Ketika Bioskop Pertama Hadir di Bandung, Tampilkan Film Bisu dengan Suara Orang Asli di Dalam Bioskop
Pada 1907 jadi tahun pertama kemunculan bioskop di Kota Kembang. Letaknya ada di sekitar alun-alun Kota Bandung, dengan gedung tenda bilik sederhana.
Awal tahun 1900-an, Bandung mulai beranjak menjadi kota metropolitan. Di masa yang sama, kota ini juga mulai menjadi tujuan warga dari berbagai pinggiran untuk mencari hiburan.
Desain kota sendiri sudah mulai artistik, dengan dibangunnya beberapa hotel serta pusat keramaian salah satunya bioskop. Iya, gedung pertunjukan visual sudah mulai diperkenalkan di sana. Penggagasnya merupakan dua warga Belanda yakni Helant dan Michel.
-
Siapa yang mendirikan bioskop pertama di Medan? Di Medan, pada tahun 1889 telah dibangun bioskop pertama yang didirikan oleh seorang Belanda bernama Michael.
-
Kapan bioskop pertama di Medan mulai menayangkan film bicara? Mengutip jurnal "Memutar Sejarah "Gambar Idoep" Masa Silam: Industri Perfilmandan Dampaknya di Medan pada Era Kolonial Belandasampai Orde Baru", bioskop di Medan mulai berkembang dengan menayangkan film bicara pada awal tahun 1928.
-
Kenapa Museum Bioskop Jambi penting bagi Indonesia? Tempoa Art Gallery atau yang dikenal dengan Museum Bioskop Jambi merupakan aset penting bagi bangsa Indonesia, bahkan dunia.
-
Di mana Museum Bioskop Jambi berada? Museum yang berada di dalam kawasan Pasar Hongkong Jambi ini bisa dikunjungi siapapun.
-
Siapa yang meresmikan Gedung Kesenian Jakarta sebagai bioskop? Gedung Kesenian Jakarta lantas diresmikan sebagai gedung bioskop Diana yang amat populer ketika itu.
-
Bagaimana bioskop di Medan berlomba untuk menayangkan film bicara? Dengan berakhirnya era film bisu, bioskop-bioskop yang ada di Medan pun berlomba untuk menayangkan film bicara.
Pada 1907 jadi tahun pertama kemunculan bioskop di Kota Kembang. Letaknya ada di sekitar alun-alun Kota Bandung, dengan dua gedung visual yang dibangun yakni de Crown Bioscoop dan Oranje Electro.
Dua tempat inilah yang menandai kebangkitan seni hiburan modern di Priangan, dengan konsep unik yakni narasi yang dibacakan langsung dari balik tenda semi permanen. Begini kisahnya.
Dulu Bioskop di Bandung Bentuknya Tenda Semi Permanen
Pasca hadirnya de Crown Bioscoop dan Oranje Eelectro, seluruh warga kota maupun pinggiran berbondong-bondong datang ke sana. Biasanya, jadwal pemutaran film diadakan setiap pekan dan amat mencuri perhatian.
Namun jangan dibayangkan filmnya seperti sekarang, karena pada saat itu yang ditampilkan merupakan film bisu dengan tampilan hitam putih. Film ini tidak mengeluarkan suara, dan hanya menampilakan gambar yang bergerak.
Dalam catatan Fandy Hutari di buku “Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal: Kumpulan Esai, Seni, Budaya & Sejarah Indonesia” disebutkan bahwa bentuk gedung bioskop masih amat sederhana, yakni menyerupai tenda semi permanen.
- Jejak Bioskop di Kota Banda Aceh, Sudah Ada sejak Tahun 1930-an
- Bisnis Bioskop di Korea Selatan Terancam Bangkrut, Ternyata Ini Penyebabnya
- Kebun Binatang Pertama Indonesia ada di Jakarta, Dulu Dilengkapi Bioskop sampai Kolam Renang
- Mengunjungi Museum Bioskop Jambi, Punya Koleksi Film Lawas Terlengkap di Asia Tenggara
Menampilkan Gambar Bergerak Tanpa Suara
Menurut Fandy, ketika itu film masih berbentuk gambar bergerak. Produksinya juga kebanyakan di negara Belanda, walaupun beberapa tahun setelahnya mulai ada film pertama yang diproduksi di Priangan bernama Loetoeng Kasaroeng.
