Kisah Ibu Yuni, Hidupi Keluarga dan Besarkan Anak di Tengah Keterbatasan
Keterbatasan fisik tak menghalangi Ibu Yuni untuk menjalani hidup seperti orang-orang lainnya. Termasuk menjadi seorang ibu yang bisa membesarkan anak-anaknya hingga dewasa. Kini kedua anaknya bisa hidup mandiri dan turut membantu perekonomian keluarga.
Pagi itu, Ibu Sri Wahyuni (52) baru saja sampai rumah setelah berkeliling kampung jualan jamu. Bak berisi botol jamu kemasan plastik yang ia taruh di belakang jok motornya itu tak lagi terisi penuh.
“Biasanya ada Aqua, ada minuman kemasan lain, ada roti, ada juga kacang dan camilan-camilan lain. Tapi karena pandemi saya nggak bisa jualan banyak lagi,” tutur perempuan yang akrab disapa Ibu Yuni itu.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Ibu Yuni adalah seorang disabilitas tuna daksa. Untuk berdagang sehari-hari, ibu dua anak itu harus memodifikasi motornya senyaman mungkin agar sesuai dengan kondisinya.
Sehari-hari Ibu Yuni berjualan jamu keliling untuk memenuhi kebutuhan hidup
©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Sejak lahir, Ibu Yuni sudah tidak bisa berjalan dengan sempurna. Untuk berjalan saja, ia harus merangkak bahkan terkadang sampai harus digendong oleh ayahnya.
Namun pada saat ia berusia 8 tahun, Ibu Yuni mulai berjalan menggunakan sebilah tongkat bambu setinggi 1,5 meter. Tongkat itu ia peroleh dari sebuah pohon bambu di semak-semak yang tak jauh dari rumahnya.
“Maghrib-maghrib aku keluar rumah karena jengkel sama bapak mamakku yang nggak bolehin aku sekolah. Waktu itu aku disembunyikan sama yang nggak ketok, jadi bapak mamakku nggak bisa nyari aku walau aku bisa lihat mereka. Terus ada suara simbah-simbah menyuruh aku potong pohon bambu itu buat dipakai jalan,” terang Ibu Yuni.
Tongkat itulah yang bertahun-tahun menemani hidupnya mulai dari masa sekolah, bekerja, hingga menjalani kehidupan rumah tangga.
Berbagai produk jamu yang diolah sendiri oleh Ibu Yuni
©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Kondisi Ibu Yuni yang mengalami keterbatasan fisik itu sempat membuatnya ragu untuk berkeluarga seperti orang-orang normal lainnya. Namun ayahnya selalu meyakinkannya kalau dia bisa berkeluarga.
Hingga pada akhirnya saat berusia 24 tahun, Ibu Yuni menikah dengan seorang pria yang pertama kali ia temui saat menjalani pendidikan di Pusat Rehabilitasi YAKKUM (Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum).
Pada awalnya, niat Ibu Yuni menikah tak mendapat restu dari orang tua calon suami. Waktu itu, calon suaminya tidak diperbolehkan menikah karena dia juga seorang disabilitas. Namun pernikahan Ibu Yuni dan suaminya tetap berjalan walau tak mendapat restu dari pihak ibu mertua.
“Suamiku itu juga disabilitas. Tulang kakinya remuk. Juga nggak bisa jalan normal. Makanya ibu mertuaku nggak setuju kami menikah. Jadi waktu hari pernikahan, ibu mertuaku nggak datang. Hanya saudara-saudara suami saya yang datang karena mereka setuju,” ungkap Ibu Yuni.
Setelah sekian lama berumah tangga, akhirnya Ibu Yuni dikaruniai seorang anak perempuan. Bayi itu ia beri nama Dini Kasari. Ibu Yuni bahagia karena anaknya bisa lahir dengan selamat.
“Alhamdulillah anakku lahir cantik dan sehat. Ibuku bilang ini dibesarkan dulu saja. Nggak usah buru-buru punya anak lagi,” ujar Ibu Yuni mengungkapkan rasa bahagianya.
Bantu Suami Nafkahi Keluarga
Ibu Yuni memberhentikan motor di depan rumahnya
©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Ibu Yuni juga turut bekerja membantu suami mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Segala bentuk pekerjaan pernah ia jalani, mulai dari ikut bibinya berjualan jamur, mengais botol bekas, hingga membuka warung angkringan. Saat dia berangkat kerja, anaknya ditinggal di rumah dan diasuh oleh ibunya.
