Membimbing eks teroris kembali cinta NKRI
Membimbing eks teroris kembali cinta NKRI. Ada alasan lain para pendamping dihadirkan. Mereka dianggap memahami pola tingkah laku eks napiter lantaran sering berinteraksi. Mereka juga dianggap kompeten dan hafal gerak-gerik para mantan napiter.
Wajah Kaswan tampak santai. Duduk sambil mendengar para pernyataan para menteri. Sesekali pandangannya mengarah ke kanan dan kiri. Mengamati pelbagai gerak-gerik selama ini dia pahami. Mencegah segala kemungkinan buruk terjadi.
Pria ini tengah menghadiri 'Silaturahmi Kebangsaan Satukan NKRI'. Acara digagas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berlangsung di Ruang Flores, Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Sudah tiga hari Kaswan di sana. Duduk berdampingan dengan 124 mantan teroris dan 51 korban teror (penyintas).
-
Bagaimana cara BNPT membantu para penyintas terorisme agar tetap berdaya? Selain itu, BNPT juga sering mengadakan agenda gathering yang ditujukan untuk menumbuhkan semangat hidup dan mengembalikan kepercayaan diri bagi para korban terorisme agar tetap berdaya.
-
Bagaimana cara mencegah tindakan terorisme? Cara mencegah terorisme yang pertama adalah memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar. Pengetahuan tentang ilmu yang baik dan benar ini harus ditekankan kepada siapa saja, terutama generasi muda.
-
Apa yang diumumkan oleh BPBD DKI Jakarta? Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mengumumkan, cuaca ekstrem berpotensi melanda Ibu Kota hingga 8 Maret 2024.
-
Bagaimana peran Ditjen Polpum Kemendagri dalam menangani radikalisme dan terorisme? Ketua Tim Kerjasama Intelijen Timotius dalam laporannya mengatakan, Ditjen Polpum terus berperan aktif mendukung upaya penanganan radikalisme dan terorisme. Hal ini dilakukan sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
-
Siapa saja yang terlibat dalam FGD tentang penanganan radikalisme dan terorisme yang diselenggarakan Ditjen Polpum Kemendagri? FGD melibatkan sejumlah narasumber dari berbagai instansi terkait. Mereka di antaranya Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jawa Tengah, Binda Jawa Tengah, Satuan Tugas Wilayah Densus 88, serta Sekretaris Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah.
-
Kapan trem di Jakarta dihentikan? Operasional trem kemudian dihentikan pada 1959.
Para penyintas terlihat berpakaian batik formal. Beberapa dari mereka terlihat menggunakan alat bantu. Seperti tongkat berjalan, kursi roda hingga gips di kepala. Tak sedikit juga bagian tubuh mereka terdapat luka. Mulai dari luka bakar hingga cacat fisik. Tapi hal itu tak membuat mereka rendah diri atau minder bertemu banyak orang.
Berbeda dengan para penyintas. Para mantan narapidana teroris (napiter) terlihat lebih santai. Pakaian digunakan beragam. Memakai kaos berbalut rompi, menggunakan kemeja maupun pakaian takwa (koko). Beberapa di antaranya juga mengenakan peci. Sepanjang acara mereka tak dibiarkan sendiri. Ada sejumlah petugas dikerahkan sebagai pendamping.
Tugas khusus mendampingi mantan napiter itu tengah dijalankan Kaswan. Pembimbing Kemasyarakat dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) Purwokerto itu, hadirnya selayaknya peserta. Bahkan mengenakan tanda pengenal bertuliskan peserta. Dia mengaku membimbing sejumlah mantan napiter mendapat bebas bersyarat karena sudah menjalani 2/3 masa hukuman. Meski begitu, katanya, mereka masih diharuskan wajib lapor.
Permintaan mendampingi datang dari pihak BNPT. Diakui Kaswan, masih ada trauma dari para penyintas. Untuk itu, hadirnya para petugas Bapas dapat meyakinkan para penyintas untuk datang sekaligus membantu program deradikalisasi. Selama melakukan bimbingan, dia meyakini ideologi para sudah tidak radikal. Mereka sudah lebih kooperatif dan kembali mencintai NKRI.
"Karena kita dianggap mengetahui perilaku mereka. Bimbingan diberikan dari sisi rohani dan kemandirian," kata Kasman kepada merdeka.com, Rabu pekan lalu. Kaswan hadir bersama rekannya Mulyono. Area tugas dua petugas Bapas ini masuk wilayah Jawa Tengah. Total ada 13 eks napiter mereka dampingi. Delapan dari Solo, dua Semarang dan tiga Purwokerto.
Dalam acara ini para pendamping sengaja didatangkan dari tempat asal. Misalnya, para napiter menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Cibinong, Depok, Jawa Barat. Selain petugas, Kalapas Cibinong juga tampak duduk di antara para tamu undangan. Sementara mantan napiter asal Solo, Sragen, Lamongan didampingi anggota polisi dari Polres Surakarta.
Ada alasan lain para pendamping dihadirkan. Mereka dianggap memahami pola tingkah laku eks napiter lantaran sering berinteraksi. Mereka juga dianggap kompeten dan hafal gerak-gerik para mantan napiter. Sebab, meski mereka mengaku telah bertobat tak ada jaminan paham radikalisme terhapus. Sehingga bila sesuatu terjadi, para pendamping bisa langsung menangani.
Silaturahmi korban dan mantan napi terorisme ©2018 Merdeka.com/Imam BuhoriPendampingan mantan napiter nyatanya bukan hanya sepanjang acara berlangsung. Usai menghirup udara bebas, tak lantas membuat hidup mantan kombatan hidup bebas. Tiap gerak-geriknya masih mendapatkan pengawasan. Seperti dirasakan Sofyan. Sebagai salah satu mantan napiter, dia mengaku merasa masih diawasi.
"Pengintaian pasti ada buat kasus seperti ini. Saya juga paham kalau itu bagian dari prosedur," kata Sofyan saat berbincang dengan merdeka.com.
Menurut dia, sebagian besar temannya juga mendapatkan perlakuan serupa. Walau mengaku risih dan terganggu, dirinya tak bisa berbuat banyak. Hanya berpikir sudah menjadi aturan.
Cerita serupa juga datang dari eks napiter lain, Sofyan Tsauri. Mantan anggota polisi terjebak sebagai teroris ini sempat melatih militer teroris di Aceh. Lalu ditangkap tahun 2010 silam. Kini sudah tiga tahun menghirup udara bebas. Setelah sebelumnya menjalani hukuman penjara selama 5 tahun. Meski begitu, dia harus menjalani wajib lapor setiap bulannya tahun 2019 mendatang.
"Saya setiap sebulan sekali atau dua bulan sekali. Kita wajib laporan, tanda tangan dan lain-lain," kata Tsauri.
Dia maklum. Dia menyadari berbagai cara ini demi memastikan mantan napiter tak lagi terhubung dan kembali menjadi radikal. Namun, kata dia, terorisme adalah jaringan. Memutus rantai tak menjamin paham radikal hilang begitu saja. Kondisi terjepit kadang menjadi alasan seseorang kembali menjadi radikal. Terlebih melakukan berbagai aksi teror sendirian.
"Kadang orang sudah baik, sudah enggak mau jihad tapi dipancing-pancing lagi. Akhirnya main lagi, kan banyak yang sampai dua sampai tiga kali tertangkap jaringan terorisme," ungkapnya.
Tak bisa dipungkiri, banyak para mantan napiter kerap dikucilkan. Tak jarang perlakuan tidak menyenangkan diterima. Bukan hanya secara personal, bahkan keluarga ikut menjadi korban. Selain itu beban mereka juga tambah berat karena sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Mereka kerap mendapat penolakan kerja di perusahaan. Kondisi ini, kata Sofyar, menjadi salah satu pemicu mantan teroris kembali menjadi radikal untuk kedua kalinya. Untuk itu pendampingan terhadap mantan napiter sangat dibutuhkan.
Sayangnya, sejak peristiwa Bom Bali I tahun 2002, pemerintah absen dalam hal ini. Deradikalisasi justru dilakukan pihak swasta. Aliansi Perdamaian Indonesia (AIDA) salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) konsen dalam kasus ini. Sejak dalam tahanan AIDA mulai mempertemukan pelaku dan korban. Langkah itu menjadi salah satu program deradikalisasi. Juga termasuk pemulihan trauma psikis korban teror. Tujuannya agar dua belah pihak bisa saling rekonsiliasi. Saling memaafkan.
Kata Tsauri, hakikatnya rekonsiliasi memberikan informasi kepada masyarakat terorisme. Paham radikal adalah fakta bukan konspirasi. Ada pihak terpapar dan menjadi korban. Namun, harus diakui bahwa masyarakat belum teredukasi dengan baik. Padahal kasus terorisme menjadi tanggung jawab bersama. Untuk itu pemerintah harus hadir. Memberikan solusi cara penanganan korban. Sehingga eks napiter dan penyintas sama-sama kembali ke masyarakat dan diterima seperti sediakala.
"Stigma-stigma (buruk) ini harus dihilangkan," tegas Tsauri.
Setelah 16 tahun berlalu, pemerintah baru hadir. Merangkul semua pihak untuk ikut ambil bagian dan memperjuangkan nasib para korban dan mantan kombatan. Pemerintah berdalih, selama ini tak ada penanganan khusus lantaran tak memiliki dasar hukum. Sebagai lembaga pemerintah, BNPT hadir menjadi wadah penampung aspirasi mereka. "Mereka sudah bergaul, bercanda, saya dengan korban bom Hotel Marriott dan yang lainnya," ucapnya.
Tum, salah seorang korban Bom Bali I, berharap usai pertemuan silaturahmi kebangsaan ini akan ada bentuk nyata pemerintah kepada para korban dan penyintas. Sebab, baik pelaku dan penyintas kerap tersudutkan. Keterpurukan ekonomi cikal bakal perubahan drastis dalam kehidupannya. Keterbukaan lapangan pekerjaan bagi korban cacat dan pelaku masih minim. Banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan mereka.
"Harapan saya ini besar sekali, saya tidak minta dikasih uang, saya minta diberikan lapangan pekerjaan," ungkap Tum.
(mdk/ang)