Harapan dari pelosok Lebak
Kesejahteraan mereka tak kunjung membaik. Tergantung kemurahan hati penguasa daerah.
Tepat pukul 10.30 WIB, waktu istirahat kedua di SD Negeri Cibungur 1, Lebak telah selesai. Semua pelajar dari kelas dua hingga enam berlarian masuk ke ruang kelas. Yuliantoro bersiap masuk kelas dengan membawa buku dan bangun ruang buat mengajar Matematika.
Yuli, sapaan akrabnya, adalah guru honorer di sekolah itu. Sesekali Yuli melempar pertanyaan soal jumlah sisi balok. Kebetulan materi sedang diajarkan soal bangun ruang.
Seorang siswi berhasil menjawab dengan tepat. Yuli melanjutkan dengan menuliskan angka di papan tulis untuk melanjutkan pertanyaan selanjutnya.
"Siapa yang bisa mengerjakan ini ke depan?" tanya Yuli kepada murid.
Satu jam berlalu, pukul 11.30 WIB, bel tanda pelajaran berakhir berdering. Yuli mengaku sudah sebelas tahun menjadi guru honorer. Jarak antara rumah dan sekolah sekitar sembilan kilometer. Saat ini upah diterimanya Rp 300 ribu per bulan. Dia mengaku itu tak cukup buat memenuhi kebutuhan sehari-hari, serta membiayai sekolah kedua putrinya.
Buat menambah pemasukan, lelaki 36 tahun itu menyiasati dengan bekerja sampingan menjadi tukang ojek selepas mengajar. Sebab, istrinya hanya ibu rumah tangga.
Kendati demikian, Yuli tak pernah menyesal menjadi guru lantaran memang cita-citanya sejak lama. Apalagi orang tuanya juga dulu berprofesi sama. Kata dia, mengajar bukan semata-mata karena penghasilan, melainkan ingin menjadikan muridnya cerdas dan berguna bagi bangsa.
Hidup serba pas-pasan selalu dihadapi Yuli. Keluarganya tak pernah protes dengan kondisi itu. Mereka selalu mendukung dan terus memberikan semangat agar dia tak mengeluh. Yuli sangat berharap pemerintah memperhatikan nasib para guru honorer di desa-desa, dengan segera diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
"Kalau pun tidak diangkat jadi PNS, kami mendapatkan tunjangan-tunjangan yang membantu perekonomian kami," kata Yuli dengan penuh harap kepada merdeka.com, di Lebak, Senin (21/11) lalu.
Sejawat Yuli, Rina Marina, berharap sama kepada pemerintah. Walaupun penghasilan kurang, Rina yang sudah delapan tahun menjadi guru honorer tetap tabah mengajar. Penyebabnya, di desa terpencil pendidikan belum menjadi keutamaan. Rina mengajar kelas tiga dengan 16 murid. Lantaran upah guru honorer amat minim, tak dipungkiri ada sebagian orang memandang sebelah mata profesinya.
"Ada yang bilang buat apa jadi guru honorer, enggak ada uangnya," ucap perempuan 27 tahun itu.
Rina memilih mengabaikan cemoohan itu. Terpenting baginya bisa membagi ilmu kepada para murid. Dia percaya tidak akan selamanya menjadi guru honorer. Dia cuma berharap pemerintah tidak mengabaikan keberadaan dia, dan guru honorer senasib di daerah lain, saat ini jauh dari sejahtera.
Kepala Sekolah SD Negeri 1 Cibungur, Lebak, Warmadi (52), tak sanggup berbuat banyak dan hanya bisa prihatin. Menurut dia, sekolah tidak mampu menggaji mereka lebih dari Rp 300 ribu.
Bantuan dana dari pemerintah tidak mencukupi menggaji empat guru honorer secara layak. Kendati begitu dia sudah mengusulkan ke pengawas pembinaan UPT soal upah. Namun hingga saat ini belum dikabulkan.