Kapasitas bioskop masih belum sebanyak sekarang. Terkadang, keterbatasan ini membuat orang berjubel karena ingin bergantian menonton. Tiketnya juga terbilang murah pada saat itu, sehingga bisa dijangkau oleh semua kalangan.
“Masyarakat Bandung baru memperoleh kemampuan untuk menyaksikan ‘kemajuan zaman’ ini pada tahun 1907,” kata Fandy di bukunya.
Hadirkan Suara Orang Asli di Dalam Bioskop
Satu hal yang unik di masa awal kemunculan bioskop adalah sisi kreativitas dari sang pemilik. Kala itu, dua pemilik awal bioskop Helant dan Michel menghadirkan kru tambahan di dalam bilik tenda bioskop.
Orang tersebut memiliki tugas khusus, yakni berteriak sembari membacakan narasi seputar film tersebut. Ini merupakan upaya untuk mengatasi kejenuhan penonton karena film tidak memiliki suara.
“Sejak awal kemunculannya, film yang ditonton warga Bandung masih tidak bersuara. Untuk mengatasi kebisuannya, pemutar film mempekerjakan seorang komentator dengan tugas utamanya berteriak-teriak untuk mendramatisir berbagai adegan gambar,” tulis Haryono Kunto dalam bukunya ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’.
Hadirkan Pemain Orkestra Mini di Dalam Bioskop
Kemudian, di dua bioskop tersebut juga menghadirkan kelompok pemain musik dalam jumlah kecil yakni orchestra. Mereka mengiringi adegan demi adegan film, dengan menyesuaikan iramanya.
Seharusnya, pemain orchestra bertugas sesuai dengan adegan, semisal sedih, maka musiknya juga mendayu. Sebaliknya, saat adegannya bahagia atau bersemangat, pemusik juga harus memainkannya dengan tempo cepat seperti mars.
Sebaik-baiknya pemusik orchestra, nyatanya kerap melakukan kesalahan. Pernah suatu ketika, antara gambar dengan musik tidak singkrong sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan penonton.
“Namun terkadang sering tidak tepat antara musik dengan adegan di dalam film, misalnya ketika adegan sedih, musik yang dimainkan justru semangat (mars),” kata Fandy
Penonton Sampai Jebol Gedung
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1930 terjadi perubahan tren film bioskop. Di tahun ini, muncul budaya baru yakni film talkies. Apa itu? Film talkies merupakan film berbicara atau film yang menghadirkan kombinasi visual gambar dan suara.
Di masa itu, Surabaya berkesempatan merasakan film bersuara pertama atau talking pictures berjudul ”The Jazz Singer” kemudian kota-kota lain lantas menyusul.
Antusiasme penonton membuat tren ini diganderungi pemuda dari berbagai wilayah. Banyak orang-orang yang rela datang dari luar kota untuk menyaksikannya. Saking antusiasnya, dinding bioskop sampai jebol dan polisi kemanan Hindia Belanda terpaksa mengamankan pengunjung yang berulah.
Bioskop Era Modern di Bandung
Mengutip bandung.go.id, keberadaan bioskop kemudian terus berkembang di Bandung, dengan munculnya berbagai gedung pertunjungan seperti Bioskop Majestic, Elita Bioskop, Bioskop Dian, Radio City, Rex dan Panti Karya.
Di masa itu juga mulai terjadi pergeseran kelas, di mana para penonton sudah berasal dari kalangan elit. Kebanyakan, mereka yang datang mengenakan jas rapi dan berdasi.
Bioskop-bioskop menjadi tonggak munculnya budaya hiburan modern di Bandung setelah tahun 1930-an, dengan jejak bangunan yang kini mulai berganti.