Cerita Komunitas Ciliwung Merdeka dan kemandirian warga Bukit Duri
Jokowi juga kembali datang untuk meminta restu kepada warga Bukit Duri yang akan merebut kursi RI 1.
Pemerintah Provinsi Jakarta berencana kembali menggusur warga Kampung Bukit Duri di Tebet, Jakarta Selatan. Penggusuran yang dijadwalkan akan dilakukan pada akhir bulan Mei ini mendapat penolakan keras dari warga. Salah satu di antaranya yakni Komunitas Ciliwung Merdeka.
Adalah I Sandyawan Sumardi, pendiri sekaligus penggagas komunitas Ciliwung Merdeka. Pria yang akrab disapa Romo Sandy ini pertama kali datang ke Kampung Bukit Duri pada tahun 2000. Awalnya dia hanya mengontrak sebuah rumah dengan harga Rp 1 juta. Sandy mengaku sering kali mengajar anak-anak kecil yang ada di sekitar wilayah tempat tinggalnya.
"Kemudian saya membeli tanah dan rumah yang kemudian kita bangun bersama-sama warga menjadi rumah terbuka untuk pendidikan, pengobatan, pendidikan lingkungan hidup, untuk apapun itu. Nah dari sinilah kita membantu korban-korban banjir di mana-mana, tiga puluh titik di Jakarta ini," cerita Sandyawan kepada merdeka.com, Kamis, (12/5) kemarin.
Sanggar yang berukuran 8 x 7 meter yang semula rumah miliknya, saat ini telah berubah menjadi balai warga yang terbuka 24 jam. Balai warga itu pun kemudian diberi nama Sanggar Ciliwung. Sejak tahun 2007, bangunan dua lantai yang berdiri tepat di bantaran kali itu menjadi pusat kegiatan warga hingga saat ini. Mulai dari perkumpulan kegiatan warga, tempat rapat hingga sarana berbagi informasi dan yang lainnya.
"Kami ini warga pinggir kali biasanya yang kemudian menyadari bahwa warga harus berdaya, warga itu harus menjadi stakeholder, pemangku kepentingan utama kalau dibandingkan dengan pengembang, dibandingkan dengan para akademisi, dibandingkan dengan macam-macam itu, atau Pemprov DKI yang menjadi stakeholder pertama itu warga masyarakat," ungkap pria usia 56 tahun ini.
Kepada merdeka.com, Sandy mengungkapkan, warga Kampung Bukit Duri ini merupakan cerminan dari masyarakat sederhana yang ada di Jakarta. Meski dirinya tak lagi tinggal di Bukit Duri sejak 3 tahun terakhir, namun dengan tegas dia mengatakan warga bantaran kali ini bukanlah barang yang bisa dengan mudah dipindah-pindah layaknya barang. Dia mengecam keras rencana Pemprov DKI Jakarta yang akan menggusur warga Kampung Bukit Duri.
"Masyarakat sederhana itu tidak seperti barang yang gampang dipindah-pindah tanpa ada apa, kami manusia yang bukan cuma dilihat dari angka, enggak bisa kaya gitu. Ada kehidupan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya di sini. Ada hak ekonomi, ada hak sosial, ada hak budaya, hak asasi terhadap tanah dan ruang," ungkap Sandy.
Kerap dipandang sebelah mata
Isu tentang penggusuran Kampung Bukit Duri tidak dimulai saat Jakarta dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sejak tahun 2003 di era pemerintahan Sutiyoso, kabar tentang penggusuran itu telah ada. Sandy mengatakan, warga Bukit Duri ini mengalami ketidakpastian, tekanan hingga diskriminasi dari isu tersebut. Belum lagi stigma miring yang dibentuk pemerintah yang memandang sebelah mata warga bantaran kali.
"Dianggap penuh dengan stigma dari masyarakat kelas menengah. Bahkan pers pun menganggap warga dengan sebutan penduduk liar. Kadang-kadang pers juga kan masih menggunakan istilah penduduk liar, ikut-ikutan memberikan stigma tanpa sadar. Tapi coba mereka datang ke sini, berdialog. Saya saja, belajar dari warga masyarakat di sini. Bagi kami, setiap orang itu guru, alam raya itu sekolah kita. Bukan hanya ruang kelas, bukan hanya kampus. Warga ini dengan segala keterbatasan yang ada itu mempunyai yang namanya kecerdasan alamiah," papar pria asal Sulawesi Selatan itu dengan penuh emosi.
