Rumah Kosong Makin Banyak di Jepang Akibat Krisis Populasi, Sampai Dijual Murah
Terdapat banyak rumah kosong akibat krisis populasi, ini beri kesempatan bagi para pembeli yang berminat untuk merenovasi atau memiliki properti di Jepang.
Jepang kini menghadapi tantangan yang menarik di sektor real estate, di mana lebih dari 9 juta "akiya" atau rumah kosong tersebar di berbagai wilayah. Menurut data pemerintah yang dikutip dari CNBC pada Rabu (6/11/2024), pada tahun 2023, beberapa rumah ini bahkan dijual dengan harga sangat terjangkau, yaitu di bawah USD 10.000.
Banyak dari rumah-rumah tersebut telah terbengkalai dan kosong selama beberapa dekade. Meskipun rumah kosong ini menawarkan peluang bagi pembeli yang ingin merenovasi dan memiliki properti di Jepang, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi.
- Raksasa Properti China Rugi Besar, Ratusan Rumah Tak Laku Dijual
- Laporan Terbaru: 55 Persen Pembeli Rumah Didominasi Milenial, Harga Dibeli Rp200 Juta Hingga Rp600 Juta
- Dipergoki Pemilik Rumah, Komplotan Maling di Bekasi Letuskan Senjata
- Jumlah Rumah Tak Berpenghuni di Jepang Semakin Banyak, Ternyata Ini Penyebabnya
Krisis populasi di Jepang menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya jumlah akiya. Pada tahun 2023, tingkat kelahiran di negara ini mencapai rekor terendah, yaitu 1,2 kelahiran per wanita, sementara angka kematian terus melampaui kelahiran. Hal ini menyebabkan banyak rumah dibiarkan kosong tanpa ada generasi penerus yang siap untuk menghuni atau merawatnya.
Tetsuya Kaneko, kepala penelitian dan konsultasi di Savills Japan, menjelaskan bahwa masalah akiya ini telah berlangsung lama, dipicu oleh lonjakan pembangunan perumahan pada masa booming ekonomi Jepang pasca-perang. Sejak tahun 1990-an, ketika ekonomi mulai melambat, masalah ini semakin terlihat seiring dengan perubahan demografi yang sedang berlangsung.
Urbanisasi juga menjadi faktor, di mana generasi muda lebih memilih untuk pindah ke kota besar demi pekerjaan, sehingga menambah jumlah rumah kosong di desa. Banyak generasi tua yang tinggal di desa akhirnya meninggal atau tidak lagi mampu merawat rumah mereka.
Akiya Diwariskan dari Generasi ke Generasi
Rumah-rumah ini sering diwariskan kepada anak-anak, namun ada kalanya para pewaris tidak memanfaatkan atau menjual properti tersebut.
"Di antara penduduk setempat, akiya sering kali dianggap sebagai 'beban' dan bahkan dianggap membawa nasib buruk atau tidak beruntung," ungkap Kaneko.
Selain itu, rumah-rumah yang berusia lebih dari 30 tahun sering kali dinilai tidak layak huni oleh masyarakat Jepang. Berbagai faktor seperti biaya renovasi yang tinggi, potensi kerusakan struktural, dan masalah keamanan menjadi alasan mengapa orang Jepang enggan untuk membeli atau menempati rumah tersebut.
Walaupun demikian, pasar akiya justru menarik perhatian pembeli dari luar negeri yang melihat kesempatan besar untuk memiliki properti di Jepang dengan harga yang relatif terjangkau.
Menurut Kaneko, faktor-faktor seperti pandemi Covid-19, tren kerja jarak jauh, serta perubahan gaya hidup telah berkontribusi terhadap peningkatan minat asing terhadap properti di Jepang.
"Kami melihat tren peningkatan permintaan dari luar negeri, ada peningkatan minat dan pembelian akiya," jelas Kaneko.
Dengan demikian, fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran dalam dinamika pasar properti Jepang, yang kini mulai dilirik oleh para investor asing.
Akiya Jadi Salah Satu Investasi Properti
Salah satu contoh individu asing yang berhasil memanfaatkan peluang di Jepang adalah Anton Wormann, seorang mantan model asal Swedia yang kini tinggal di negara tersebut. Wormann merasakan ketertarikan mendalam terhadap Jepang setelah melakukan kunjungan kerja, yang menginspirasinya untuk membeli properti dengan harga terjangkau di sana.
Setelah enam tahun, ia kini memiliki tujuh akiya dan berprofesi sebagai kreator konten serta investor real estat. Dari tujuh properti yang dimilikinya, ia telah menyelesaikan renovasi pada tiga rumah, sementara empat lainnya masih dalam tahap proses.
Total biaya yang dikeluarkan untuk pembelian dan renovasi properti tersebut mencapai sekitar USD 110.000. Namun, saat ini, properti-properti itu dapat menghasilkan pendapatan sewa bulanan yang mencapai sekitar USD 11.000.
"Saat ini, properti saya bisa menghasilkan pendapatan tahunan enam digit, tapi itu tidak akan terjadi jika saya tidak meluangkan waktu untuk mengenal budaya, bahasa, dan masyarakat Jepang dengan baik," ungkapnya.
Membangun Komunitas Jadi Kunci Investasi Akiya di Jepang
Wormann menekankan bahwa membangun komunitas dan jaringan sosial yang baik di Jepang sangat penting bagi siapa pun yang ingin sukses dalam investasi akiya.
"Anda tidak bisa datang tanpa memahami budaya, cara kerja di Jepang, dan hanya membuang-buang uang, karena itu akan menjadi biaya yang besar," ungkapnya.
Dia juga mencatat bahwa ada peluang besar bagi individu yang bersedia beradaptasi dan memahami konteks lokal, terutama jika mereka ingin menggunakan properti tersebut untuk keperluan pribadi, bukan sekadar sebagai investasi.
Para ahli juga sepakat bahwa akiya dapat menjadi peluang investasi yang menarik untuk kelompok tertentu.
"Akiya dapat menjadi investasi yang bagus untuk penghobi, renovator DIY, atau mereka yang mencari tempat peristirahatan pedesaan yang tenang," kata Kaneko.
Dengan memanfaatkan potensi ini, para investor dapat menemukan nilai lebih dalam properti yang mungkin terabaikan, asalkan mereka siap untuk berkomitmen dan memahami seluk-beluk yang ada.