Berkaca pada Mandela
Mandela adalah tokoh yang sanggup berbagi masa depan dengan mereka yang telah menzaliminya.
Tak berlebihan rasanya bila saya katakan bahwa dunia hari ini (6 Desember) berduka dengan meninggalnya Nelson Mandela. Pejuang kesetaraan dan acuan moral rakyat kulit hitam Afrika Selatan yang telah menginspirasi dunia.
Tak salah pula rasanya bila saya katakan bahwa warisan utama Mandela bukan pada domain politik apalagi ekonomi, melainkan pada persoalan etik. Mandela telah mengartikulasikan visi dunia baru mengenai pentingnya rekonsiliasi, bukannya dendam. Sebuah pesan yang ia pegang kokoh dalam merundingkan secara damai berakhirnya segregasi apartheid dan pemaafan bagi pemerintah kulit putih yang 27 tahun memenjarakannya dan menyengsarakan kaumnya.
Ada ucapannya yang sangat terkenal ketika ia melangkah keluar dari pintu penjara di tahun 1990: "Ketika aku langkahkan kaki menuju gerbang yang mengantar pada kebebasanku, aku yakin bahwa jika aku tidak melupakan kepahitan dan menghapus kebencian, maka sejatinya aku masih terpenjara."
Apa saja warisan Mandela yang dengannya para pemimpin kita bisa berkaca? Pertama, Mandela adalah "paragon of reconciliation". Mandela adalah tokoh yang sanggup berbagi masa depan dengan mereka yang telah menzaliminya. Dia adalah presiden yang mau menerima mantan musuhnya, Presiden era apartheid terakhir, FW de Klerk sebagai deputinya.
Kedua, ia adalah pemimpin yang teguh pada prinsip menghindari pertumpahan darah. Di tengah kekerasan politik yang kronis menjelang pemilu 1994, Afrika Selatan di bawah kharisma Mandela, Afrika Selatan berhasil menghindar dari pecahnya perang saudara dalam transisi dari apartheid menuju demokrasi multipartai.
Ketiga, Mandela adalah pemimpin yang memenuhi janji. Pada tahun 1999, Mandela berikrar tak akan mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan kedua sebagai presiden. Itu merupakan wujud dari janji yang ia ucapkan sebelumnya. Thabo Mbeki kemudian menggantikannya di bulan Juni pada tahun yang sama.
Setelah melepas jabatan kepresidenan, ia pensiun dari kegiatan politik namun tetap tampil di depan publik mengampanyekan perlindungan HAM, perdamaian dunia dan perjuangan melawan AIDS.
Keempat, ia adalah pemimpin yang berani mengambil keputusan tidak populer. Contoh kecil. Mandela menyetujui penyelenggaraan final Kejuaraan Rugby Dunia tahun 1996 di Johannesburg. Rugby di mata rakyat kulit hitam Afrika Selatan adalah permainan orang kulit putih. Dalam pertandingan antara Afrika Selatan melawan Selandia Baru itu, Mandela yang hadir mengenakan kaus dengan nomor punggung kapten tim Afrika Selatan, Francois Pienaar yang berkulit putih. Ia terus menyuarakan rekonsiliasi meski dikecam oleh kaumnya sendiri.
Kelima, Mandela adalah pemimpin yang sangat menyadari pentingnya arti pendidikan. Ucapannya yang sangat terkenal adalah: "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world". Berbagai universitas di Afrika Selatan saat ini didominasi oleh mahasiswa kulit berwarna dan telah menghasilkan banyak sarjana yang datang dari berbagai latar belakang etnis.
Mandela juga manusia. Pasti ada cacat di sini dan di sana. Pada saat berkuasanya Mandela dan partai ANC (African National Congress), kroniisme meluas di kalangan pebisnis kulit hitam yang dekat dengan ANC. Para pemimpin ANC banyak yang tiba-tiba mempunyai rumah mewah. Kesenjangan antara kulit hitam dengan kulit putih menyempit, tapi meluas di antara sesama kulit hitam.
Mandela juga pernah berkomentar secara tidak bijak dengan menyebut Tony Blair sebagai menteri luar negerinya George Walker Bush dalam mengampanyekan perang melawan teror paska 9/11, padahal waktu itu Thabo Mbeki, penggantinya sedang dalam perjalanan menuju London menemui Blair.
Tapi dunia akan tetap mengenang Mandela sebagai inspirasi kepahlawanan dan ketulusan moral. Sebagaimana Gandhi, ia juga mahatma atau jiwa yang agung yang teladannya akan dikenang berbagai generasi yang akan datang, tak hanya di Afrika Selatan melainkan seluruh dunia. Persoalannya, maukah kita berkaca pada teladannya?