Namun saat Dini beranjak besar, ia harus menyekolahkan anak pertamanya itu. Waktu pertama kali mendaftarkan Dini ke TK, guru di TK itu sempat menolaknya karena takut anaknya disabilitas juga sama sepertinya. Kebetulan waktu itu Ibu Yuni tidak mengajak Dini karena dia sedang berada di rumah neneknya.
“Gurunya nggak percaya kalau aku punya anak normal. Akhirnya keesokan harinya aku bawa anakku ke sekolah. Nangis ibu gurunya lihat anakku ternyata normal,” ujar Ibu Yuni.
Dengan bertumpu pada sebilah tongkat bambu yang telah ia gunakan sejak kecil, hampir tiap hari Ibu Yuni mengantar Dini sekolah. Waktu awal-awal masuk TK, Dini tak mau lepas dari genggaman ibunya. Bahkan saat itu, Ibu Yuni harus ikut mendampingi Dini ikut belajar di kelas.
“Sampai enam bulan aku nungguin di kelas sekalian ikut sekolah. Kalau dia belajar melukis ya aku ikutan melukis. Sampai pertengahan semester itu baru tak tinggal. Waktu itu aku agak jauh sembunyi, ternyata dia sudah nggak nyari,” ungkapnya.
Saat menginjak usia SD, Dini tak perlu lagi diantar orang tuanya untuk pergi ke sekolah. Hal ini membuat Ibu Yuni bisa lebih fokus bekerja. Hingga akhirnya sembilan tahun setelah kelahiran anak pertamanya, Ibu Yuni kembali dikaruniai seorang anak perempuan yang ia beri nama Nadia Damara.
Ibu Yuni berjalan dengan "tongkat ajaib" nya
©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Sembari membesarkan kedua putrinya, Ibu Yuni dan suaminya menafkahi hidup dengan membuka usaha angkringan. Walau masih bersekolah, Dini juga ikut membantu usaha kedua orang tuanya.
Pagi hari sebelum berangkat sekolah, ia terlebih dulu pergi ke pasar untuk belanja kebutuhan angkringan. Sepulang sekolah, giliran dia yang menjaga angkringan untuk menggantikan ayah ibunya yang istirahat.
Dari hasil jerih payah usaha angkringan, keluarga kecil itu mampu membeli sebuah sepeda motor seharga Rp3 juta pada tahun 2017. Namun waktu itu, suaminya tidak bersedia naik motor dan meminta Ibu Yuni yang belajar motor.
“Yang naik motor kamu aja. Kan kamu kendel. Kalau aku nggak wani,” ujar suaminya waktu itu.
“Lah ngapa nggak wani? Wong lanang kok gak bisa naik motor?” balas Ibu Yuni.
Ibu Yuni pada akhirnya harus mengiyakan keputusan suaminya. Setiap hari Sabtu dan Minggu, ia belajar naik motor sambil ditemani Nadia. Pernah suatu hari saat latihan karena saking paniknya, Ibu Yuni menarik gas motornya terlalu kencang hingga menabrak kandang sapi.
“Itu kan slebor depan motorku sudah pecah. Bekas kecelakaan waktu itu. Untungnya aku nggak apa-apa,” ujarnya.
Tapi latihan yang penuh risiko itu akhirnya membuahkan hasil saat ia sanggup mengendarai motor dengan lancar. Mengetahui ia sudah bisa naik motor, Ibu Yuni bahagia bukan main.
“Waktu itu bapakku sudah meninggal. Aku langsung lewat depan kuburan bapakku. Di depan kuburan itu aku teriak-teriak, ’Pak, aku iso numpak motor pak!’ Jadi sambil nangis. Sampai ditanyain tetanggaku. Saudaraku aja sampai nangis lihat aku naik motor,” ujar Ibu Yuni bangga.
Namun kebahagiaan Ibu Yuni harus berubah duka saat sang suami meninggal dunia karena penyakit gula darah. Seketika hatinya hancur. Kepergian suaminya membuat Ibu Yuni mengurung diri di rumah selama tiga bulan. Ia pun terpaksa menutup usaha angkringan yang selama ini telah ia jalankan bersama suami.
“Ya pinginnya ikut mati. Hati sendiri tak gelar, tak gulung, tak gelar. Makan malas, apa-apa wegah,” kata Ibu Yuni mengungkapkan perasaannya yang campur aduk saat ditinggal suaminya.
