Sejarah Puncak, Tempat Pelarian Penyakit hingga Jadi Lokasi ‘Healing’ di Masa Kolonial
Kemacetan horor di jalur Puncak, Bogor, Jawa Barat kembali terjadi saat long weekend akhir pekan Minggu (16/9) lalu.
Kemacetan horor di jalur Puncak, Bogor, Jawa Barat kembali terjadi saat long weekend akhir pekan Minggu (16/9) lalu.
Bahkan, satu orang wisatawan asal Jakarta meninggal dunia di tengah kemacetan tersebut.
- Wisatawan Asal Jaktim Meninggal Imbas Macet Horor di Puncak, Pj Bupati Bogor Sampaikan Bela Sungkawa
- Menengok Keindahan Pinto Aceh, Perhiasan Tradisional yang Menarik Perhatian Kolektor
- Kisah Lucu Berbalut Horor ‘Noni Belanda’ di RSCM
- Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur
Data polisi, 150 ribu kendaraan terjebak di jalur wisata favorit warga Jabodetabek tersebut.
Sebenarnya, Puncak Bogor sudah menjadi destinasi bagi orang-orang Batavia (kini Jakarta) sejak masa kolonial. Pada tahun 1733, Batavia telah dilanda wabah penyakit Malaria, yang pada saat itu masih belum diketahui cara penanganannya.
Sehingga banyak kaum elite Batavia yang berpindah ke Kawasan Puncak.
"Dengan kondisi wabah mengerikan ini, orang-orang elit Batavia bergeser ke wilayah Selatan meninggalkan Kota Benteng Batavia pada tahun 1740 sampai 1745. Hal ini digagas Gubernur Baron Van Imhoff," ucap Sejarawan Jakarta, JJ Rizal dalam konferensi pers virtual Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), di YouTube dengan tajuk ‘Puncak, Mengapa Diminiati Meski Macet Menanti’.
Tujuan van Imhoff yakni mencari solusi pengobatan alternatif dengan memindahkan rumah tinggal kaum elite dan membangun rumah peristirahatan di luar Batavia.
Pada 1745, van Imhoff membangun rumah peristirahatan di Kampung Baru, Bogor, yang kini dikenal sebagai Istana Bogor. Van Imhoff tertarik membangun rumah peristirahatan di sana karena pada saat itu kawasan Puncak masih berupa hutan.
Selain membangun tempat istirahat, ia juga membuka lahan pertanian dan mendirikan tempat pengobatan alternatif berupa spa, seperti yang diungkapkan Rizal.
“Sebagai keturunan Jerman, Van Imhoff mengimpor sistem pemulihan kesehatan alternatif dengan spa di lingkungan yang alami, sehat dan udaranya sangat baik di tempat yang sekarang kita kenal dengan Kawasan Puncak. Hal ini dilakukan karena udara di Batavia saat itu sangat bau busuk dan pengap saat Malaria mewabah,” kata Rizal.
Awal Penemuan Kawasan Puncak
Untuk memudahkan pengelolaan, Gubernur van Imhoff menggabungkan sembilan distrik di kawasan awal Puncak ke dalam satu pemerintahan bernama Regenteschap Kampung Baru Buitenzorg. Distrik-distrik tersebut termasuk Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga, dan Kampung Baru.
Seiring berjalannya waktu, nama Buitenzorg mulai merujuk pada wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, serta Puncak Gunung Salak dan Puncak Gunung Gede.
Bogor dan kawasan Puncak pun berkembang menjadi pusat penelitian bagi ilmuwan dalam mencari obat malaria. Pada tahun 1815, Raja Willem I Belanda mengirim ahli botani untuk mengeksplorasi potensi perkebunan di Hindia-Belanda dan Bogor terpilih sebagai pusat penelitian dengan rumah peristirahatan van Imhoff, yang kemudian mendorong pendirian Kebun Raya Bogor pada 1817.
Aktivitas ilmuwan juga memicu pendirian Kebun Raya Cibodas di Puncak, yang akhirnya ditemukannya obat Malaria dari pohon Kina di tempat tersebut pada tahun 1845. Selain itu, adanya Kawasan Puncak juga merupakan gagasan dari Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Daendels, yang menjabat dari 1808-1811, memprakarsai pembangunan Grotepostweg atau Jalan Raya Pos, yang menghubungkan Anyer-Panarukan.
Semakin Pesat
Sebelum jalan ini dibangun, perjalanan dari Batavia ke Cipanas memerlukan waktu hingga delapan hari. Dengan adanya jalan ini, waktu tempuh berkurang menjadi kurang dari satu hari.
Selain mempermudah akses jalan untuk penelitian dan penyembuhan, Jalan Raya Pos juga mendorong pertumbuhan sektor wisata dan perkebunan di Puncak.
Setelah masa jabatan Daendels berakhir, kawasan tersebut mengalami banyak perkembangan dengan munculnya berbagai perkampungan baru.
Pada tahun 1910, perkebunan teh Puncak didirikan dan hingga kini menjadi salah satu tempat wisata yang populer. Memasuki tahun 1937, sektor pariwisata di Puncak Bogor semakin pesat, sementara aktivitas ilmiah mulai menurun.
Perkebunan semakin mengurangi area hutan, dan hotel serta resort semakin berkembang. Bogor, yang dulunya merupakan daerah resapan air yang asri, kini telah bertransformasi menjadi salah satu ikon wisata favorit bagi penduduk Batavia.
Hingga kini, Puncak masih menjadi tempat wisata bagi masyarakat Jakarta yang merasa penat dengan hiruk pikuk di Jakarta.
Reporter: Yulisha Kinanti