Jarang yang Tahu, Peran Penting Ibu Ruswo Dalam Revolusi Fisik Yogyakarta
Setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia masih harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Itu disebut dengan Revolusi Fisik.
Kusnah atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ibu Ruswo, merupakan pejuang perempuan yang berjasa di balik layar. Pasalnya, ia berperan penting dalam memberikan pasokan makan kepada prajurit yang sedang berjuang di Yogyakarta dalam perang kemerdekaan.
Setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia masih harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan tersebut disebut dengan Revolusi Fisik.
- RK Siapkan 'Peluru' Jelang Debat Terakhir Pilkada Jakarta Besok Malam
- Didukung 15 Partai, Ini Visi Misi Ridwan Kamil-Suswono di Pilkada Jakarta
- Kilas Balik Radio Rimba Raya, Berjasa Besar Siarkan Pesan-Pesan Perjuangan dari Dataran Tinggi Gayo
- Kisah Bu Dar Mortir, Jadi Pahlawan Nasional Berkat Sediakan Makanan untuk Prajurit
Salah satu daerah yang berperan aktif dalam perjuangan revolusi fisik adalah Yogyakarta, apalagi terjadi Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta sebagai respon dari agresi militer II yang dilakukan oleh Belanda.
Pada masa itu, munculah Bu Ruswo yang berperan penting menjaga agar prajurit tetap kuat dalam melakukan serangan. Perjuangan yang Bu Ruswo lakukan adalah perjuangan di balik layar yang kerap kali kita lewati dari cerita-cerita sejarah.Bu Ruswo memiliki nama asli Kusnah.
Ia lahir pada 1905 di Yogyakarta. Ia mulai dipanggil Bu Ruswo ketika ia menikah dengan Ruswo Prawiroseno. Dalam tradisi Jawa, sudah lazim jika ibu rumah tangga dipanggil dengan nama suami.
Pada tahun 1928, Bu Ruswo mulai terlibat aktif dalam berbagai organisasi. Awalnya, ia bergabung dengan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO), sebuah organisasi kepanduan yang didirikan pada tahun 1926.
INPO kemudian bergabung dengan beberapa organisasi kepanduan lain dan membentuk Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Selama aktif di kepanduan, Bu Ruswo sering bertanggung jawab dalam mengelola logistik.Selama masa pendudukan Jepang, Bu Ruswo bergabung dengan Badan Pembantu Prajurit Indonesia (BPPI), yang kemudian berubah menjadi Badan Penolong Keluarga Korban Perjuangan.
Dapur Umum
Selama periode Revolusi Fisik di Yogyakarta, Bu Ruswo berperan penting dalam mengkoordinasikan dapur umum. Di tengah kondisi perang yang sulit, pasokan makanan kerap menjadi tantangan utama bagi para pejuang.
Bu Ruswo, dengan kesadaran dan dedikasi tinggi terhadap perjuangan kemerdekaan, mengelola serta mengoordinasikan dapur umum untuk memastikan para pejuang mendapatkan makanan yang layak.
Meskipun keterbatasan sumber daya dan bahan makanan sering menjadi kendala, Bu Ruswo tak kenal lelah mencari dukungan dari masyarakat sekitar.
Ia berupaya keras untuk mendapatkan bahan pangan yang cukup demi memenuhi kebutuhan dapur umum dan mendukung perjuangan. Dia juga mendorong perempuan untuk berkontribusi dari belakang layar serta mengumpulkan sumbangan dari penduduk guna mendukung logistik perjuangan.
Mereka bertanggung jawab menyiapkan kebutuhan logistik untuk para prajurit. Persiapan logistik pada masa itu penuh risiko, mengingat pasukan Belanda yang ketat dalam peperangan.
Tugas logistik bukan sekadar menyediakan bahan makanan, melainkan juga meliputi pencarian bahan, memasak, dan mendistribusikan kebutuhan tersebut ke seluruh prajurit.
Tugas ini sangat menantang karena kondisi perang yang tidak menentu. Bu Ruswo juga harus memastikan agar logistik bisa sampai ke pasukan di daerah-daerah lain seperti Magelang, Ambarawa, hingga Semarang.
Kurir Belanja Keperluan Prajurit
Mengutip dari Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamodra, dalam biografi tersebut Pranoto mengatakan bahwa Bu Ruswo sering pergi ke luar kota karena ia bertugas sebagai kurir atau berbelanja keperluan prajurit yang sedang bergerilya di luar kota.
Diceritakan pula bahwa Bu Ruswo tidak saja hanya membawa makanan, tetapi juga rokok untuk para prajurit. Pada masa itu, kebutuhan pokok sulit didapatkan apalagi rokok, sebagai alternatifnya, Bu Ruswo pernah membawa surat kabar, tembakau, kemenyan, dan kelembak agar para prajurit bisa merokok.
Selain berperan dalam dapur umum, Bu Ruswo dan Pak Ruswo (Ruswo Prawiroseno) juga berperan aktif sebagai kurir, baik untuk menyampaikan pesan tertulis maupun lisan.
Strategi yang mereka gunakan cukup cerdik. Surat-surat penting disembunyikan di dalam stang sepeda, lalu ditutup dengan pegangan sepeda, sehingga tidak mudah terdeteksi.
Keberanian mereka sungguh luar biasa, berani melintasi wilayah yang dijaga ketat dan bertemu langsung dengan tentara Belanda. Tak sampai disitu, Bu Ruswo juga berperan dalam berbagai hal, terutama dalam perjuangan perempuan.
Ia pernah tergabung dalam Komite Pembela Buruh Perempuan Indonesia, Komite Penyokong Perguruan Indonesia, dan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Anak dan Perempuan.
Bu Ruswo juga hadir dalam Kongres Persatuan Perkumpulan Isteri Indonesia (PII) pada tahun 1932 di Surakarta. Dalam kongres tersebut topik utama yang dibicarakan adalah masalah perdagangan perempuan.
Di sana Bu Ruswo mengutarakan pemikirannya bahwa perdagangan perempuan adalah penyakit dunia yang harus segera dituntaskan. Atas jasa-jasanya, Bu Ruswo mendapat penghargaan dari Panglima Divisi III pada Apel Besar yang diadakan di Magelang pada 25 Mei 1947.
Penghargaan tersebut menjadi pengakuan atas kontribusi pentingnya dalam pemenuhan logistik prajurit.
Setelah itu, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Gerilya kepada Bu Ruswo, sebuah penghargaan kehormatan yang diberikan langsung oleh Presiden Soekarno di Kraton Yogyakarta.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti