Jejak kelam kisah tawuran SMA 70
Beredar informasi, siswa yang dianiaya itu adalah anak seorang pejabat dan membuat pihak sekolah diintervensi.
Orang tua dari 13 siswa yang dikeluarkan dari sekolah karena terlibat kasus penganiayaan adik kelas menggeruduk SMA 70, Jakarta Selatan. Orang tua murid itu menilai keputusan mengeluarkan anaknya dilakukan sepihak oleh SMA 70.
Para wali murid itu juga mengaku tak menerima surat peringatan sebelum keputusan tersebut diterbitkan. Beredar informasi, siswa yang dianiaya itu adalah anak seorang pejabat dan membuat pihak sekolah diintervensi.
"Tidak ada surat peringatan, asal main mengeluarkan saja. Kabarnya anak yang dianiaya itu emang anak pejabat," kata Muhammad Sofie, orangtua dari GM salah satu siswa yang dikeluarkan saat dihubungi wartawan di Jakarta, Rabu (17/9).
Diketahui, orang tua dari 13 siswa yang dikeluarkan dipanggil ke sekolah untuk menerima SK No. 21/2014 hasil rapat pleno dewan guru, Senin (15/9). Pasal kesalahan yang dikenakan kepada ke-13 siswa XII tersebut adalah menendang, memukul, menampar dan mengintimidasi baik individu maupun kelompok terhadap salah satu siswa kelas X.
Jika publik menilik kembali cerita tentang SMA 70, pastinya ingat jika sekolah ini punya kisah kelam pada 2012 silam. SMA 70 heboh di pemberitaan karena tawuran dengan SMA 6 sampai memakan satu korban jiwa.
Kekerasan di SMA 70 seakan tak ada habisnya. Lama tak terdengar lagi tawuran dengan sekolah lain, rupanya kekerasan juga masih mendarah daging di dalam lingkungan sekolah itu.
Berikut jejak kelam kisah tawuran SMA 70 seperti dirangkum merdeka.com, Kamis (18/9) pagi:
-
Bagaimana bullying tersebut terjadi? Dalam video tampak korban, AY (14), tak bisa berbuat apa-apa saat menjadi sasaran teman-teman sekelasnya. Dia dimaki dengan kata-kata kasar menggunakan bahasa setempat oleh para pelaku. Korban juga dipaksa sujud dan mencium kaki pelaku. Kepalanya didorong ke bawah oleh salah satu pelaku, sementara pelaku lain tertawa. Kemudian pelaku lain sengaja mendorong temannya dengan tujuan menimpa badan korban. Saat rambut korban berantakan, pelaku memaksanya berkaca ke layar ponsel.
-
Bagaimana cara mencegah bullying di sekolah? Perlu dipahami, mencegah bullying di sekolah memerlukan upaya bersama dari sekolah, orang tua, siswa, dan masyarakat. Cara Pencegahan Bullying di Sekolah Berikut beberapa cara yang dapat membantu mencegah bullying di sekolah: Pendidikan Anti-Bullying: Sekolah harus memberikan pelatihan dan pendidikan tentang bullying kepada siswa, guru, dan staf sekolah. Ini dapat mencakup pemahaman tentang apa itu bullying, dampaknya, dan cara melaporkannya.
-
Apa yang dimaksud dengan bullying? Bullying atau perundungan salah satu masalah sosial yang kerap terjadi di lingkungan sekolah, tempat kerja hingga dunia maya.
-
Apa saja dampak bullying di sekolah terhadap korban? Dampak bullying di sekolah dapat memiliki berbagai dampak negatif yang serius, baik bagi korban maupun pelaku. Berikut beberapa dampak umum dari bullying di sekolah: Dampak Psikologis pada Korban: Korban bullying sering merasakan stres dan kecemasan yang berkepanjangan karena ketakutan terus-menerus akan pelecehan atau ancaman. Bullying dapat menyebabkan depresi pada korban karena merasa terisolasi, tidak berharga, dan tidak dicintai. Korban bullying sering mengalami penurunan kepercayaan diri dan merasa tidak mampu untuk berinteraksi dengan teman sebaya atau lingkungannya.
