Melihat Uniknya Buleng Khas Jakarta, Tradisi Campuran Budaya Betawi, Sunda dan Jawa
Warisan leluhur Jakarta ini menghadirkan seni lisan, sastra hingga musik tradisional yang indah.
Warisan leluhur Jakarta ini menghadirkan seni lisan, sastra hingga musik tradisional yang indah.
Melihat Uniknya Buleng Khas Jakarta, Tradisi Campuran Budaya Betawi, Sunda dan Jawa
Buleng mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat, khususnya warga Jakarta. Padahal, Buleng merupakan budaya orang Betawi yang memiliki keunikan dan digemari di masa silam.
Berbicara tradisi Betawi, selama ini masyarakat hanya sebatas mengenal Ondel-ondel, Palang Pintu sampai Gambang Kromong. Padahal, Buleng memiliki banyak keunikan karena menggabungkan budaya Betawi, Sunda dan Jawa.
-
Apa itu tradisi ketupat lepas di Betawi? Ini bukan budaya makan bareng ketupat nasi, atau membagikannya ke warga. Melainkan sebagai pengiring nazar dari para orang tua terhadap anak-anak mereka.
-
Apa yang dimaksud dengan tradisi "nyedengin baju" di Betawi? Nyedengin Baju berarti Mengukur Pakaian Mengutip situs Seni Budaya Betawi, pengamat budaya Betawi, Yahya Andi Saputra, mengatakan bahwa tradisi Nyedengin baju jadi ciri khas keluarga Betawi di masa silam. Dalam bahasa Betawi, disedengin berarti diukur tubuh kita. Ini bertujuan agar baju lebaran nantinya cukup dan pas ketika dikenakan.
-
Apa yang dimaksud dengan tradisi Tamat Qur'an di Betawi? Tradisi yang juga dikenal dengan nama Tamat Qur'an ini populer di kalangan warga pinggiran Jakarta, terutama yang masih kental dengan budaya Betawi. Biasanya, acara ini dirayakan oleh anak-anak yang mampu menyelesaikan sebanyak 30 juz. Yang menarik, anak-anak akan diarak keliling kampung sebagai ungkapan rasa bahagia sekaligus menjadi motivasi bagi anak-anak lainnya agar bisa turut menyelesaikannya.
-
Kenapa budaya palang pintu muncul di Betawi? Budaya palang pintu muncul ketika daerah-daerah Betawi masih rawan. Dulu jauh sebelum seperti saat ini, orang melamar untuk nikah harus berangkat pada malam hari.
-
Kapan tradisi Nyambat populer di Betawi? Tradisi ini sebelumnya sempat popular sejak puluhan tahun silam oleh kalangan warga Betawi setidaknya sampai tahun 1950-an.
-
Kapan tradisi Lebaran Betawi berlangsung? Tradisi berlebaran masyarakat Betawi berlangsung hingga pekan ketiga di bulan Syawal.
Di masa silam, Buleng selalu dinanti oleh masyarakat. Pertunjukkannya diadakan sederhana dan mampu menghibur penonton. Warisan leluhur Jakarta ini menghadirkan seni lisan, sastra hingga musik tradisional yang indah.
(Foto: Kemdikbud)
Populer di Warga Betawi Pesisir
Mengutip situs jakita.jakarta.go.id, tradisi Buleng sebenarnya muncul dan berkembang di wilayah Betawi pesisir.
(Foto: Suaeb Mahbub, pelestari tradisi Buleng)
Mulanya, warga menjadikan Buleng sebagai media hiburan dengan menyisipkan pesan kebaikan.
Warga menyukai Buleng lantaran penampilannya yang menyenangkan, dengan suguhan musik tradisional Betawi, Gambang Kromong.
Biasanya, Buleng dipertontonkan satu hari sebelum hajatan pernikahan maupun sunatan. Hal ini bertujuan untuk menghibur anggota keluarga yang memiliki hajat.
Buleng Berangkat dari Seni Bercerita Kakek ke Cucunya
Jika ditilik sejarahnya, budaya ini berangkat dari kebiasaan kakek yang bercerita kepada sang cucu. Di zaman dulu, hal yang wajar jika kakek menjadi “orang tua kedua” yang menasihati cucunya.
Secara bahasa, Buleng merupakan cara mendongeng dengan menyisipkan pesan kebaikan kepada anak maupun cucu di dalam sebuah rumah.
Dari segi tema, Buleng biasanya mengangkat cerita kehidupan sehari-hari mulai dari rumah, sawah, ladang dan aktivitas sosial lainnya dengan gaya yang tidak membosankan.
- Penuh Tradisi, Cara Desa Adat Kemiren Banyuwangi Rayakan Hari Jadi
- Cara Unik Warga Lombok Peringati Maulid Nabi, Kompak Menumbuk Padi Diiringi Musik Gamelan
- Jejak Jalur Rempah Ragam Kuliner Tradisional Banten dan Jakarta
- Serunya Pertunjukan Angklung Caruk Banyuwangi, Lomba Curi Perhatian Tampilkan Lagu dan Tarian Meriah
Gunakan Bahasa Betawi Dialek Pesisir
Keunikan lain yang bisa ditemui dari tradisi ini adalah metode bercerita dari sosok yang dipercaya atau sesepuh setempat.
Biasanya mereka menggunakan bahasa Betawi dengan dialek khas pesisiran.
Dialek pesisiran kerap menyisipkan bahasa Jawa dan Sunda, seperti kata Ora yang artinya tidak dalam bahasa Jawa ataupun Bae yang bisa diartikan sebagai selalu, saja atau biarkan dalam bahasa Sunda.
Biasanya, pencerita akan mengenakan pakaian khas Betawi yang mirip jawara, lengkap dengan peci dan golok.
“Buleng diawali dengan memperkenalkan judul cerita, dilanjutkan dengan menyebutkan silsilah raja, menggambarkan sekilas keadaan kerajaan, menggambarkan konflik-konflik yang terdapat dalam cerita, lalu diakhiri dengan penjelasan pesan moral yang terkandung dalam cerita,” tulis di laman Kemdikbud.
Kembali Dihidupkan
Salah satu warga Betawi yang menaruh perhatian terhadap tradisi Buleng adalah Suaeb Mahbub.
Sebagai pelestari, dirinya kerap mengisi acara-acara kebudayaan Betawi di seputaran Jakarta.
Suaeb mengakui jika tradisi ini mulai meredup. Maka dari itu, dirinya terus berupaya agar tradisi ini bisa bertahan di tengah gempuran zaman.
“Buleng ini menghibur dengan cerita-cerita seperti “Aki Tirem”, ”Si Pitung” ataupun “Lutung Kasarung” biasanya saya selipin juga pesan-pesan positif saat menyampaikan Buleng. Di Marunda sendiri, Buleng masih terus dilestarikan,” kata pegiat asal Kampung Marunda Kepu, Jakarta Utara itu.