Di saat duka itu, ibunya memberi nasihat kalau ia tak boleh sedih berlarut-larut. Ibunya juga bilang kalau yang harus ia pikirkan adalah Nadia. Waktu itu Nadia masih duduk di bangku SMP. Dia masih butuh dibiayai untuk hidup sehari-hari maupun untuk biaya sekolah. Beda dengan Dini yang waktu itu telah menikah.
“Jadi aku semangat terus ke anak. Aku naik motor itu untuk cari duit. Buat anakku, nyari duit, buat anakku, gitu terus mikirnya,” ujarnya.
Ibu Yuni didampingi anak dan adiknya berbelanja kebutuhan sehari-hari
©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Dua tahun berselang, Ibu Yuni menikah lagi dengan seorang pria tuna netra. Bagi Ibu Yuni, walaupun suaminya tuna netra, dia pintar cari uang dan sanggup untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya dan juga menyekolahkan Nadia hingga lulus SMA.
Setelah lulus SMA, Nadia diterima bekerja di sebuah perusahaan kuliner. Ia menyusul kakaknya yang telah lebih dulu hidup mandiri. Hal itulah yang membuat Ibu Yuni merasa bahagia.
“Walaupun saya disabilitas, tapi dari dulu saya ingin bisa membesarkan anak sama seperti ibu-ibu lainnya. Saya senang karena saya ternyata bisa mewujudkan semuanya. Saya berterima kasih sama Tuhan karena Tuhan telah menjawab permintaan saya. Anak saya sudah lulus semua, sudah kerja, sudah bisa cari uang sendiri,” ungkap Ibu Yuni.
Sosok Ibu Yuni di Mata Anak-Anak
Ibu Yuni dan kedua putrinya
©2021 Merdeka.com/Nurul Diva Kautsar
Bagi Dini (27), Ibu Yuni adalah seorang ibu yang tegas dalam mendidik anak. Sering kali ibunya itu memarahinya, terutama kalau ia malas belajar atau terlambat pulang dari sekolah. Tak jarang pula ia menangis manakala ibunya memarahinya. Namun Dini mengakui, tanpa didikan yang keras dari sang ibu, ia tidak bisa menjadi pribadi yang seperti sekarang ini.
Selain sudah hidup mandiri, kini Dini sudah berkeluarga dan sudah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia 3 tahun. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, ia bekerja sebagai kasir di salah satu toko kosmetik terbesar di Kota Yogyakarta.
Walaupun terlahir dari rahim seorang difabel, namun Dini tak punya rasa malu sedikitpun atas kondisi ibunya. Justru, ia akan membela ibunya kalau mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain.
Pernah suatu ketika Dini hendak belanja di toko baju. Ibunya ingin ikut dia belanja. Waktu itu Dini tak ingin ibunya ikut karena takut dilihat orang banyak. Tapi Bu Yuni tetap memaksa ikut.
“Emang benar banyak orang yang lihatin. Ah, malah kayak apa sih! Aku bilang sudah pulang saja. Aku juga nggak tahan kalau ibu dilihatin sampai kayak gitu,” ujar Dini.
Sama seperti kakaknya, Nadia (18) juga tidak senang kalau ibunya menerima perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain.
“Ya tak tapok, mas. Paling cuma pernah dilihat. Ya, tak lihatin ganti,” ujar Nadia.
Sebagai seorang anak, baik Dini dan Nadia punya rasa khawatir terhadap ibunya. Pernah suatu hari Dini memergoki ibunya mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Belum lagi pernah suatu hari ban motornya bocor di jalan. Ibu Yuni langsung menelepon Dini untuk meminta pertolongan.
“Padahal waktu itu saya posisinya lagi kerja. Kan saya bingung mau jemput ibu waktu jam kerja. Bolos juga nggak bisa to? Padahal ibu kasihan sendirian di jalan. Akhirnya saya minta ibu telepon Nadia,” ungkap Dini dengan perasaan sedih.
Atas hal tersebut, mereka berdua berpesan pada ibunya agar jangan pergi jauh-jauh, apalagi kalau sudah pergi dengan motor khusus difabelnya.
“Jaga kesehatan, jangan capek-capek, terus kalau pergi jangan jauh-jauh,” ujar Nadia.
“Masak Mbok-nya disuruh di rumah terus? Kan kepingin refreshing,” protes Ibu Yuni.
“Tapi kalau naik motor yo jangan ngebut-ngebut. Sudah ketahuan naik motornya. Parah,” timpal Dini.
Tulisan ini dibuat khusus dalam rangka memperingati Hari Ibu Sedunia 2021
Teks oleh: Shani Rasyid
Foto oleh: Nurul Diva Kautsar