Desakan cabut izin RS Mitra Keluarga usai kematian Debora
Kasus tersebut membuat sejumlah pihak meminta pertanggungjawaban dari RS Mitra Keluarga. Mulai dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, hingga DPRD DKI Jakarta. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengimbau agar rumah sakit memprioritaskan keselamatan, bukan keuntungan.
Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres hanya bisa berharap agar izin operasinya tak dicabut. Alasannya karena seorang bayi berusia 4 bulan, Tiara Debora Simanjorang meninggal dunia diduga telat mendapat perawatan, Minggu (3/9). Akhirnya bayi mungil tersebut kini sudah dimakamkan di TPU Tegal Alur.
Kasus tersebut membuat sejumlah pihak meminta pertanggungjawaban dari RS Mitra Keluarga. Mulai dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, hingga DPRD DKI Jakarta. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengimbau agar rumah sakit memprioritaskan keselamatan, bukan keuntungan.
Tjahjo menegaskan, rumah sakit hanya berpikir uang harus diberi sanksi sosial oleh masyarakat dan media massa. Untuk itu, dia mengeluarkan surat kepada seluruh kepala daerah agar memantau rumah sakit yang menolak pasien dalam kondisi darurat.
Walaupun politisi PDI Perjuangan ini mengakui masih ada kelemahan dalam aturan yang berlaku. Namun itu bukan berarti membenarkan cara RS Mitra Keluarga dalam menerima pasien.
"Undang-undang yang ada memang lemah dalam mengontrol rumah sakit yang tidak manusiawi tersebut. Pihak RS tahu bayi Deborah sakit parah, harus ada emergency, malah dirujuk ke RS lain. Harusnya ditangani dulu, kalau sudah stabil bisa dirujuk. Sanksi sosial untuk RS tersebut paling tepat jangan berobat ke RS yang tidak manusiawi," katanya, Minggu (10/9).
Sementara itu, Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta, Veri Yonnevil mengatakan, telah meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta membentuk tim investigasi untuk mengusut kematian Debora. Bahkan mereka tidak segan mencabut izin operasi mereka.
"Dan dalam hal ini kami mendorong agar rumah sakit tersebut diberikan sanksi dengan dicabut izin operasionalnya di DKI Jakarta. Agar memberikan efek jera terhadap seluruh rumah sakit yang beroperasi di Jakarta," katanya kepada merdeka.com, Senin (11/9).
Politisi Hanura ini mengungkapkan, sanksi tersebut laik diberikan kepada RS Mitra Keluarga. Terlebih berdasarkan penyidikan Dinas Kesehatan DKI ditemukan adanya kelalaian yang dilakukan oleh pihak rumah sakit.
"Justru karena itu izin operasionalnya harus dicabut. Agar kasus yang sama tidak terulang kembali. Persoalan pengguna BPJS atau tidak itu bukan urusan pihak rumah sakit. Tanggung jawab rumah sakit adalah memberikan pertolongan kepada pasien, siapapun mereka," tegasnya.
Setelah mendapatkan desakan dari sejumlah pihak, Direktur RS Mitra Keluarga Kalideres, Fransisca telah membuat surat kepada Dinas Kesehatan DKI. Di mana isi surat tersebut pihak Mitra Keluarga berjanji dan bersedia memberikan pelayanan kesehatan yang aman, anti diskriminasi sesuai dengan standar rumah sakit.
"Bersedia lakukan fungsi sosial dengan lalukan UGD tanpa uang muka. Bersedia lakukan sistem rujukan sesuai UU yang berlaku. Apabila melanggar saya siap terima konsekuensi berupa pencabutan izin rumah sakit yang dipimpim. Rumah sakit harus segera perbaiki bagian informasi agar enggak terjadi lagi kesalahan," jelasnya.
Walaupun begitu, RS Mitra Keluarga tetap harus memberikan penjelasan kepada Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek. Namun, Nila menegaskan, rumah sakit tetap memiliki kewajiban menolong dan memberikan pengobatan kepada mereka yang membutuhkan.
"Rumah sakit sebenarnya sudah ada regulasinya, begini deh ya, saya minta tunggu hari ini kita tentu dari Dinkes DKI, Kemenkes akan pergi ke rumah sakit. Kita harus dengarkan dari dua pihak, jadi tidak hanya satu pihak," ujarnya.
Semestinya, pihak rumah sakit bisa menangani Debora meskipun saat itu orangtua dari Debora tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar uang muka sebesar Rp 19,8 juta untuk masuk ruang ICU. Saat itu pula, orangtua dari Deborah hanya memiliki uang Rp 5 juta. Apadaya, orangtua yang tak mampu membayar uang muka tersebut dan pada akhirnya Deborah telat mendapat perawatan sehingga meninggal dunia.
"Kedua, memang saya kira dalam keadaan gawat darurat, sudah ada UU, tidak bisa memperhitungkan dulu biaya atau anggaran. Tetapi kalau kita baca lagi, orangtua tersebut juga meminta, saya bisa mengerti kadang kita masuk kita harus tanya berapa biaya nanti. Nah ini nanti kita konfirmasi, mana yang benar mana yang tidak benar," ucapnya.
Jika dilihat dari pasal 32 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), berbunyi:
Pasal 32 ayat 1: Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan pencatatan terlebih dahulu.
Pasal 32 ayat 2: Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Selain itu, pasal 29 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) yang mengatur tentang Kewajiban Rumah Sakit, dengan tegas mengatur bahwa Rumah sakit wajib memberikan fasilitas pelayanan pasien gawat darurat tanpa uang muka.
Selengkapnya Pasal 29 ayat (1) huruf f: Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban: melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, jelas bahwa dalam keadaan darurat, rumah sakit seharusnya tidak boleh menolak pasien dan atau meminta uang muka. Sebab dalam keadaan darurat atau kritis yang menjadi tujuan utama adalah penyelamatan nyawa atau pencegahan pencatatan terlebih dahulu.
Apabila pihak rumah sakit menolak atau atau meminta uang muka kepada pasien padahal sedang dalam keadaan kritis atau darurat, maka pasien bisa melakukan langkah hukum.
Pasien bisa menuntut Rumah Sakit baik secara perdata maupun secara pidana. Dasar hukumnya, Pasal 32 huruf q Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), berbunyi: Setiap pasien mempunyai hak: menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.