Pernah Melawan Penjajah Belanda Sampai 50 Tahun, Begini Sejarah Suku Basemah di Sumatera Selatan
Suku asli dari kota Pagaralam, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Muara Enim ini melakukan perlawanan terlama dalam sejarah.

Suku asli dari kota Pagaralam, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Muara Enim ini melakukan perlawanan terlama dalam sejarah.

Pernah Melawan Penjajah Belanda Sampai 50 Tahun, Begini Sejarah Suku Basemah di Sumatera Selatan
Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, dan agama. Setiap suku tentu memiliki ciri khas dan peristiwa sejarahnya masing-masing yang pastinya menarik untuk dikupas lebih dalam.
Salah satu suku yang bermukim di sekitar kawasan Gunung Dempo, Pagaralam, Empat Lawang, Muara Enim dan sekitarnya itu bernama Suku Basemah. Suku ini masih kerabat dekat dari Suku Melayu dan Komering yang sudah mendiami Pulau Sumatera selama ratusan tahun.
Suku Basemah ini juga disebut dengan Melayu Besemah, Besemah, Pasemah, atau Pesemah. Ciri khas kehidupan orang-orang Suku Basemah ini sebagian besar merupakan petani dengan mengelola kebun sendiri.
Selain itu, Suku Basemah dan sekitarnya juga sempat melawan penjajah Belanda yang berlangsung selama puluhan tahun. Hal ini menjadi perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan pada abad ke-19.
Belum Masuk Daerah Jajahan
Mengutip dari pagaralamkota.go.id, orang-orang Basemah sendiri sudah beberapa kali disebut dalam laporan-laporan oleh pihak Hindia Belanda. Salah satunya dari tulisan seorang pegawai Hindia Belanda bernama JSG Grambeg.
Dalam tulisannya pada tahun 1865, Grambeg menyebut bahwa wilayah Pasemah sendiri belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Adapun laporan yang mengatakan jika perlawanan Belanda terhadap orang-orang asli berlangsung cukup lama.
Orang-orang Eropa pada awalnya tidak mengetahui siapa sebenarnya orang Basemah. Namun, Thomas Stamford Raffles menyebut mereka ini dengan nama 'Passumah'.
Dalam sebuah buku karya John Bastin, orang 'Passumah' ini digambarkan bandit-bandit tidak tahu hukum, dan gagah berani pernah menyerang distrik Manna atau salah satu kota di Bengkulu sekitar abad ke-18.
Konsep Matrilineal dan Patrilineal
Melansir dari beberapa sumber, Suku Basemah sendiri memiliki dua konsep tradisi yaitu Matrilineal dan Patrilineal. Uniknya, meski ada dua konsep tradisi tetapi nyatanya peran laki-laki dan perempuan tetap sama di dalam keluarga maupun masyarakat.
Lebih dati itu, orang-orang Basemah juga memegang prinsip hidup "Tidak Dapat Membantu, Tapi Jangan Merusak Jadilah" yang artinya sama seperti sikap alam terhadap makhluk hidup, khususnya manusia.
Sistem Kekeluargaan
Dalam sistem kekeluargaan ini dibagi menjadi adat pernikahan dan kehidupan bermasyarakat. Adat pernikahan masyarakat Basemah dikenal dengan adat ambil anak dengan adat nikah matrilokal.
Perkawinan ini mengusung konsep di mana laki-laki tidak membayar uang jujur kepada pihak perempuan. Adapula sang suami yang menetap di wilayah istrinya sampai anak-anak mereka dewasa dan berumah tangga.
Sedangkan dalam sistem kemasyarakat, Suku Basemah mengenal wilayah kemargaan yang dipimpin oleh seorang Pasirah. Orang Pasemah rata-rata pemeluk agama Islam akan tetapi warisan tradisi kepercayaan lama masih bertahan di beberapa bidang kehidupan.
Di mana Keberadaannya?
Mengenai asal-usul dari suku Basemah ini sampai sekarang masih diselimuti cerita-cerita yang bersifat legenda atau mitos, seperi mitos Atung Bungsu yang mengisahkan salah satu di antara 7 orang anak ratu Majapahit yang melakukan penyusuran di Sungai Lematang.
Atung Bungsu kemudian menikah dengan putri Ratu Benua Keling bernama Senantan Buih, Mereka memiliki keturunan yang terdiri dari: Bujang Jawe (Puyang Diwate), Puyang Mandulike, Puyang Sake Semenung, Puyang Sake Sepadi, Puyang Sake Seratus, dan Puyang Sake Seketi.
Bersama keturunannya, mereka menjadi penduduk dari Jagat Basemah.