Belum move on, DPR makan gabut
Anggota DPR makan gabut, gaji buta. Sibuk rebutan kursi, mereka bisa kecele nanti.
Meski banyak pihak meragukan kemampuan Kabinet Kinerja, namun sepekan setelah dilantik, terlihat para menteri bergerak cepat dan konkret. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membuka data izin kapal di atas 30 ton sekaligus moratorium izin kapal baru, Menteri Perhubungan Ignsius Jonan memastikan mulai Desember tarif jasa penumpang pesawat udara disatukan, dan masih banyak lagi aksi menteri.
Yang agak mengagetkan adalah keluarnya Katu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), yang hanya berselang dua pekan, setelah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kala dilantik, atau sepekan setelah Kabinet Kerja dibentuk. Memang di sana sini masih ada kebingungan, tetapi hal itu akan segera diatasi. Yang pasti rakyat merasa terbantu dengan kartu-kartu ini.
Keluarnya KIS, KIP, dan KKS dalam waktu cepat, menunjukkan tekad Jokowi-JK untuk segera menghapus subsidi BBM. Sebab kartu-kartu tersebut menjadi jaring pengaman ekonomi rakyat miskin yang akan terdampak kenaikan harga. Meski kritik mulai muncul, tidak ada keraguan dari Jokowi-JK untuk mencabut subsidi BBM yang memang tidak produktif. Ini menunjukkan Jokowi-JK bukan tipe pemimpin yang mabuk popularitas.
Sementara itu di seberang sana, di Senayan, DPR masih berkutat dengan urusan internal. Sejak dilantik pada 1 Oktober 2014, yang berarti sudah sebulan lebih menjabat, mereka belum berbuat apa-apa. Beberapa anggota DPR merasa sedih dan malu, karena sudah makan gabut, gaji buta. Sudah begitu, masih saja sibuk berantem sendiri, tanpa tahu kapan mereka akan mengakhiri rebutan jabatan.
Partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang dulu mendukung pencalonan Prabowo-Hatta, tetap ngotot mempertahankan kursi pimpinan dewan dan pimpinan komisi yang telah direngkuhnya; sementara partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mogok rapat, jika kursi pimpinan komisi tidak dibagi. Untuk menekan KMP, mereka menggelar rapat paripurna sendiri, dan membentuk pimpinan dewan tandingan. Menggelikan sekaligus memalukan!
Tadinya saya percaya dengan ucapan tokoh-tokoh KIH, bahwa upaya mereka untuk mendapatkan kursi pimpinan dewan dan pimpinan komisi, tiada lain untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK di DPR. Argumentasi logis, banyak kebijakan strategis harus mendapat persetujuan DPR. Oleh karena itu, Jokowi-JK akan sulit merealisasikan program-programnya jika tidak mendapat back up DPR.
Tetapi lama-lama saya melihat motif lain di balik kengototan KIH. Pertama, Jokowi-JK tidak merasa minder jika seluruh kursi pimpinan dewan dan pimpinan komisi dikuasai KMP. Mereka yakin, dengan pendekatan tertentu, pemerintah bisa menjalin komunikasi dan kerjasama dengan DPR yang mayoritas dikuasai KMP. Apalagi di hadapan Jokowi-JK para pentolan KMP, seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, dan Amien Rais, sudah menunjukkan komitmennya untuk mendukung pemerintah jika benar-benar melaksanakan program kesejahteraan rakyat.
Kedua, seperti dikemukakan banyak kalangan, selama pemerintahan Jokowi-JK, khususnya para menteri, mampu menjaga integritas, bersih dari korupsi, tidak silau oleh jabatan dan kemewahan, dan kompeten menjalankan program kesejahteraan, maka selama itu juga rakyat akan memberikan dukungan. Dalam kondisi demikian, maka DPR, khususnya KMP, tidak bisa berbuat lain, kecuali memberikan dukungan juga. Sebab, jika mereka melawan arus politik rakyat, sama saja mempertaruhkan masa depannya di DPR. Bisa-bisa pada pemilu berikutnya partai mereka kalah telak.
Kalau logika atau peta politik demikian bisa dipahami, mengapa KIH harus ngotot mendapatkan kursi pimpinan komisi? Pasti ada motif lain, yakni motif ekonomi. Motif ini muncul berdasarkan pengalaman kerja masa lalu, di mana pimpinan komisi adalah jabatan strategis untuk menembus eksekutif dalam meraih uang. Motif mendapatkan uang ini bisa karena “perintah” partai, juga bisa karena kepentingan pribadi.
Sebab, dengan atas nama komisi DPR, para pimpinan komisi bisa menjalin komunikasi intensif dengan menteri dan para pejabat eselon satu. Hasil komunikasi intensif itu berupa kemudahan perizinan, proyek bagi konstituen, perlindungan pada pengusaha tertentu, bahkan menang tender proyek. Kasus-kasus korupsi DPR yang ditangani KPK menunjukkan semua itu. Inilah sejatinya tujuan mereka berebut kursi pimpinan komisi.
Padahal kondisi eksekutif belum tentu sebagaimana mereka bayangkan. Jejak-jejak Jokowi-JK dan para menterinya dalam dua pekan terakhir menjukkan, bahwa mereka sudah move on. Mereka sudah mengubah cara menggerakkan roda pemerintahan; mereka sudah mengubah perilaku sehari-hari sebagai pejabat. Jika pemerintah sudah move on, sementara DPR belum move on, apa gak kecele DPR nanti.
Partai-partai DPR berusaha mendapatkan kursi pimpinan dewan dan pimpinan komisi untuk mengakses sumber daya ekonomi di eksekutif; sementara Presiden Wakil Presiden dan para menteri berkeras menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik: integritas, antikorupsi, juju, transparan.
Jika eksekutif tidak mau diajak main belakang, maka jabatan pimpinan dewan dan pimpinan komisi menjadi tidak strategis lagi untuk mengakses sumberdaya ekonomi. Jika memang demikian, lalu apa gunanya ngotot mendapatkan kursi pimpinan komisi.