-
Apa yang dilakukan Binus School Serpong kepada siswa yang terbukti melakukan bullying? Binus School Serpong mengaku telah mengeluarkan siswa yang terlibat kasus bullying terhadap pelajar lainnya. Selain itu, sejumlah murid yang tidak terlibat langsung tetapi menyaksikan dan tidak memberikan pertolongan juga disanksi disiplin tegas.
SMA 70 punya musuh bebuyutan, SMA 6
Entah sejak kapan SMA 70 dan SMA 6 sangat gemar melakukan tawuran. Namun cerita dari mulut ke mulut mengatakan jika kedua sekolah itu memang musuh bebuyutan sejak dulu.
Kedua sekolah ini memang berdekatan. Jika SMA 70 berada di daerah Bulungan, SMA 6 berada di sekitar daerah Mahakam. Keduanya masih sama-sama berada di lingkup area Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh juga pernah menyebut jika kedua sekolah itu memang musuh bebuyutan seperti Israel dan Palestina. Beberapa kali upaya damai yang sudah dilakukan selalu gagal.
"Kami bertekad kasus ini yang terakhir. Kita tidak ingin mendengar kisah SMA 6 dan 70 tawuran lagi seperti Israel dan Palestina," kata M Nuh di hadapan kedua kepala sekolah, Selasa 25 November 2012 silam.
Siswa SMA 6 tewas di tangan siswa SMA 70
Akhir September 2012 adalah benar-benar sejarah kelam untuk SMA 70. Para siswanya terlibat tawuran hebat dengan para siswa SMA 6 sampai memakan korban jiwa.
Kejadian itu terjadi pada 24 September 2012 siang. Beberapa siswa SMA 6 langsung diserang dengan membabi buta oleh puluhan siswa SMA 70 di Bundaran Bulungan. Padahal kala itu sekitar lima orang siswa SMA 6 sedang asyik makan gultik.
"Mereka habis pada ujian. Ada sekitar 20 siswa menyerang, ada yang bawa arit," kata Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan kala itu, Kombes Pol Hermawan, bercerita kepada wartawan.
Namun nahas bagi Alawy Yusianto Putra. Salah satu siswa SMA 6 yang pada saat itu ada di lokasi kejadian terjatuh dan tak bisa lari. Akibatnya dia menjadi bulan-bulanan siswa SMA 70 hingga meregang nyawanya karena luka bacok di dada yang sangat parah.
Pada saat itu, Alawy sempat dilarikan ke Rumah Sakit Muhammadiyah, namun nyawanya tak tertolong.? Sementara korban luka, satu luka di pelipis, satu lagi luka kecil di jari tangan.
Penyelidikan pun tak berlangsung lama. Polisi segera melacak dan menangkap pelaku pembunuh Alawy, yakni Fitra Rahmadani (FR) alias Doyok.
SMA 70 anggap tawuran dengan SMA 6 sebagai budaya
Usai tawuran memakan korban jiwa antara SMA 70 dan SMA 6, sebanyak 22 orang siswa dari SMA 6 dan SMA 70 langsung diperiksa sebagai saksi terkait tawuran pelajar di Bulungan, Jakarta Selatan. Dari pengakuan mereka kepada penyidik, tawuran memang jadi budaya di sekolah mereka.
"Dalam keterangan mereka, yang menjadi pemicu penyebab tawuran, adalah menganggap suatu budaya, tawuran merupakan kebudayaan mereka," kata Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan kala itu, AKBP Hermawan, di kantornya, Jakarta, Senin 1 Oktober 2012 silam.
Budaya itu kerap dilakukan untuk mempertahankan wilayah kekuasaan mereka agar tak kuasai sekolah lain. Jadi, jika ada siswa SMA 6 masuk ke area Jalan Bulungan berarti sebuah tanda penyerangan bagi SMA 70. Sebaliknya, jika anak SMA 70 memasuki Jalan Mahakam juga dianggap sebagai penyerangan.
"Selain budaya, mereka juga penguasaan wilayah, jelas hal itu salah," paparnya.
