Eksistensi Primbon bagi masyarakat Jawa, dulu dan kini
Eksistensi Primbon bagi masyarakat Jawa, dulu dan kini. Pemerhati budaya Jawa, Mulyono mengatakan apa yang ditulis dalam primbon dan diyakini oleh orang Jawa memang sebatas kecenderungan.
Iyem (40) menelepon kakak tertuanya, Gimin (53) yang tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dengan nada semringah, warga Jati Asih Bekasi itu hendak memberikan kabar baik soal putri sulungnya yang dilamar sang pujaan hati. Tak cuma memberi kabar baik, Iyem juga bermaksud meminta hari baik buat pernikahan putrinya itu.
Dari seberang sana, sang kakak, juga mengesankan kebahagiaan. Ponakannya yang sudah dewasa akan segera menikah. Gimin pun bersedia mencarikan hari baik untuk pernikahan Sri (21).
Iyem sejak berusia 16 tahun sudah merantau. Awalnya dia merantau di Kota Bogor bersama kakak kedua (Kidi) dan ketiganya (Paino). Jalan hidup kemudian membuatnya pindah ke Bekasi. Dia menikah dengan warga Betawi asli, Toto (kini 46 tahun). Meski suaminya Betawi, Iyem tetap menggunakan hitungan Jawa dalam menentukan hari baik pernikahan putrinya.
"Anak saya (Sri) itu Kamis Pahing. Calon suaminya Rabu Legi. Nanti Mas Gimin yang bakal nyari hari baiknya kapan mereka menikah," ujar Iyem dalam perbincangan dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Kidi (50) kakak kedua Iyem menjelaskan, dalam keluarganya hitungan Jawa masih dipegang teguh. Meski tidak melulu, paling tidak untuk hari pernikahan, sunatan, pindah rumah mereka masih mencari petungan hari baik. Ini berlaku juga bagi anaknya.
"Ya kalau menurut Islam kan semua hari baik. Kita juga percaya itu, tetapi kan gak ada salahnya untuk mencari hari yang lebih baik lagi," ujar Pakde, begitu Kidi biasa disapa.
Kidi bercerita, empat bulan lalu, saudara dari pihak istrinya yang ada di Muara Bungo, Jambi juga meneleponnya. Saudara dari pihak Istri memintakan hari baik untuk menikahkan anaknya.
-
Apa yang dimaksud dengan tradisi "piring terbang" di pernikahan adat Jawa? Dalam acara resepsi pernikahan adat Jawa, ada sebuah tradisi yang dikenal dengan istilah “piring terbang”.
-
Bagaimana cara pelaksanaan tradisi "piring terbang" di pernikahan adat Jawa? Seluruh hidangan tidak diberikan pada tamu secara sekaligus. Namun, memiliki urutan tertentu. Beberapa daerah membaginya dengan hidangan pembuka dan makanan berat. Tujuannya adalah agar para tamu bisa menikmati hidangan satu per satu.
-
Apa yang dimaksud dengan "jodoh kembar" dalam tradisi Jawa? Menurut kepercayaan Jawa, anak kedua dan anak ketiga disebut sebagai "jodoh kembar" atau "lurah wracikan". Mereka diyakini dibawa oleh takdir sebagai pasangan yang sempurna satu sama lain.
-
Bagaimana cara menentukan hari baik pernikahan menurut tradisi Jawa? Pemilihan hari pernikahan berdasarkan weton atau kalender Jawa sangat penting. Hari yang dipilih harus dianggap baik agar pernikahan berjalan lancar dan pasangan mendapatkan keberuntungan. Ahli nujum atau sesepuh biasanya dilibatkan dalam menentukan hari baik ini.
-
Bagaimana tradisi Jawa mempengaruhi pernikahan anak kedua dan ketiga? Pernikahan antara anak kedua dan anak ketiga juga melibatkan peninggalan budaya dan tradisi Jawa yang kaya. Mulai dari prosesi adat pernikahan hingga pesta pernikahan yang meriah, semua memiliki nuansa yang khusus dan makin memperkaya pernikahan ini dengan nilai-nilai tradisional.
-
Apa arti dari Kembar Mayang dalam pernikahan adat Jawa? Kembar Mayang adalah simbol hiasan pernikahan yang memiliki arti filosofis dalam adat Jawa. Kembar Mayang terbuat dari bahan-bahan seperti bunga, daun, dan kain, yang disusun secara simetris untuk menggambarkan kesetaraan dan keselarasan antara dua insan yang akan menikah.
primbon ©2015 merdeka.com/istimewa
Keluarga istri Kidi, sejak tahun 80-an ikut transmigrasi di Jambi. Mereka asalnya dari Wonogiri, Jawa Tengah tetapi karena ada pembangunan Waduk Gajah Mungkur, warga di beberapa kecamatan akhirnya bedol desa transmigrasi. Sebagian besar kini tinggal di Muara Bungo, Jambi.
"Sebagai orang yang dituakan kadang dimintai mencari hari. Kadang bukan saya yang nyari, tapi saya nanya sama kakak di kampung atau orang yang dituakan di kampung. Tujuannya supaya acara atau hajat yang diingin berjalan baik," ujar Pakde.
Semua hitungan hari baik yang diyakini oleh keluarga Pakde bersumber dari Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Orang tua Jawa dulu menggunakan petungan atau hitungan yang ada dalam kitab tersebut untuk segala keperluan hidup.
Dalam Primbon, ada bulan yang dianggap baik untuk hajatan nikah yakni bulan Besar yang mengandung arti akan kaya dan mendapat kebahagiaan. Bulan Ruwah mengandung maksud Selamat dan selalu damai. Rejeb berarti selamat serta banyak anak. Jumadilakhir artinya kaya akan harta benda. Bulan-bulan di atas sangat disarankan untuk punya gawe atau hajat.
Sedangkan bulan yang boleh dilanggar karena sesuatu hal adalah bulan Sapar walau akan kekurangan dan banyak utang. Bulan Rabiul Akhir walau sering digunjingkan dan dicaci maki. Bulan Jumadilawal walau sering tertipu, kehilangan dan banyak musuh. Selain itu bulan Sawal, kekurangan dan banyak utang.
Sedangkan bulan yang menjadi pantangan untuk menggelar hajat adalah Suro. Di bulan Suro ini konon kalau dilanggar akan mendapat kesukaran dan selalu bertengkar. Bulan Rabiul awal juga pantangan. Bulan puasa atau Ramadan juga pantangan karena akan berakibat akan mendapatkan kecelakaan. Terakhir bulan pantangan adalah Dzul Qoidah kalau dijalankan akan berakibat sering sakit dan bertengkar dengan teman.
Kitab Primbon Betaljemur Adamakna ©istimewa
"Nah biasanya di bulan-bulan yang itu kita hindari hajat. Semua bulan baik, tetapi kalau hitungan Jawa ada yang lebih baik," ujar Pakde.
Sebagai sebuah budaya, petungan Jawa hingga kini masih dipegang teguh sebagian orang. Namun banyak juga orang Jawa yang sudah meninggalkannya. Cap musrik, klenik, kuno sering dinisbatkan kepada mereka yang masih menggunakan primbon sebagai rujukan dalam menggapai hajat.
Pemerhati budaya Jawa, Mulyono mengatakan apa yang ditulis dalam primbon dan diyakini oleh orang Jawa memang sebatas kecenderungan. Apa yang digariskan soal hari baik dan buruk jangan diyakini seratus persen.
"Ibarat ada anak yang mau naik ke bukit saat langit mendung gelap tentu orangtuanya akan mencegah dan menyarankan hari lain saat langit cerah. Hal ini karena kekhawatiran bila nekat pergi di saat langit mendung, si anak bisa kehujanan, kena sambar petir, tertimpa pohon dan lain-lain. Tetapi kalau toh nekat ke pergi dan ternyata tidak hujan dan pulang dengan selamat kan bisa juga. Tetapi kalau terjadi seperti yang ditakutkan orangtuanya, maka nasihat orangtua tadi berusaha mencegah itu. Soal amalan (Primbon) itu hanya sifatnya hanya kecenderungan, kepastian tetap milik Allah SWT," ujar Mulyono.
Menurut Mulyono, primbon yang memiliki motto moco in waskito (membaca tanda-tanda dari kejadian alam) tidak seluruhnya masih relevan di zaman sekarang. Soal bab burung Perenjak (Prinia familiaris) misalnya. Orang dulu percaya bila burung perenjak bertengger dan bercuit di depan rumah pertanda akan datang tamu. Namun kondisi tersebut sudah tidak cocok lagi diterapkan di zaman sekarang. berkurangnya burung perenjak, rumah yang belum tentu ada pohonnya membuat ramalan itu sudah tidak bisa dijadikan sebagai rujukan.
"Tetapi kalau soal hari baik itu saya kira masih sangat relevan. Hari baik itu sumber hari lahir dan pasaran orang. Dan tentunya hari baik masing-masing individu beda-beda. Hari baik buat saya mungkin tidak baik bagi Anda, juga sebaliknya. Karena kita lahir di waktu yang berbeda," ujar Dosen Universitas Sebelas Maret, Surakarta ini.
Foto pernikahan adat jawa ©2016 Merdeka.com
Namun semua petungan baik yang berupa anjuran dan larangan dalam Primbon digantungkan kepada masing-masing individu. Percaya atau tidak menjadi hak masing-masing.
"Percoyo yo syukur ndak percaya juga tidak apa-apa. Yang penting niat dan tujuannya baik. Tapi saya termasuk yang masih percaya akan meneruskan itu pada anak-anak saya. Kalau pun anak saya tidak meneruskan ke cucu saya ya tidak apa-apa, sing penting selamet semuanya," imbuh Pakde.