Konflik Aceh dan Papua hanya masalah ekonomi saja
"Kalau ada penembakan-penembakan, itu karena tidak semua GAM terakomodir," kata Asad.
Beberapa waktu lalu dua anggota TNI Angkatan Darat Kodim 0103 Aceh Utara, Sertu Indra dan Serda Hendri ditemukan tewas ditembak orang tak dikenal, Selasa (24/3) lalu. Kedua jenazah anggota TNI ini ditemukan oleh polisi di Desa Batikpilah, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.
Semua mafhum Aceh merupakan bekas daerah konflik. Di provinsi berjuluk Serambi Mekkah itu pernah muncul gerakan sparatis, yakni Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menuntut kemerdekaan dan lepas dari NKRI.
Apakah penembakan itu berkaitan dengan kemunculan GAM? Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengungkapkan, pembunuhan itu terjadi diduga karena beberapa waktu sebelum kejadian, kedua anggota TNI AD yang belakangan diketahui bertugas sebagai intelijen Kodim menemukan tiga ladang ganja serta narkotika jenis sabu-sabu.
"Mungkin mereka (pelaku) terganggu dengan itu (penemuan ladang ganja oleh anggota TNI). Dilihat dari kejadian dua korban ditelanjangi dan ditembak, itu pesan yang jelas," ujar Moeldoko di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Asad Said Ali memiliki analisis mirip. Menurut dia, secara keseluruhan sebenarnya masalah Aceh itu sudah selesai. "Kalau ada penembakan-penembakan, itu karena tidak semua GAM terakomodir dulu kan," ujarnya.
Sesama eks GAM ini, dia melanjutkan, muncul perbedaan pendapat, terutama masalah kekuasaan. Ketika ada perbedaan kepentingan politik, kepentingan ekonomi juga itu mengakibatkan gesekan. "Meskipun secara formal sudah tuntas tetapi pembangunan dan proses politik di Aceh tidak menguntungkan bagi rakyat banyak," ujarnya.
Berikut ini kutipan wawancara Arbi Sumandoyo dari merdeka.com dengan Asad Said Ali di kantornya di bilangan Tebet, Kamis (03/04)
Kemarin ada dua anggota TNI tewas ditembak di Aceh, menurut Anda apa latar belakang konflik tersebut, sepertinya ancaman sparatisme masih ada?
Sesama GAM ini kan terjadi perbedaan pendapat terutama masalah kekuasaan. Saya tidak menyebut nama-nama karena tidak bagus ya. Ketika ada perbedaan kepentingan politik siapa menguasai siapa, ada kepentingan ekonomi juga, itu mengakibatkan konflik. Meskipun secara formal sudah tuntas tetapi pembangunan dan proses politik di Aceh tidak menguntungkan bagi rakyat banyak.
Kemudian ada pandangan dari pihak Aceh bahwa negara belum sepenuhnya memberikan apa yang tertuang dalam perjanjian Helsinki. Padahal kalau bisa sih, apa ya, apa yang tertanggung dalam perjanjian Helsinki sudah dilaksanakan. Kalau tidak dunia internasional akan mengingatkan Indonesia.
Jadi utamanya masalah kepentingan ekonomi, pembagian ekonomi, misalnya minyak di lepas pantai itu bagaimana? Kan ada undang-undangnya, dikembalikan kepada undang-undang. Tapi secara keseluruhan sebenarnya masalah Aceh itu sudah selesai dan kalau ada penembakan-penembakan, kan tidak semua GAM terakomodir dulu kan. Ya itu sudah masalah internal Aceh sendiri, tapi ya memang sebaiknya ada sesuatu. Itu sesuatu hal yang wajar dan nanti akan selesai dengan sendirinya.
Tapi ini sasarannya anggota TNI?
Itu untuk menarik perhatian luar negeri, supaya ada perhatian lagi, ada sesuatu yang mengharuskan pemerintah turun tangan. Kan Begitu diminta oleh mereka kira-kira. Jadi bagaimana? Ada duduk bersama-sama apa gunanya. Padahal menurut saya yang paling dibutuhkan dari Aceh itu kan hubungan dengan pemerintah pusat semakin bagus.
Saya kira gubernurnya sudah oke lah. Tapi internal itu yang belum sepenuhnya mulus. Bagaimana menggerakkan ekonomi Aceh ini. Prasarananya sudah cukup bagus kan, dan pembangunan sejak dana otonomi khusus kan jalan terus. Bagaimana menjalani. Akibat Tsunami ini kan ada trauma yang belum hilang. Ya nafsu jiwa entrepreneurship ini belum sepenuhnya. Memang yah efek dari konflik belum selesai sepenuhnya.
Kalau dari kacamata anda potensi konflik di Aceh memungkinkan akan terus terulang?
Hanya konflik itu saja. Tidak ada jalan lain kecuali otonomi khusus itu. Itu internasional, tidak boleh Indonesia mengabaikan atau bekas GAM juga mengabaikan. Itu yang menjadi solusi dan gubernurnya, Pak Abdullah Zaini sudah bagus itu. Mungkin belum terpenuhi semua yang dari bawah. Ini harus didorong kekompakan sehingga mempermudah proses pembangunan. Kalau ekonomi bagus selesai lah.
Bagaimana dengan gejolak di Papua?
Jadi sama, Aceh maupun Papua hanya masalah ekonomi saja. Ekonomi yang belum memuaskan berbagai pihak. Di Papua sama. Papua ini kan dengan gubernurnya Lukas, sudah menurun. Karena Lukas lebih bagus daripada gubernur sebelumnya, ekonomi, kemudian umat beragama mendapat perhatian benar. Persoalan memang di pegunungan, konflik memang sudah menurun dibanding dulu jauh sekali.
Dulu konflik pilkada saja tidak pernah berhenti, dibakar dan sekarang sudah tidak. Itu artinya di bawah lukas sudah tenang. Memang sekarang bagaimana mengajak mereka turun dari gunung, misalnya Goliath Tabuni, memang perlu waktu. Apalagi kecurigaan terhadap TNI memang tinggi dan memang perlu pendekatan kultural di samping pendekatan ekonomi supaya pengamanan menjadi nomor berikutnya, sebenarnya itu.
Jangan pendekatan keamanan tapi ekonomi dan kesejahteraan termasuk pendekatan agama tidak dilakukan. Agama ini kan banyak gereja-gereja yang katolik, protestan, banyak yang nasionalis. Di sana kan ada dua syafaat ya, selain (gereja) yang baru ini disetir dari luar negeri itu yang perlu diingatkan bagaimana pentingnya berbangsa ini. Gereja pun harus menumbuhkan jiwa nasionalisme. Boleh bantuan dari luar negeri tapi ada filter untuk kepentingan bangsa dan negara.
Makanya perlu ada pendekatan agama karena memang masyarakatnya berpandangan seperti itu. Jadi ekonomi, agama, budaya di samping keamanan. Kalau Aceh keamanan sudah menjadi tipis sekali lho, ya kan? Sama dengan Papua. Akarnya sama. Papua ini bener apa kata pemerintah sekarang diforsir masalah sarana. Pegunungan di sana masih jalan tanah, kalau sudah tembus jalan aspal ya sudah akan menolong sekali.
Guliath Tabuni juga menyejahterakan rakyatnya juga kan. Kalau ngomong Papua sudah pecah, enggak mungkin menurut saya. Enggak mungkin walaupun ada campur tangan asing, karena apa? Untuk menyatukan Papua itu perlu waktu.
Perlu waktu lama?
Lama. Itukan beberapa suku, berapa konflik yang terpisah gitu lho. Untuk menyatukan bagaimana?
Sebetulnya konflik di Aceh dan Papua itu ada yang menunggangi atau tidak?
Adalah itu. Keluhan itu siapa? Kan ada NGO, ada pemerintah. Ada pemerintah Australia, Amerika, itu kan, tapi NGO ini kan juga bisa. Bisa juga untuk politik dalam negeri masing-masing, kan begitu. Kalau hanya isu politik dalam negeri kan hanya gejala sesaat, cepat selesai. Nah yang perlu diwaspadai adalah NGO dan konflik perusahaan-perusahaan luar negeri, itu yang perlu diwaspadai Dan itu dalam rangka melepas itu, Papua dari Indonesia.
Tapi tidak akan bisa dan saya percaya kepada Gubernur Lukas Enembe, dia seorang nasionalis. Dia seorang nasionalis dan menyatukan umat beragama. Jadi orang ini punya wawasan kebangsaan yang luar biasa. Saya yakin bisa Lukas itu. Asal itu tadi, pendekatan itu pendekatan apa, pendekatan ekonomi, budaya. Ekonomi itu artinya apa harus semakin keterbukaan. Yang ngaco kan NGO yang nakal kan. Yang lainnya tidak.
NGO-nya itu siapa, bisa disebutkan?
Kalau sekarang saya tidak tahu. Kan berubah-rubah nama. Yang di Australia siapa. Ya itu-itu juga lah.
Jadi NGO ini punya peran sejarah penyebab disintegrasi di Papua?
NGO ini kan begini ya, artinya ya memang barang kali ideologi ya, dalam arti menyebarkan asumsi, misalnya negeri itu yang bagus kecil. Ya kan. Itukan namanya ideologi. Yang penting itu rakyatnya makmur. Saya bilang itu bagaimana mungkin makmur terputus-putus itu. Ya mendingan bersatu dari pada terpisah. Yang makmur kan Merauke makmur, Sorong makmur, kalau pegunungan tidak ada prasarananya. Jadi satu aspek ekonomi itu sarana dan prasarananya cepat selesai.
Pengamanan TNI di Papua juga merupakan salah satu untuk menjaga itu, termasuk membangun pangkalan di sana?
Kalau saya begini, itu kan konsep lama ya. Armadanya tiga, itu konsep lama untuk pertahanan. Itu kalau saya lihat deterrent (pencegahan) saja terhadap pihak luar kalau kita serius menjaga wilayah kita. Keamanan hanya sebagian kecil saja. Keamanan kan utamanya polisi, TNI hanya menjadi pendukung saja. Kalau Papua misalnya ada satu divisi tentara itu kan luasnya tiga kali pulau Jawa, kan logis.
Hanya menurut saya pendekatan keamanan bukan satu hal utama. Mungkin itu hanya penggeseran-penggeseran prioritas saja menurut saya. Berapa batalyon sih pemberontak itu, tidak banyak kan? Tapi masalahnya kan yang menjadi titik konsentrasi pegiat HAM, ada yang mati satu saja gemanya langsung keluar. Kan begitu ya. Jadi menurut saya pembangunan pertahanan tadi tidak terkait dengan konflik. Lebih terkait kepada posisi kita bagaimana menghadapi perkembangan global.
Dengan Australia yang mau main-mainkan juga mikir, lagi pula ada kepentingan nasional kita di situ. Artinya penangkal, daya getar orang luar pun nyaman di situ. Jadi bukan untuk menghantam orang-orang yang bersenjata.
Dana Otsus untuk Papua besar, tapi sepertinya pertumbuhan tidak seimbang?
Kalau pembangunan itu kan sudah ada Otsusnya, sudah ada mekanismenya di Papua itu khusus kan, dalam artian wilayahnya, penduduknya seperti itu perlu penanganan khusus. Sekarang sudah ada provinsi di Papua barat kan aman sekali, apalagi di kabupaten. Sekarang kan sudah enggak banyak, dan kekuatan senjata sudah terpisah dengan kekuatan politik. Dulu minta merdeka, ya merdeka itu ya kesejahteraan itu. Saya yakin dengan pendekatan seperti sekarang ini ditonjolkan ekonomi, budaya dan agama akan cepat.