Mengenang Tragedi Lengkong
"Ini makam Daan Mogot dan para taruna. Mereka pahlawan di perang Lengkong dulu," kata Jari.
Suasana sepi begitu terasa ketika memasuki Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna, Tangerang Selatan Sabtu pekan lalu. Daun-daun pohon yang gugur memenuhi areal pemakaman. Makam-makam itu ditata rapi. Di atasnya terdapat topi baja putih milik para pahlawan.
Di Taman Makam Pahlawan ini berbaring abadi jasad ke-48 pasukan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan taruna muda dari Akademi Militer (Militaire Academie) Tangerang dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot. Ketika gugur, Mayor Daan Mogot baru berusia 17 tahun dan sedang melaksanakan tugas di Desa Lengkong, Tangerang Selatan. Peristiwa memilukan itu dikenal dengan sebutan Tragedi Lengkong.
"Ini makam Daan Mogot dan para taruna. Mereka pahlawan di perang Lengkong dulu," kata Jari, 52 tahun, juru makam di TMP Taruna ketika berbincang dengan merdeka.com, Sabtu pekan lalu.
Tragedi Lengkong merupakan salah satu bukti sejarah pergerakan pasukan Indonesia dalam merebut kemerdekaan sepenuhnya dari tangan Belanda. Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak serta-merta mengakui begitu saja kemerdekaan Indonesia. Pada 24 Januari 1946, Mayor Daan Jahja selaku Kepala Staf Resimen menerima informasi jika pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan hendak mengambil alih markas senjata Jepang di Lengkong. Agresi militer yang provokatif ini pun dikhwatirkan akan membahayakan kedudukan Resimen IV di Tangerang.
-
Kapan pertempuran besar di Surabaya yang menandai Hari Pahlawan? Dikutip dari laman semarangkota.go.id, sejarah singkat Hari Pahlawan 10 November dimulai saat pertempuran di Surabaya yang merupakan pertempuran besar antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Inggris pada 10 November 1945.
-
Kapan Hari Pahlawan diperingati di Indonesia? Setiap tanggal 10 November, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan.
-
Kapan makanan Padang mulai banyak di Jakarta? Warung makan Padang belum sebanyak setelah tahun 1970an. Makan makanan Padang bagi mahasiswa zaman itu, terasa mahal. Sekali-sekali saja,” beber Firman Lubis.
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Siapa yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional? Setelah kematiannya yang tragis, nama Amir Hamzah semakin semerbak di telinga masyarakat Indonesia. Ia juga diakui dan dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan dan Piagam Anugerah Seni. Sampai puncaknya, pada tahun 1975, nama Amir Hamzah ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Taman Makam Pahlawan Taruna Tangerang ©2016 Merdeka.com
Mayor Daan Jahja pun tak mau senjata tentara Jepang jatuh ke tangan NICA-Belanda. Untuk melakukan pengamanan, Mayor Daan Jahja memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang. Setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang, Letkol Singgih keesokan harinya, berangkatlah Mayor Daan Mogot dengan kekuatan 70 taruna dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, daam pasukan itu terdapat juga beberapa perwira yakni Mayor Wibowo,Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo dan Lettu Soetopo. Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo sendiri merupakan paman dari mantan Pangkostrad Letjen (purn) Prabowo Subianto.
"Mereka disuruh ke Lengkong untuk mengambil senjata dari tentara Jepang. Begitu yang saya dengar ceritanya," tutur Jari.
Awalnya pertemuan dengan pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayor Abe berjalan mulus. Bahkan tentara Jepang ini terkesan dengan cara Daan Mogot bersama kawan-kawannya. Adapun yang menemui Mayor Abe adalah Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan Alex Sajoeti, seorang taruna yang fasih berbahasa Jepang kala itu. Mayor Abe ternyata keberatan untuk memberikan begitu saja senjata. Dengan alasan belum mendengar perintah dari atasannya untuk pelucutan senjata, Abe meminta waktu tanpa menghentikan perundingan. Sementara perundingan berjalan, Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo ternyata sudah mulai para taruna untuk memasuki barak senjata Jepang.
Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana sumbernya. Letusan senjata itu pun disusul oleh rentetan senapan mesin pasukan Jepang. Dalam waktu singkat perang yang tak seimbang tak dapat dihindarkan. Sebagian tentara Jepang yang sudah menyerahkan senjatanya kembali merebut senjata dari para taruna. Dikisahkan Jari, terjadi lemparan granat dan pertempuran satu lawan satu menggunakan sangkur.
"Perang tidak seimbang, mereka hanya andalkan senjata seadanya. Lagian pada waktu itu mereka tidak bertujuan untuk berperang melawan Jepang," cerita Jari.
Melihat kejadian yang tak pernah terbayangkan itu, Mayor Daan Mogot keluar dari meja perundingan. Dia berusaha menghentikan pertempuran itu namun gagal. Tak lama kemudian mereka mengugurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong. Selain itu, faktor senjata menjadi salah satu kendala yang sangat berat. Para taruna belum terbiasa menggunakan senapan jenis caraben Terni. Ditambah lagi, sering kali peluru yang dimasukkan tidak sesuai dengan spesifikasi senjata sehingga menyebabkan macet saat dipakai.
Taman Makam Pahlawan Taruna Tangerang ©2016 Merdeka.com
Akhirnya, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira, yaitu Mayor Daan Mogot, Lettu Soebianto Djojohadikusumo, dan Lettu Soetopo meninggal dalam pertempuran Lengkong. Para taruna yang masih hidup disandera Jepang dan disuruh menggali kubur bagi teman-temannya yang meninggal. Mendengar kabar itu, Pimpinan Resimen Tangerang kemudian meminta izin kepada Jepang untuk mengambil jenazah para pejuang. Setelah diizinkan, jenazah-jenazah tersebut kemudian dikebumikan di dekat penjara anak-anak Tangerang.
Empat hari setelah Tragedi Lengkong tepatnya pada 29 Januari 1946, dilaksanakan pemakaman kembali ke-36 jenazah yang gugur dalam pertempuran itu. Seorang taruna bernama Soekardi yang mengalami luka berat ahhirnya menghembuskan napas di Rumah Sakit Tangerang.
TMP Taruna kini merupakan lokasi pemakaman ulang. Melalui Keppres RI No. 28/BTK/Tahun 1966 tentang Pemberian Tanda-Tanda Kehormatan tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1966, Presiden Soekarno menetapkan penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III untuk Mayor Daan Mogot dan Letkol Ignatius Slamet Riyadi atas jasa-jasa mereka terhadap negara dan khususnya Akademi Militer Tangerang.
Untuk mengenang Tragedi Lengkong, dibangun sebuah monumen yang terletak di Lengkong Wetan, Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan dengan sebuah rumah tua bercat hijau. Sementara itu di TMP Taruna dibangun pula sebuah monumen senada di mana tertulis kejadian Lengkong lengkap dengan nama-nama ke-48 pahlawan. Sedihnya, dari ke-48 nama ini, tiga pahlawan di antaranya tidak diketahui identitas mereka. Di batu nisan mereka hanya tertulis 'tak dikenal'.
Adapun di monumen TMP Taruna sebuah sajak diukir dengan rapi. Sajak itu dulunya berbahasa Belanda buatan Henriette Roland Holst ditemukan di saku seragam Lettu Soebianto Djojohadikusumo pada saat proses pemindahan makam dari Lengkong ke TMP Taruna. Sajak itu kemudian digubah ke dalam Bahasa Indonesia, bunyinya demikian:
Kami bukan pembina candi,
Kami hanya pengangkut batu,
Kamilah angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru,
Di atas kuburan kami telah sempurna.