Selama 2 windu tinggal hidup bersama warga Bukit Duri membuat Sandy sangat mengenal dengan baik warga. Mulai dari seluk beluk warga hingga karakteristik warga bantaran kali Ciliwung ini. Lewat komunitas Ciliwung Merdeka di Sanggar yang dibuatnya membuat Sandy menyimpulkan, warga Bukit Duri ini terbuka kepada siapa pun yang berkemauan baik. Sandy menegaskan, Warga Bukit Duri tidak anti pembangunan. Justru sangat menyambut baik segala hal yang menyangkut perbaikan warga.
"Warga sama sekali tidak anti pembangunan di sini. Tidak ada yang menolak rencana relokasi, rencana normalisasi sungai, dalam arti memperdalam, memperlebar dan membuat kehidupan bantaran kali ini lebih berkualitas. Artinya bermartabat, dengan adil, dengan lingkungan hidup yang baik," tutur Sandy.
Di sini kata Sandy, warga bisa menjadi arsitek bagi kampungnya sendiri. Mereka kalau memetakan RT-nya, mereka cukup menggunakan batang korek api. Mengukur sungai mereka secara tradisional dengan menggunakan tali rapia, menyebur sungai. Membantu dengan suka rela peneliti-peneliti yang datang dari berbagai negara seperti Singapura dan Belgia. Warga pun belajar desain-desain alternative dari para arsitek yang datang ke Bukit Duri.
Tak hanya itu, Sandy mengatakan warga Kampung Bukit Duri ini memiliki jiwa sosial dan rasa kemanusiaan yang sangat tinggi. Berbagai stigma negatif yang dituduhkan tak membuat warga berdiam diri. Justru mereka membantah tudingan itu dengan aksi sosial di tengah segala keterbatasan yang mereka miliki.
"Karena stigma-stigma warga yang liar, tapi dengan kepercayaan dirinya mereka justru jadi relawan. Bangga sekali mereka itu meskipun mereka itu bertato, tapi kalau sudah bisa bekerja, membantu warga misalnya di Madura, dalam Tsunami Aceh, korban banjir di berbagai tempat mereka ini punya kepercayaan diri," kata Sandy.
Ketika ada tanah longsor di Sukabumi, warga Kampung Bukit Duri kata Sandy ikut membantu memberikan bantuan. Saat terjadi kerusuhan etnis di Kalimantan dulu, warga juga ikut memberikan bantuan. Ada sekitar sepuluh ribu warga Madura yang dikembalikan ke Madura saat itu. Warga Bukit Duri ikut membantu dengan 6 truk dulu bersama warga Madura memberikan bantuan kemanusiaan selama 5 hari. Kemudian saat tsunami Aceh, selama lebih kurang 2 tahun warga di sini juga memberikan bantuan untuk warga di sana. Padahal, pekerjaan warga di sini pun kebanyakan sopir, tukang masak bahkan tukang bangunan.
"Kalau di sini, kalau banjir belum 7 meter itu bukan banjir. Warga sini menyebut banjir kalau jemur kasur di genteng hanyut. Kalau baru sepinggang itu mereka masih main-main. Itu suasana kalau lagi banjir. Sampai ada ketua pemuda yang dari Aceh itu saya ajak ke sini dan menginap. Kebetulan waktu itu sedang banjir. Menangis ketua pemuda itu melihat ternyata warga dari Jakarta yang membantu kami hampir 2 tahun lamanya, itu tidak punya rumah, bahkan mereka kebanjiran," cerita Sandy.
Jokowi minta restu
Keterbukaan yang dimiliki warga Bukit Duri membuat siapa saja disambut hangat kedatangannya oleh warga. Mulai dari para peneliti manca negara hingga para calon pemimpin yang hendak maju dalam pemilihan Umum. Sandy mengungkapkan, saat presiden Joko Widodo mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi bersama pasangannya, Ahok ikut duduk bersama warga di Sanggar Ciliwung miliknya itu. Saat itu bersama warga bantaran kali, Jokowi saling bertukar pikiran dengan warga dan mendengar aspirasi warga.
"Dulu, Pak Jokowi sama Pak Ahok duduk di sini (Sanggar Ciliwung) sama kita bareng-bareng. Iya di tempat ini saling tukar pikiran dengan warga. Mereka datang ke sini meminta nasihat bagaimana jika ingin mengajukan diri jadi Gubernur DKI. Warga di sini menerima dengan hangat," kata Sandy.
Pun ketika Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia juga kembali datang untuk meminta restu kepada warga Bukit Duri yang akan merebut kursi RI 1. Mantan Wali kota Solo itu pun kembali datang meminta restu warga Bukit Duri.