13 Desember: Penandatanganan Deklarasi Djuanda, Cikal Bakal UU Perairan Indonesia
Deklarasi Djuanda dicetuskan pada 13 Desember 1957 oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia yang menjabat kala itu. Hari ini, bertepatan dengan 64 tahun berlalunya sejak deklarasi tersebut ditandatangani, kami ingin mengajak Anda untuk memahami kembali isinya.
Deklarasi Djuanda dicetuskan pada 13 Desember 1957 oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia yang menjabat kala itu. Hari ini, bertepatan dengan 64 tahun berlalunya sejak deklarasi tersebut ditandatangani, kami ingin mengajak Anda untuk memahami kembali isinya.
Deklarasi Djuanda secara umum menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.
-
Kapan Djohan Sjahroezah ditangkap dan dipenjara karena tulisannya? Kemudian ia juga pernah menulis sebuah artikel berisi kecaman keras terkait kerja sama dengan pihak Kolonial Belanda. Alhasil, ia ditangkap lalu dipenjara selama 1,5 tahun di Bandung.
-
Siapa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo? Kartosoewirjo merupakan tokoh populer di balik pemberontakan DI/TII pada tahun 1948.
-
Dimana Djohan Sjahroezah lahir? Djohan Sjahroezah lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan pada 26 November 1912.
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Siapa yang diduga berselingkuh dalam berita tersebut? Tersandung Dugaan Selingkuh, Ini Potret Gunawan Dwi Cahyo Suami Okie Agustina Gunawan Dwi Cahyo suami Okie Agustina kini sedang menjadi sorotan usai foto diduga dirinya menyebar di sosial media.
Sebelum adanya Deklarasi Djuanda, batas-batas wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Namun ketentuan hukum ini sangat rawan konflik yang mengancam keamanan dan keutuhan negara Republik Indonesia. Untuk itu, Deklarasi Djuanda dicetuskan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kritis ini.
Berikut ulasan selengkapnya mengenai Deklarasi Djuanda yang menarik untuk dipelajari.
Asal Usul Deklarasi Djuanda
Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut. Pulau-pulau di Indonesia terbentang dari ujung timur ke barat sejauh 6.400 km. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81.000 kilometer.
Luasnya wilayah Indonesia ini didominasi oleh laut, yang mengambil tempat hingga 80% dari keseluruhan wilayah. Dengan bentang geografis itu, luas wilayah Indonesia adalah 1,937 juta kilometer persegi daratan, dan 3,1 juta kilometer teritorial laut, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta kilometer persegi.
Dahulu, wilayah Indonesia ang baru merdeka sangatlah berbeda dengan kondisi saat ini. Wilayah laut Indonesia sebagai warisan Belanda hanya merupakan jalur laut selebar 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tersurut yang melingkari setiap pulau. Jika ditotal, maka luas keseluruhan wilayah laut Indonesia saat itu tidak sampai satu juta km persegi.
Di luar dari wilayah itu, statusnya merupakan perairan internasional atau laut bebas. Jadi secara hukum, pada saat itu laut hanyalah bertindak sebagai pemisah antar pulau-pulau yang ada di Nusantara. Jika menilik sejarah, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada zaman itu jalur laut selebar 3 mil dari bibir pantai tersebut didasarkan pada jarak tembak meriam yang tidak sampai 3 mil.
Dari segi hukum, ketentuan tentang lebar laut teritorial yang sangat sempit itu didasarkan pada Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, 1939), produk hukum zaman Hindia Belanda yang kemudian diteruskan dan diadopsi oleh Indonesia ketika baru saja merdeka, mengutip oseanografi.lipi.go.id.
Dalam perjalanan sejarah awal Indonesia merdeka, dirasakan bahwa ketentuan hukum laut tersebut (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939) ternyata sangat rawan terhadap keamanan dan keutuhan negara Republik Indonesia. Wilayah laut teritorial Indonesia tidak merupakan wilayah yang utuh, tetapi terpisah-pisah oleh perairan internasioal atau perairan bebas.
Wilayah perairan internasional yang berada di antara pulau-pulau Nusantara menjadi bebas dilayari atau dimasuki oleh kapal-kapal asing yang bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat merugikan atau mengancam keamanan dan kedaulatan negara.
Terjadinya pemberontakan di sejumlah daerah di Indonesia dan konflik politik dengan Belanda mengenai Irian Barat (Papua) yang belum terselesaikan saat itu menyebabkan masalah kewilayahan laut ini menjadi sangat genting, karena kapal-kapal perang asing bebas berkeliaran di antara pulau, sementara Indonesia tidak bisa mencegahnya lantaran kendala hukum dan sarana-prasarana.
Untuk menanggapi situasi kritis ini maka pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri RI yang ketika itu dijabat oleh Ir. Juanda Kartawijaya mendeklarasikan “Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia” yang nantinya dikenal sebagai “Deklarasi Juanda”.
Substansi Deklarasi Djuanda
Diumumkannya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 itu adalah upaya untuk memperkuat posisi dan kendali Indonesia atas wilayah perairannya. Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State), sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas.
Kemunculan deklarasi mengalami pertentangan internasional dari banyak negara yang sebelumnya bebas keluar masuk ke dalam wilayah Indonesia karena berbagai kepentingan. Namun jika ditelaah kembali, keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau Nusantara tentu merupakan sebuah hal yang amat janggal.
Hal tersebut karena penduduk antar pulau itu jelas-jelas masih berasal dari satu bangsa yang sama, sehingga adalah hal yang aneh jika sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, muncullah gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia melalui Deklarasi Djuanda.
Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada waktu itu, pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia, mengutip publikasi dari kemenparekraf.go.id.
Desakan itu juga didukung oleh departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Pertanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya, pada 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956.
Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi. Sebelum RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan oleh Kabinet Djuanda. Sejalan dengan ketegangan yang terus terjadi antara Belanda dan RI, pemerintahan Djuanda lebih banyak mencurahkan perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda.
Sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI. Akhirnya, ia memberikan gambaran ’asas archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional 3 pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya. Sebagai alternatif terhadap RUU itu, disusun konsep ’asas negara kepulauan’
Dalam sidang 13 Desember 1957, Dewan Menteri memutuskan penggunaan ’Archipelagic State Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’.
Dalam peraturan, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda, disebutkan juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
Dengan dikeluarkannya deklarasi tersebut berarti Ordonansi tahun 1939 yang merupakan warisan kolonial tidak berlaku lagi. Deklarasi Juanda lantas disahkan melalui UU No. 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dengan menggunakan ’asas archipelago’ sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’archipelagic state’ yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia.