Membubarkan partai pelahap dana korupsi
Beberapa terpidana korupsi mengaku setor hasil korupsi ke partai politik. MK bisa membubarkannya.
Kasus korupsi yang membelit pengurus teras Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), membuat banyak orang berpikiran: kedua partai itu pantas dibubarkan. Di beberapa negara, partai politik yang terbukti menerima uang hasil korupsi, sudah pasti dibubarkan; setidaknya dibekukan, atau tidak boleh mengikuti pemilu.
Tidak usah jauh-jauh ke Eropa atau Amerika, di Thailand beberapa kali Mahkamah Konstitusi membubarkan partai politik yang terbukti menerima dana ilegal. Yang paling ramai diberitakan adalah pembubaran Partai Thai Rak Thai yang menjadi kendaraan politik Thaksin Shinawatra untuk menjadi perdana menteri 2001-2006.
Jika menerima dana ilegal sebagai dasar pembubaran partai politik, sesungguhnya yang pantas dibubarkan tidak hanya PD dan PKS, tetapi juga partai-partai politik lain. Coba buka kembali pengakuan para terpidana korupsi mereka mengumpulkan uang untuk membiayai partai dalam memenangkan pemilu.
Tetapi mengapa tidak ada satu pun partai politik Indonesia yang dibubarkan, meskipun banyak tersangka, terdakwa, bahkan terpidana telah menyetor uang haram ke partai politik? Mengapa hanya orang per orang pengurus partai yang jadi korban, sementara partainya sendiri masih aman-aman saja?
Jangankan partai politik, puncak pimpinan partai saja tidak terkena, (kecuali mereka terlibat langsung seperti Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng) meskipun kesaksian menunjukkan penerimaan dana haram oleh partai politik diketahui oleh pimpinan puncak partai politik. Bukan hanya diketahui, merekalah yang justru mengarahkan anak buahnya untuk menjarah dana haram.
Mau tidak mau kita harus melihat bagaimana hukum mengatur soal ini. Dalam hal ini bisa diperhatikan ketentuan undang-undang partai politik (UU No 2/2008 dan UU No 2/2011), serta undang-undang pemilu legislatif (UU No 8/2012, UU No 10/2008 dan UU No 12/2003).
Dalam UU No 2/2008 disebutkan, partai politik bisa dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apabila terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan dan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.
Masalahnya tidak mudah bagi MK untuk mengidentifikasi soal itu. Lagi pula siapa yang harus mengadukan ke MK, karena tanpa pengajuan gugatan ke MK, MK tidak bisa melakukan apa-apa. Sebab, sebagai lembaga peradilan, MK bersikap pasif: menunggu pihak minta keadilan; sekaligus aktif: tidak bisa menolak mengadili jika ada yang minta.
Selanjutnya perhatikan UU No 8/2012 atau undang-undang pemilu sebelumnya. Di sana terdapat larangan partai politik menerima dana kampanye dari sumber-sumber terlarang: APBN/APBD, BUMN/BUMD, dari pihak asing, dan dari pihak yang tidak jelas identitasnya. Namun partai yang menerima dan menggunakan dana tersebut, mereka hanya diminta untuk mengembalikan ke kas negara. Tidak ada sanksi apapun.
Selain itu, partai peserta pemilu juga dilarang menerima sumbangan dana kampanye dari perseorangan dan perusahaan yang melebihi batas yang telah ditentukan. Namun sanksi bagi partai yang menerima sumbangan melebihi batas juga tidak tegas. Malah yang memberi sumbangan yang diancam hukuman pidana.
Di beberapa negara terdapat ketentuan, partai politik yang menerima sumbangan dari sumber-sumber terlarang dan atau menerima sumbangan melampaui batas, dikenakan sanksi tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya. Selain itu, perolehan suara dari pemilu yang sedang berlangsung bisa dikurangi.
Namun ketentuan macam itu, tidak ada di undang-undang partai politik maupun undang-undang pemilu yang sedang berlaku. Oleh karena itu, bisa dipahami setiap menjelang pemilu, partai politik berusaha melahap sebanyak-banyaknya dana dari siapa saja, kapan saja, di mana saja. Yang penting cash dan tidak tercatat di rekening maupun pembukuan partai resmi.
Dalam kondisi demikian, maka secara undang-undang, tidak perlu memupuk harapan untuk membubarkan partai politik pelahap dana haram. Namun jika mengacu ke UU No 2/2008 sesungguhnya terbuka ruang interpretasi buat MK untuk membubarkan partai yang diduga melahap dana haram. Masalahnya kini, siapa yang akan mengajukan gugatan ke MK?