Terkait tes narkoba yang dilakukan pada para tersangka tawuran, untuk Fitra Rahmadani (FR) sendiri hasilnya dinyatakan negatif.
"Hasil pemeriksaan narkoba dari tersangka FR narkotikanya nihil, tidak terkait dengan narkoba," jelas Hermawan.
Polri sempat ingin satukan SMA 70 dengan SMA 6
Mabes Polri juga ikut bersuara seputar kasus tawuran yang terjadi antara SMA 70 dan SMA 6 Jakarta pada kala itu. Apalagi tawuran itu sudah memakan korban sia-sia.
Suhardi Alius yang pada saat itu masih menjabat menjadi Kepada Divisi Humas Mabes Polri sempat mengusulkan agar dua sekolah itu disatukan saja.
"Solusi terbaik dua sekolah ini disatukan saja. Tetapi untuk jangka pendeknya bobol tembok pembatas itu taruh pos polisi. Untuk jangka panjang sekolah disatukan," ujar Suhardi Alius, Rabu 3 Oktober 2012 silam.
Saran yang dilontarkan Suhardi bukan tanpa alasan. Dulu tempatnya bersekolah terkenal suka tawuran namun setelah disatukan insiden berdarah itu tak pernah terulang kembali.
"SMA 11 sama SMA 19 tempat saya sekolah disatuin sampai sekarang tidak tawuran itu bisa diterapin. Kalau merelokasi malah kasihan muridnya nanti ada yang kejauhan," tegas Suhardi.
Cara ini bisa terwujud jika satu instansi dengan instansi yang lain saling bersinergi. Mulai dari Kapolres hingga Kementerian Pendidikan.
"Kapolres minta persetujuan wali kota untuk bongkar tembok nanti untuk disatukan koordinasi dengan kementerian pendidikan," tutupnya.
SMA 70 dan SMA 6 akhirnya sepakat berdamai
Pada Kamis 11 Oktober 2012 silam, setelah melalui perjalanan panjangnya selama 227 hari keliling dunia, akhirnya KRI Dewaruci bersandar di Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Momen ini sekaligus dijadikan momentum untuk deklarasi damai dua SMA di Jakarta yang kerap terlibat tawuran yakni SMA 6 dan SMA 70 Jakarta Selatan.
Mereka berkumpul di atas kapal. Perwakilan SMA 6, Arofi Ardiansyah berharap konflik yang terjadi antar dua sekolah itu tidak terulang lagi.
"Saya berharap tawuran ini segera diakhiri, kami ingin hidup bersama lagi," katanya kepada wartawan, di Markas Komando Kolinlamil, Jakarta Utara.
Aria, perwakilan SMA 70, juga menyambut upaya perdamaian itu. Aria berharap proses hukum yang tengah dihadapi rekan-rekannya bisa segera selesai.
"Semuanya harus cepat selesai, jangan berlarut-larut, apalagi kami mau Ujian Nasional (UN). Kami ingin mereka segera lepas dan bisa bersama-sama main lagi," ujarnya saat itu.
Raut muka puluhan siswa dari kedua sekolah tampak sangat cair. Mereka tak segan saling bercengkrama dan bercanda di atas dek kapal legenda TNI itu.
Dalam deklarasi itu hadir aktivis perlindungan anak, Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto. Selain itu, turut hadir Untung Suropati yang dulu masih menjabat sebagai Kadispen Angkatan Laut Laksamana Pertama.
"Hal seperti ini yang perlu kita bina," ujar Untung Surapati di tempat yang sama.
Untung berharap, deklarasi damai ini semakin meningkatnya pembinaan dan perhatian semua pihak khususnya kedua sekolah itu agar tidak lagi menganut rivalitas.
"Mereka itu bisa diandalkan asal kita bina dengan baik. Tapi semuanya harus turun tangan dan memberikan perhatian," tambahnya.
Kak Seto yang diplot mendamaikan kedua sekolah ini juga memuji komitmen para siswa. Menurutnya, tawuran pelajar sudah saatnya diakhiri dan memulai hidup baru yang lebih baik.
"Jadikan kapal ini sebagai kapal perdamaian bagi semuanya," tandasnya.