Gaza
Sisi Gelap Teknologi AI, Dijadikan Alat Uji Coba Israel untuk Membantai Warga Palestina di Gaza
Israel memakai teknologi AI yang bisa menargetkan warga sipil di Gaza, Palestina.
- Tentara Israel Mulai Tobat, Ramai-Ramai Tolak Kembali ke Gaza, Muak Lakukan Aksi Kekejaman terhadap Warga Sipil
- Baru Sehari Pulang Dari Gaza, Tentara Israel Bunuh Diri Tembak Kepalanya Sendiri
- Dibantu Intelijen Israel, Pasukan Otoritas Palestina Diam-Diam Masuk ke Gaza, Ini Tujuannya
- Israel Pakai Teknologi AI untuk Menculik Warga Palestina di Gaza, Ribuan Orang Dilaporkan Hilang
Sisi Gelap Teknologi AI, Dijadikan Alat Uji Coba Israel untuk Membantai Warga Palestina di Gaza
Dalam beberapa tahun terakhir, perpaduan antara teknologi dan peperangan telah mendapat sorotan publik, sehingga menimbulkan pertanyaan etis dan hukum yang mendalam tentang penggunaan alat teknologi canggih oleh militer negara.
Peran analisis data canggih dan kecerdasan buatan (AI) dalam konflik modern berada di bawah pengawasan ketat, terutama ketika nyawa warga sipil menjadi taruhannya.
Seiring dengan semakin meluasnya genosida di Gaza, perhatian beralih ke perusahaan-perusahaan yang teknologinya dapat memfasilitasi kekejaman Israel setiap hari, salah satunya adalah Palantir Technologies yang berbasis di Amerika Serikat, seperti yang dikutip dari The Cradle, Kamis (6/6).
Sementara Mahkamah Pidana Internasional (ICC) turun tangan untuk menangani tuduhan genosida, para bandar teknologi yang mendesain dan memasok alat perang tetap tidak tersentuh.
Sejak 8 Oktober, lebih dari 36.000 warga Palestina telah terbunuh dalam konflik brutal yang telah menyebabkan
lebih banyak korban jiwa dibandingkan dengan semua perang lainnya selama dua tahun terakhir.
Sejak 8 Oktober, lebih dari 36.000 warga Palestina telah terbunuh dalam konflik brutal yang telah menyebabkan lebih banyak korban jiwa dibandingkan dengan semua perang lainnya selama dua tahun terakhir.
Hilangnya nyawa tak berdosa telah meningkatkan pengawasan terhadap teknologi yang secara tidak tepat dan sistematis menargetkan warga sipil dan bukannya kombatan.
Perusahaan seperti Palantir Technologies, yang dipimpin oleh CEO Alex Karp, telah terlibat dalam memungkinkan beberapa kekejaman ini.
Analisis data canggih dan alat AI-nya yang konon memberikan “penargetan presisi” telah membunuh warga sipil secara massal dan telah mengubah peperangan menjadi kampanye pemusnahan yang diperhitungkan dan sistematis dengan sedikit pengawasan manusia.
Didirikan pada 2003 oleh Karp dan Peter Thiel, Palantir Technologies telah berkembang dari perusahaan rintisan analisis data rahasia menjadi landasan operasi militer dan intelijen modern.
Awalnya didanai oleh badan modal ventura CIA, In-Q-Tel, produk teknologi Palantir telah menjadi bagian integral dari berbagai lembaga pemerintah AS, termasuk FBI, Departemen Pertahanan, dan berbagai departemen kepolisian.
Keterlibatan yang mendalam dengan badan-badan intelijen dan militer AS ini membuka jalan bagi kerjasama strategis Palantir dengan Israel.
Keterlibatan raksasa teknologi ini di Israel sudah ada sejak beberapa tahun lalu.
Perusahaan ini mendirikan kantor di Tel Aviv pada 2015, dengan lokasi strategis yang menghadap ke Rothschild Boulevard di satu sisi dan Yehuda Halevy Street di sisi lain.
Karp sendiri menyoroti hubungan kuat Palantir dengan Israel dalam sebuah wawancara pada Desember 2023 di Fox Business, dengan menyatakan, “Kami sangat terkenal di Israel. Israel menghargai produk kami."
Kemitraan antara Palantir dan militer Israel mulai diperkuat dengan perjanjian resmi yang ditandatangani pada 12 Januari 2024, tiga bulan setelah genosida terhadap warga Palestina di Gaza dimulai, setelah kunjungan para eksekutif perusahaan ke Israel, di mana mereka mengadakan pertemuan dewan direksi pertama mereka tahun ini di Tel Aviv.
Seperti yang dikatakan oleh Wakil Presiden Eksekutif Palantir, Josh Harris, “Kedua belah pihak telah sepakat untuk memanfaatkan teknologi canggih Palantir untuk mendukung misi-misi yang berhubungan dengan perang,” sebuah penghalusan kata untuk apa yang selama ini dikualifikasikan sebagai memungkinkan terjadinya tindakan genosida.
Gudang senjata teknologi Palantir, mirip dengan senjata pemusnah massal digital, saat ini sedang digunakan oleh tentara Israel, tanpa meninggalkan keraguan tentang keterlibatan perusahaan dalam genosida yang sedang berlangsung.
Pembantaian baru-baru ini di Rafah pada 26 Mei, di mana Israel mengebom sebuah kamp pengungsi, menewaskan puluhan orang Palestina, dan kematian tujuh pekerja World Central Kitchen pada April dalam serangan udara, menyoroti penyalahgunaan brutal atas apa yang disebut sebagai teknologi “presisi” Palantir.
Dipasarkan sebagai intelijen yang dapat digunakan secara real-time dan mengintegrasikan data sensor untuk akurasi yang tepat, sistem TITAN Palantir disebut-sebut dapat mengurangi kerusakan yang ditimbulkan.
Namun, di Gaza, penggunaan teknologi Palantir tidak mencegah, tetapi justru memfasilitasi jatuhnya banyak korban sipil dan kehancuran. Tragedi di Rafah dan kematian para pekerja bantuan menunjukkan ironi yang mengerikan dan biaya kemanusiaan yang menghancurkan dari “akurasi” tersebut.
Mengingat Palantir telah aktif di Israel sejak 2015, pemilihan waktu perjanjian strategis, yang dijuluki “Kemitraan untuk Teknologi Pertempuran”, pada awal tahun 2024 menimbulkan pertanyaan serius.
Apakah ini merupakan langkah yang diperhitungkan oleh Palantir untuk menggunakan konflik yang meningkat sebagai kesempatan untuk menguji model AI mereka pada warga sipil, menjadikan Gaza sebagai tempat uji coba yang mengerikan bagi teknologi mereka?
Dugaan ini akan memberikan bayangan gelap lain pada etika Palantir, menyiratkan strategi bisnis mereka mungkin melibatkan eksploitasi penderitaan manusia untuk kemajuan teknologi.
Tindakan hukum, seperti yang diprakarsai oleh Pusat Keadilan Internasional untuk Palestina, menggarisbawahi meningkatnya permintaan akan pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan terjadinya kekejaman, termasuk para pemimpin industri teknologi.
Kerangka hukum internasional mengakui keterlibatan dalam kejahatan perang, yang menunjukkan para eksekutif teknologi memfasilitasi kekerasan harus dimintai pertanggungjawaban.