10 Bulan tidak nyaman buat SBY
SBY semakin kehilangan fokus memimpin, dibayangi belitan masalah pasca-Pemilu 2014.
Selamat tinggal 2013. Mulai besok, kita memasuki 2014, tahun pemilu. Para elit politik menyebut tahun politik. Karena pemilu adalah arena pertarungan resmi mereka untuk berebut jabatan politik: DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden.
Bagi Presiden SBY, 2014 sebetulnya merupakan masa persiapan pensiun. Untuk masa jabatan kedua, SBY dilantik pada 20 Oktober 2009, sehingga kini dia memiliki waktu kurang dari 10 bulan memasuki masa pensiun. Konstitusi membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali. Jadi, mau tidak mau SBY harus berhenti.
Lazimnya pejabat memasuki masa pensiun, waktunya mesti banyak digunakan untuk mempersiapkan mental agar ketika benar-benar tidak punya jabatan, tidak syok, atau mengalami post power syndrome berlebihan.
Namun jika kita ikuti perkembangan ekonomi dan politik setahun belakangan ini, rupanya masa 10 bulan ke depan, justru akan membuat SBY tidak tenteram. Inilah masa persiapan pensiun yang penuh gejolak dan tetap dituntut kerja keras.
Pertama, situasi ekonomi semakin sulit. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang selama ini jadi dalih keberhasilan pemerintah, justru turun dalam dua tahun terakhir. Target-target kebijakan ekonomi tidak tercapai. Harga-harga kebutuhan pokok semakin mahal, meskipun Menteri BUMN Dahlan Iskan bangga diri: tahun depan tidak ada impor beras.
Kebijakan ekonomi macam apa yang bisa diharapkan datang dalam 10 bulan mendatang, sehingga saat turun jabatan SBY masih bisa percaya diri (seperti Dahlan Iskan) mengatakan: rakyat semakin makmur. SBY butuh keajaiban ekonomi, tetapi siapa percaya keajaiban itu akan datang tiba-tiba?
Kedua, konflik sosial belum mereda. Menkopolhukam boleh saja bilang, konflik horisontal turun sepanjang 2013. Tetapi itu tidak menjamin rusuh tidak meledak sewaktu-waktu. Lihatlah Sampang belum menemukan jalan keluarnya, amarah rakyat Papua belum ada solusi, bahkan kisruh Gereja Yasmin di Bogor saja tak bisa diselesaikan.
Bayangkan selama 10 tahun berkuasa, SBY gagal meredam amarah rakyat Papua, karena pemerintah lebih senang menggunakan pendekatan bersenjata daripada mencari solusi damai. Setelah berhasil menyelesaikan Aceh, kelihaian Jusuf Kalla diharapkan bisa mendamaikan Papua. Tetapi SBY lebih memilih Boediono yang tak banyak tingkah.
Ketiga, keputusan yang kian membingungkan. Dua bulan lalu SBY membuat keputusan untuk memfasilitasi pejabat tinggi berobat ke luar negeri. Ini keputusan paling muskil di tengah seruan agar rakyat berhemat. Toh fasilitas dan layanan rumah sakit di sini tak kalah bagus. Kalau saja SBY tidak mencabut keputusan itu, pasti dia akan jadi sasaran kritik pada saat banyak orang mulai mengetahui isinya.
Keputusan muskil lainnya adalah pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Putusan hakim PTUN Jakarta yang membatalkan keputusan presiden itu, mestinya menjadi jalan mulus menyelesaikan masalah. Namun, rupanya SBY lebih memilih bertahan dengan keputusan yang dipertanyakan banyak orang tersebut. SBY pun akan tertekan menghadapi kritik keras dari banyak kalangan.
Keempat, belitan Partai Demokrat. Mungkin karena merasa membesarkan Demokrat, SBY tidak mau lepas tangan ketika pimpinan partai ini dibelit masalah korupsi. Dia turun tangan menyelamatkan partai, namun usahanya sulit berhasil. Demokrat terus dihujat, reputasinya jatuh, ikut menimpanya.
Banyak orang heran, mengapa SBY mau capek-capek mengurusi Demokrat menjelang pensiun. Mungkin ini bukan sekadar soal menyelamatkan partai. Lebih dari itu, juga soal masa depan keselamatan dan kejayaan keluarga. Selain dirinya sendiri, ada istri, anak, dan sanak suadara lain yang bergantung pada masa depan Demokrat.
Penunjukan pengacara keluarga, semakin meyakinkan banyak orang, bahwa SBY dan keluarganya memang sedang menghadapi masalah besar. Benarkan semua ini ada kaitannya dengan skandal Bank Century dan Hambalang?
Benar atau tidak, publik semakin jelas melihat, SBY memang sedang ancang-ancang, bersiap diri menghadapi berbagai kemungkinan buruk pasca-Pemilu 2014 nanti. Inilah yang membuat dia sibuk mengurus Demokrat, sehingga mengurangi waktunya untuk mengurus negara.
Jika Demokrat bisa mempertahankan separuh kursinya saja, sudah bisa jadi sandaran pengamanan politik masa depan. Jika, rakyat tak sudi lagi dengan partai itu, maka SBY benar-benar tidak nyaman dalam masa pensiunnya nanti.