Urbanisasi Besar-Besaran Usai Ibu Kota Pindah
Urbanisasi besar-besaran di Jakarta dimulai pada tahun 1949, ketika Ibukota dipindahkan kembali ke Jakarta. Sebelumnya ibu kota berada di Yogyakarta.
Urbanisasi besar-besaran di Jakarta dimulai pada tahun 1949, ketika Ibukota dipindahkan kembali ke Jakarta. Sebelumnya ibu kota berada di Yogyakarta.
Sejak saat itu, jumlah penduduk di Jakarta meningkat secara signifikan akibat perpindahan massal dari berbagai daerah luar kota.
- Jika Terpilih, RK Bakal Tambah 3 Kali Lipat Pohon di Jakarta: Supaya Semuanya Serindang Jaksel
- Dharma-Kun Bicara Ide Mendesain Ulang Tata Kota di Jakarta: Kami Harus Belajar Dulu
- Kepala Bappenas: Kota-Kota di Indonesia Itu Tak Punya Bentuk Jelas
- Pembangunan Kota-Kota Indonesia Disentil Pemerintah, Disebut Hanya Fokus Kejar Komersil
Para pendatang datang dengan harapan memperbaiki kehidupan, karena Jakarta dipandang sebagai kota yang menjanjikan masa depan yang lebih cerah.
Mulai saat itu, kehidupan di Jakarta pun mengalami perubahan yang drastis.
Mengapa masyarakat berpikir Jakarta adalah kota yang menjanjikan?
Jakarta berkembang menjadi pusat utama berbagai aktivitas di Indonesia. Semua urusan perdagangan, bisnis, dan pemerintahan berpusat di kota ini.
Sebagai ibukota, Jakarta mendapat aliran pendanaan pembangunan kota yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya.
Pendanaan tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur kota, seperti gedung-gedung pemerintahan dan area pemukiman.Melihat banyaknya peluang pekerjaan dan usaha, maka banyak masyarakat di luar kota yang datang berbondong-bondong meninggalkan tempat asalnya.
Jumlah Penduduk
Selain mencari peluang dan berharap memperbaiki nasib, sebagian orang pindah ke Jakarta untuk menghindari kerusuhan di pedesaan yang terus berlanjut setelah kemerdekaan.
Pada masa itu, pemberontakan dari dalam negeri masih kerap terjadi pasca kemerdekaan.
Mengutip dari jurnal Menuju Masyarakat Urban: Sejarah Pendatang di Kota Jakarta Pasca Kemerdekaan (1949-1970) karya Rahadian Ranakamuksa Candiwidoro, menyebutkan bahwa pada awal 1950-an, menurut catatan seksi ketatanegaraan pemerintah umum Kotapraja Djakarta Raya, jumlah penduduk Jakarta tercatat sebanyak 1.845.592 jiwa, dengan populasi terbanyak berada di Kecamatan Mangga Dua.
Angka ini terus bertambah hingga melebihi 4 juta jiwa pada akhir 1960-an. Kehidupan di kota ini menuntut para pendatang untuk cepat beradaptasi. Oleh karena itu, meningkatnya urbanisasi di Jakarta juga dipengaruhi oleh ikatan persaudaraan yang kuat.
Biasanya, anggota keluarga yang sudah merantau di Jakarta akan mengajak anggota keluarga lainnya untuk tinggal bersama.
Selain itu, banyak dari mereka yang ditampung oleh orang-orang yang berasal dari daerah yang sama. Ikatan kesamaan ini membantu mereka untuk beradaptasi ke dalam kehidupan di Jakarta.
Berdampak Buruk
Tak hanya pada masa awal kemerdekaan, migrasi di kota Jakarta masih terjadi sampai saat ini. Masih banyak orang luar daerah yang memilih merantau di kota Jakarta untuk mencari pekerjaan.
Akibat dari urbanisasi ini membuat Jakarta menjadi kota padat penduduk. Kota yang padat penduduk menimbulkan masalah berkepanjangan yang sulit diatasi.
Masalah-masalah dari kepadatan penduduk ini mengakibatkan kota Jakarta mendapati masalah banjir, kemacetan, polusi, serta kemiskinan yang dapat meningkatkan kriminalitas.
Meskipun saat ini proses pemindahan Ibukota telah dilakukan secara perlahan ke IKN, namun kepadatan penduduk di Jakarta masih terjadi.
Sampai saat ini, pemerintah belum dapat mengatasi kepadatan penduduk di Jakarta. Terlihat dari masalah-masalah yang disebutkan belum dapat diatasi, serta belum tercapainya kesejahteraan yang merata di Jakarta.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti