Sukarno Singgung Pemimpin Kuat Kawin dengan Ratu Kidul
Presiden Sukarno beberapa menyinggung soal penguasa Laut Selatan atau yang biasa disebut sebagai Nyi Roro Kidul (Ratu Kidul).
Presiden Sukarno beberapa menyinggung soal penguasa Laut Selatan atau yang biasa disebut sebagai Nyi Roro Kidul (Ratu Kidul). Bung Besar menyebut Ratu Kidul saat memberikan pidato pelantikan R.E. Martadinata sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, 17 Juli 1959.
"Ratu Roro Kidul, ratu dari lautan selatan, ratu dari samudera yang dulu bernama Samudera Hindia, tetapi kemudian kita ubah dengan nama Samudera Indonesia, saudara-saudara," ungkap Sukarno dalam Kumpulan Pidato Bung Karno di Hadapan ABRI.
-
Dimana Soekarno diasingkan? Penganan Pelite rupanya juga menjadi kue favorit Bung Karno saat berada dipengasingan di Kota Muntok sekitar tahun 1949.
-
Siapa yang bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
-
Bagaimana reaksi Soekarno saat bertemu Kartika? Bung Karno yang mengetahui kedatangan istri dan putrinya, seketika mengulurkan tangan dan seolah-olah ingin mencapai tangan Kartika.
-
Bagaimana Soekarno mempelajari bahasa Sunda? Inggit didapuk jadi penerjemah Bahasa Sunda masyarakat, dan membantu Soekarno saat kesulitan mengucap Bahasa Sunda.
-
Apa yang dimaksud dengan kata-kata Soekarno tentang bangsa yang besar? "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."
-
Di mana Soekarno belajar untuk memimpin? Soekarno, yang tinggal di Surabaya pada era 1920-an, belajar untuk menundukkan hati rakyat dan menjadi inspirasi bagi mereka dalam melawan penjajah serta mencapai kemerdekaan Indonesia.
Pada lain kesempatan, Sukarno kembali bicara soal Ratu Kidul. Seperti saat memberikan amanat dalam Hari Armada di dermaga Angkatan Laut, Surabaya pada 6 Januari 1961. Bung Karno menyebut tidak ada pemimpin kuat jika tidak kawin dengan ratu kidul.
"Pada waktu itu aku menceritakan tentang mitologi, dongeng Ratu Lara Kidul, bahwa seorang raja di tanah air kita ini tidak bisa menjadi kuat, sentosa, besar jikalau ia tidak kawin dengan Ratu Lara Kidul, dan saya terangkan di dalam pidato pelantikan itu apa artinya ucapan ini," ungkap Sukarno.
Pernyataan Simbolik
Saat menyinggung Ratu Kidul, banyak orang penasaran. Sukarno langsung menjelaskan makna dari ucapannya. Menurut Bung Karno, pernyataan itu tidak bisa diartikan secara harafiah.
"Artinya ialah bukan kok kita ini harus kawin dengan seorang yang benar-benar Ratu Lara Kidul. Tetapi itu adalah satu simbolik, satu perlambang bahwa negara ini, apalagi Republik Indonesia ini, hanya bisa menjadi kuat, jikalau kita kawin dengan lautan, jikalau kita benar-benar menjadi rakyat bahari kataku. Bahar dalam arti laut," kata Bung Besar.
Dalam konteks ini Sukarno menjelaskan bahwa Ratu Kidul menjadi makna simbolik dari lautan atau samudera Indonesia. Sehingga para pemimpin harus 'menikah' dengan Ratu Kidul (Lautan atau Samudera). Agar Indonesia menjadi Negara Bahari yang kuat.
Zaman Kerajaan
Kepala Negara mengingatkan tradisi kuno Indonesia sebagai bangsa Maritim yang kuat dan berpengaruh. Tercermin sejak zaman kerajaan Nusantara. Pada masa itu, kerajaan-kerajaan di Nusantara mendapatkan pengaruhnya karena menguasai lautan.
"Dan tatkala saya melantik Laksamana – waktu itu belum Laksamana penuh, - Martadinata menjadi kepala Staf Angkatan Laut, saya memperingatkan, bahwa tradisi kuno kita ialah, agar kita menguasai lautan, bahwa negara kita hanya bisa menjadi besar dan kuat jikalau ada persatuan perhubungan penguasaan yang mutlak dari lautan," ungkap Soekarno.
Dalam mitologi Jawa, para Raja Jawa merupakan suami dari penguasa laut selatan (Ratu Kidul). Pernikahan gaib tentu bukan berarti menikahi sosok mitologi secara biologis, akan tetapi makna tersirat sebagai legitimasi suatu kekuasaan.
Jadi, pesan Sukarno soal 'pernikahan' itu tujuannya ingin menyatukan kekuasaan dengan laut secara simbolik. Sukarno percaya bangsa Indonesia menjadi kuat bila dapat menguasai lautan seperti pada masa kerajaan.
Reporter Magang: Muhamad Fachri Rifki