Hukum vs politik dalam kasus Bank Century
Politisi DPR gagal mendelegitimasi kekuasaan SBY-Boediono. KPK terus mengusut, tak peduli siapa jadi tersangka nanti.
Mari berandai-andai sejenak. Kalau saja hubungan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan DPR saat itu, baik-baik saja, apakah DPR akan memunculkan dan mempersoalkan kasus penyalahgunaan dana Bulog dan sumbangan Sultan Brunei, atau biasa disebut skandal Buloggate dan Bruneigate?
Katakanlah benar, bahwa Gus Dur terlibat kasus itu. Namun apabila hubungan Gus Dur dan DPR baik-baik saja, apakah DPR akan tetap mempersoalkan? Jawabnya, tidak. Ini kalau kita lihat dari perspektif sekarang, setelah Gus Dur mundur dari kekuasaan.
Sampai sekarang, secara hukum, sesungguhnya kita tidak tahu, benar-tidaknya Gus Dur terlibat kasus itu. DPR menghentikan upayanya untuk membongkar kasus setelah Gus Dur meninggalkan jabatan presiden. Polisi dan jaksa sebagai pihak yang berwenang untuk menangani kasus korupsi –saat itu belum ada KPK– juga tidak bergerak.
Di sinilah kita tahu, hukum tidak berdaya di hadapan politik. Atau, bekerjanya hukum tergantung pada kehendak politik. Demi keadilan dan kepastian hukum, semestinya kasus Buloggate dan Bruneigate diselesaikan melalui pengadilan. Sebab pengadilanlah yang berhak menentukan benar-tidaknya suatu kasus.
Kalau kasus Buloggate dan Bruneigate sampai ke pengadilan hingga tuntas, maka kita bisa menyimpulkan, apakah tuduhan yang dialamatkan kepada Gus Dur oleh politisi DPR itu, benar atau tidak. Hal ini tidak hanya memperjelas keterlibatan Gus Dur –yang dengan demikian beliau mendapat keadilan dan kepastian hukum– tetapi juga bisa menyingkap motif DPR saat memunculkan dan meributkan kasus ini.
Kenyataannya hukum tetap dikendalikan politik. Begitu Gus Dur turun, pembongkaran kasus Buloggate dan Bruneigate berhenti. Alasannya macam-macam, mulai dari menghormati Gus Dur sampa dengan menjaga stabilitas. Yang dengan demikian, kita bisa menyimpulkan: tujuan mempersoalkan Buloggate dan Bruneigate adalah untuk menjatuhkan Gus Dur. Omong kosong itu penegakan hukum.
Berkaca dari kasus Buloggate dan Bruneigate, maka melihat perkembangan kasus Bank Century, kita perlu mempertanyakan motif sesungguhnya politisi DPR dalam mengungkap kasus ini: apakah sekadar untuk menjatuhkan atau setidaknya mendelegetimasi SBY-Boediono, atau benar-benar menegakkan hukum sebagaimana dikoar-koarkan?
Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab. Apalagi para politisi pandai bersilat lidah, sementara fakta dan dokumen yang diumbar para pihak, berhamburan, tidak mudah dipastikan, mana yang benar, dan mana yang menipu. Bahkan siapa-siapa yang paling bertanggung jawab pun sulit diidentifikasi: SBY di luar negeri, Kalla merasa dibohongi, Century hanya bank kecil, krisis melanda banyak negara, dan lain-lain dan lain-lain.
Hukum memang harus ditegakkan, dan beruntung kini kita punya KPK yang reputasinya masih hebat di mata rakyat. Tetapi penanganan kasus yang pelan-pelan ini menimbulkan kompleksitas lain.
DPR menuduh KPK tidak serius menangani kasus yang melibatkan pejabat puncak ini. Sementara KPK punya dalih, pihaknya harus ekstra hati-hati, karena pengumpulan alat bukti pidana korupsi dalam kasus ini, tidak gampang. Apalagi sekali KPK menetapkan tersangka, maka kasusnya tidak boleh mundur lagi.
Namun sikap ekstra hati-hati KPK ini justru dimaknai politisi DPR sebagai KPK takut membongkar kasus, karena ini menyangkut presiden dan wakil presiden. Padahal, menurut politisi DPR, semua warga negara sama di hadapan hukum, tidak peduli presiden atau wakil presiden, jika terlibat, ya diproses saja.
Inilah bedanya kasus Buloggate dan Bruneigate dengan Bank Century. Di satu pihak, politisi DPR tidak bisa berhenti mempersoalkan kasus ini, karena gagal mendesak SBY - Boediono mundur; di lain pihak, KPK terus mengusut kasus ini sesuai dengan bukti hukum yang dimiliki, tidak peduli siapa yang aka jadi tersangka nanti.
Akan terlihat, bagaimana kemungkinan hukum dan politik bisa berjalan sepadan nanti.