Mempertanyakan integritas tokoh masyarakat sipil
Setelah generasi Gus Dur, Amien Rais, dan Buyung pensiun, tak ada lagi tokoh masyarakat sipil tangguh.
Yang saya maksud dengan tokoh masyarakat sipil di sini adalah mereka yang dibesarkan di lingkungan masyarakat sipil: organisasi berbasis massa, seperti NU dan Muhammadiyah, atau organisasi berbasis kerja atau isu, seperti organisasi profesi, LSM dan kampus. Bukan tokoh yang dibesarkan birokrasi dan militer.
Partai politik dan komunitas bisnis juga melahirkan pemimpin sipil. Tetapi dalam analisis sosiologi-politik, mereka dibedakan dari pemimpin yang dihasilkan masyarakat sipil. Orientasi elit politik dan bisnis jelas, kekuasaan dan keuntungan; sedangkan orientasi pemimpin masyarakat sipil adalah kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, dalam negara demokrasi, masyarakat sipil sering jadi penyeimbang sekaligus kontrol sepak terjang entitas politik dan bisnis. Sebab, dua yang terakhir ini cenderung memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan sendiri. Padahal tujuan negara adalah melindungi dan menyejahterakan rakyat.
Peran penting masyarakat sipil tak terelakkan, manakala entitas politik dan bisnis bersekongkol menguasai negara, dan mengabaikan kepentingan rakyat. Di sini berlaku rumus: jika masyarakat sipil lemah, maka negara akan jadi bancakan entitas politik dan bisnis. Bukankah Anda sudah merasakan hal itu, kini dan di sini?
Pada zaman Orde Baru, masyarakat sipil tampak kuat, setidaknya tampak menonjol dalam menghadapi rezim militer-birokratik. Partai politik dan komunitas bisnis dibuat tidak berkutik oleh rezim, sehingga masyarakat sipil, atas dukungan media massa, seakan menjadi satu-satunya kekuatan yang berani melawan rezim.
Maka lahirlah tokoh masyarakat sipil, seperti Gus Dur (NU), Amien Rais (Muhammadiyah), Adnan Buyung Nasution (YLBHI), Zoemrotin (YLKI), Asmara Nababan (Infid), Munir (Kontras), Teten Masduki (ICW), dll. Ini belum termasuk puluhan profesor doktor kampus yang rajin mengembangkan wacana keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Mereka itulah yang bergulat melawan kesewenangan rezim Orde Baru, sehingga wajar saja saat Orde Baru jatuh, mereka berperan penting mengawal pemerintahan reformasi. Belajar dari sejarah, mereka mengusung gagasan membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat DPR melalui perubahan konstitusi.
Mereka mengusulkan pembentukan lembaga tambahan negara (the auxiliary state agency) guna menghindari penumpukan kekuasaan di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Maka lahir dan berkembanglah berbagai komisi negara: Komnas HAM, KPU, KPK, KPPU, KPI, KIP, LPSK, dll, yang kini jumlahnya mencapai 30-an.
Karena tujuan pembentukan komisi-komisi negara itu adalah mengimbangi dan mengontrol legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka masuk akal bila entitas politik tidak diperkenankan masuk ke sana. Biarlah komisi negara itu diisi oleh orang-orang nonpartai, tokoh-tokoh independen, sehingga komisi-komisi negara itu kadang kala juga disebut komisi negara independen.
Siapa orang-orang nonpartisan, nonpartai, dan independen itu? Ya, tidak lain adalah tokoh-tokoh masyarakat sipil, yakni mereka yang tumbuh dan dibesarkan di lingkungan organisasi masyarakat sipil, seperti organisasi massa, organisasi profesi, LSM, dan tentu saja kampus.
Kini, setelah 14 tahun Orde Baru berlalu; setelah generasi Gus Dur, Amien Rais, Adnan Buyung, Zoemrotin, dan Asmara, mulai pensiun; komisi-komisi negara itu mulai diduduki tokoh-tokoh masyarakat sipil generasi baru. Banyak di antara kita yang tidak mengenali mereka, karena kepemimpinan mereka tumbuh di alam bebas dan tidak menjadi perhatian media massa.
Kita tidak mengenali lagi, siapa-siapa yang menjadi anggota Komnas HAM baru, sampai media memberitakan mereka sedang rebutan jabatan dan fasilitas. Sampai kini, kita tetap prihatin melihat anggota KPI tidak berdaya menghadapi acara televisi yang merusak akal sehat. Periode lalu, kita terhenyak ketika anggota KPU tergagap-gagap menyelenggarakan pemilu. Dan masih banyak lagi.
Apakah ini pertanda masyarakat sipil gagal melahirkan pemimpin-pemimpin tangguh? Apa jadinya demokrasi kita nanti jika masyarakat sipil lemah, mengingat pada saat yang sama partai politik banyak memproduksi koruptor?