Mengenang Emon, Kabayan, dan Kang Bahar
Stanislavski mengatakan, keberhasilan seorang aktor diukur dari caranya menyatukan diri ke dalam peran si tokoh.
Saya termasuk pengagum Didi Petet. Mendengar namanya, ingatan saya seperti ditarik-tarik mundur dua dasawarsa lalu. Sepupu perempuan saya di desa, selepas sekolah ngerumpi bareng teman-temannya di emperan rumah bercerita tentang film remaja 'Catatan Si Boy'. Selain aktor utamanya ganteng, maksud saya Si Boy--yang diperankan Onky Alexander--itu juga ada aktor pembantu yang tingkahnya ganjil, si Emon, sahabat Boy, yang kemayu.
Saat itu lah saya mendengar nama Didi Petet pertama kali. Mendengar lewat kasak-kusuk anak-anak desa yang tahu lewat televisi dan layar tancap setiap acara sunatan atau pernikahan. Sezaman dengan cerita Emon, sebenarnya ada juga nama pelawak ludruk, Tessy, yang tingkahnya juga kemayu. Bedanya, waktu itu Tessy masyhur sebagai nama panggung pelawak ludruk, sementara Emon sebagai lakon film.
Tetapi yang selanjutnya nama Emon justru seperti menjadi kutukan, begitu juga nama Tessy. Bila ada anak yang takut diajak mencuri mangga misalnya, pasti dibilang 'ah dasar kamu Emon'. Aneh, julukan Emon mendadak seperti mengguyur kampung saya sebagai julukan bagi anak lelaki yang dianggap kurang maskulin.
Tentang Didi Petet ini, penilaian saya berubah seratus delapan puluh derajat ketika melihat film 'Si Kabayan'. Akting Didi Petet di film ini berbeda. Karakter Emon dan Kabayan sangat kontras. Kabayan di sini tidak kemayu, tetapi benar-benar berperilaku normal seperti pria pada umumnya, meskipun sekali lagi, Kabayan juga kurang maskulin. Dia digambarkan sebagai pria lugu, ndeso, bahkan terkadang tampil kocak.
Lewat peran sebagai Emon dan Kabayan itu saya semakin akrab dengan nama Didi Petet. Saya tak ragu menyebutnya sebagai artis langka karena keorsinilannya itu. Dia artis all around atau serba bisa dalam berperan dengan voltase suara yang konstan, sesuai peran. Saya juga jarang melihat film yang dia perani mengeksploitasi kesedihan atau kengerian. Dan film-film yang berikutnya mengukuhkan penilaian saya seperti itu. Didi Petet diterima di segala umur.
Di kantor saya bekerja, setiap sore teman-teman selalu heboh menonton sinetron 'Preman Pensiun'. Ada tokoh protagonis dalam sinetron itu bernama Kang Bahar, diperankan oleh Didi Petet. Dia digambarkan sebagai bos preman yang dalam aktingnya kurang sangar, tetapi tegas dan berwibawa. Perlahan-lahan dia meninggalkan bisnis hitamnya sebagai penguasa pasar dan terminal.
Saya termasuk bagian dari orang-orang yang heboh saban sore itu ketika sinetron diputar. Bukan hanya karena alur atau plot ceritanya yang apik dengan bumbu kejenakaan dan dialog yang syarat pesan sosial, tetapi juga karena di sana ada Didi Petet. Di film ini, Didi Petet sama sekali berbeda. Kang Bahar yang dia perankan sangat dingin dan jarang tertawa, tidak seperti Emon atau Kabayan.
Contoh tiga film itu bagi saya cukup untuk menyebut Didi Petet sebagai salah satu legenda film nasional. Dia total dalam berperan; permainan gesture (gerakan wajah, tangan, kaki) sesuai naskah; sikap, dialog, artikulasinya juga pas.
Konstantin Stanislavski, seorang inovator seni teater dan peran asal Rusia mengatakan, keberhasilan seorang aktor diukur dari caranya menyatukan diri ke dalam peran si tokoh yang akan ia mainkan. Hal itu menjadi penting karena 'kondisi batin' yang diciptakan inilah yang kelak akan menghasilkan permainan yang kaya dan kreatif.
Maka kemudian seni akting ala Stanislavski itu muncul dengan menekankan bagaimana seorang artis terbawa ke dalam keseluruhan pemain dengan mempertunjukkan gaya penampilan artistik. Ia menjelma menjadi makhluk yang mampu menghayati perannya secara total dan tanpa disadari gerakannya sesuai dengan gerak tokoh yang dimainkan.
Teori Stanislavski itu tidak lah mudah. Tetapi Didi Petet, dalam tiga film itu saya anggap sukses menyuguhkan permainan gesture dengan tepat. Jiwanya seperti melebur (fuse) dengan tokoh yang diperankan. Dari puluhan film yang dibintanginya, saya memang belum menonton semuanya. Tetapi kisah Emon, Kabayan, dan Kang Bahar, akan selalu menjadi kenangan bagi saya dan para penikmat aktingnya.
Ada puluhan film yang dibintangi pemilik nama asli Didi Widiatmoko ini. Misalnya film pertama; Semua Karena Ginah (1985), Catatan Si Boy (1987), Namaku Joe (1988), Gema Kampus 66 (1988), Si Kabayan Saba Kota (1989), Petualangan Sherina (2000), Pasir Berbisik (2001), Arisan! (2003), Eiffel I'm in Love (2003), Ketika Cinta Bertasbih (2009), dan film terakhirnya Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015).
Dan kemarin, saya membaca berita Didi Petet berpulang karena penyakit lambung. Saya tercenung sejenak. Pikiran saya langsung melayang, nostalgia dengan film-film lama yang pernah dia bintangi. Kesimpulan saya satu, Didi Petet layak menjadi seorang legenda.
Selamat jalan Emon, Kabayan dan Kang Bahar.