Aparat bertekuk lutut
"Bukti nyata keadilan itu susah di Indonesia. Orang punya duit aja susah, apalagi orang nggak punya duit."
Sehari setelah kedatangan Jongki Asadoma dan rekan-rekannya, pihak Hotel LV8 meminta bantuan polisi. Kepala keamanan hotel I Gede Ketut Yoga Semadi mengajukan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Kuta Utara Ajun Komisaris Reinhard H. Nainggolan.
Dalam surat bertanggal 14 Desember 2013 itu, Yoga Semadi menceritakan kronologi kegaduhan dilakukan kelompok Jongki Asadoma itu. Namun menurut Humphrey Djemat, kuasa hukum PT Bali Unicorn sebagai pemilik Hotel LV8, polisi tidak menanggapi.
Bahkan ketika dia mengirim dua pengacara untuk melapor ke Polsek Kuta Utara pada 14 Desember 2013 tidak diterima. "Pihak Polsek bilang ini sih nggak ada pidananya. Nggak bisa dengan alasan masih perdata. Laporan aja nggak diterima," kata Humphrey Djemat saat ditemui merdeka.com di kantornya di Jakarta Kamis pekan lalu.
Besoknya, kuasa hukum mendatangi Markas Kepolisian Daerah (Polda) Bali. Unit Sentra Pelayanan Kepolisian memberi alasan tidak terjadi tindak pidana. Mereka lantas melapor ke bagian Sabhara. Mulanya beberapa anggota Sabhara bilang bisa membantu untuk berkoordinasi dengan kelompok Jongki Asadoma. Namun setelah berkoordinasi dengan atasan, mereka memberi alasan serupa. "Di situ saya merasa ini sudah disiapkan semuanya," ujar Humphrey.
Humphrey lantas membuat surat permohonan kepada dan bertemu langsung dengan Inspektur Pengawasan Umum Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Anton Bachrul Alam pada 17 Desember 2013. Setelah mendengar penjelasan Humphrey mengenai kasus Hotel LV8 itu, Anton langsung berujar, "Oh biasa orang ini dari dulu modusnya begitu. Teken, peres, akhirnya ambil aset orang."
Anton marah besar mengetahui anak buahnya tidak mau menerima laporan dari kuasa hukum PT Bali Unicorn. "Nggak boleh polisi nggak mau terima laporan, salah besar. Ini kan pelayanan kepada masyarakat," ujar Humphrey mengutip pernyataan Anton.
Tiga hari menjelang Natal 2013, Humphrey berupaya menemui Kepala Polda Bali Inspektur Jenderal A.J. Benny Mokalu di kantornya. Namun dia tidak bisa ditemui. Stafnya bilang dia sedang berkeliling. Besok paginya, sekitar jam enam, Humphrey ke rumah Benny Mokalu. Meski sudah mendesak berkali-kali, tuan rumah menolak bertemu muka dengan Humphrey.
Humphrey pulang ke Jakarta dengan kesal. Dia mengadu lagi kepada Anton Bachrul Alam. Dia lantas menelepon Benny dan menegur dia karena tindakan anak buahnya.
Hingga artikel ini dilansir, Benny Mokalu tidak bisa dihubungi. Permohonan konfirmasi lewat pesan pendek juga tidak dijawab. Nomor telepon seluler Anton Bahcrul Alam juga tidak aktif.
Humphrey benar-benar kecewa sekaligus sedih melihat buruknya kinerja polisi. "Ini bukti nyata negara kita ini masih berlaku premanisme. Bukti nyata keadilan itu susah di Indonesia. Orang punya duit aja susah, apalagi orang nggak punya duit," katanya dengan nada emosional.
Saking kecewanya dengan tanggapan polisi, kuasa hukum PT Bali Unicorn, Humphrey R. Djemat dan David Widiantoro, membuat iklan pengumuman di surat kabar Bali Post edisi 26 Februari 2014. Mereka menyiarkan kepada masyarakat telah terjadi upaya penguasaan paksa terhadap Hotel LV8 milik kklien mereka oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.
Mereka menyatakan polisi cenderung membiarkan hal itu terjadi. Mereka juga mengimbau masyarakat berhati-hati dan tidak berhubungan dengan LV8 sementara dalam penguasaan kelompok preman. "Pengumuman itu bikin heboh masyarakat Bali dan polisi," tutur Humphrey.
Dua hari kemudian Humphrey menyurati Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman. Intinya memohon perlindungan hukum dan bantuan untuk mengeluarkan preman-preman menduduki Hotel LV8 secara tidak sah. Dia juga sudah melaporkan kasus ini kepada menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Semua usaha itu nihil. "Kalau memang keadilan itu mahal dan tidak bisa dibeli oleh rakyat kecil, benar. Kalau dibilang aparat kita dikuasai oleh preman, benar," tuturnya.
Jongki Fridrik Asodama membantah telah melakukan kejahatan dengan merampas Hotel LV8. "Kalau saya melanggar hukum, saya harusnya sudah dipenjara," katanya saat dihubungi merdeka.com semalam. ""Kami datang atas perintah pemilik. Kami datang untuk meminta pertanggungjawaban Ibu Lena yang diberi kewenangan mengelola."
Hingga akhirnya Humphrey meminta bantuan kepala desa setempat I Made Kamajaya dan masyarakat. Selasa pekan lalu, mereka mendatangi Hotel LV8. Puluhan polisi ternyata sudah berjaga di sana. Situasi tegang. Namun perundingan sampai pukul empat sore menemui jalan buntu.
Kelompok Jongki Asadoma menolak meninggalkan hotel. Akhirnya Humphrey menyisakan sepuluh anggota Baladika bertahan di sana. "Sebagai tanda hotel ini milik orang lain dan ada orang mau menjaga. Akhirnya komprominya begitu. Sampai sekarang orang Baladika saya masih ada," kata Humphrey.
-
Siapa yang menginjak-injak lencana merah putih di hotel di Jalan Bali? Konflik bermula ketika seorang penghuni hotel merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai oleh pemuda Indonesia.
-
Siapa yang merancang Hotel Indonesia? Bangunan Hotel Indonesia dirancang oleh arsitek Abel Sorensen, dan istrinya Wendy asal Amerika Serikat.
-
Siapa pemilik dari hotel yang terbengkalai di Bali? Hotel yang memiliki luas wilayah yang sangat besar ini disebut-sebut sebagai kepunyaan Hutomo Mandala Putra yang juga dikenal sebagai Tommy Soeharto.
-
Apa yang dilakukan Kiky Saputri dan keluarganya saat berlibur di Bali? Nikmati momen bahagia Kiky Saputri bersama suami dan anaknya saat mereka berlibur di Bali. Meskipun terikat dengan pekerjaan, mereka tetap mengalokasikan waktu untuk menikmati liburan bersama sang buah hati.
-
Di mana letak vila 'Kayumanis Sanur Private Villa & Spa'? Penginapan ini berlokasi di Jalan Tirta Akasa No 28 Sanur, Sanur, Bali, Indonesia, 80227.
-
Bagaimana Asmirandah menikmati liburan di Bali? Terlihat Chloe begitu menikmati liburannya.
Baca juga:
Siasat jahat sahabat
Preman 408 di nirwana Canggu