Terungkap, Ini Jajanan Mahasiswa UI Tahun 1960-an
Mahasiswa zaman sekarang doyan nongkrong berjam-jam mengerjakan tugas di kafe. Menikmati kopi dan aneka makanan kekinian. Seperti apa di tahun 1960an?
Penulis: Arsya Muhammad
Tahun 1960an, Indonesia masih dipimpin Presiden Sukarno. Saat itu kondisi perekonomian sedang sulit. Jangan harap restoran, rumah makan atau ragam kuliner selengkap sekarang.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Firman Lubis menceritakan bagaimana rasanya menjadi mahasiswa era Orde Lama. Termasuk kuliner langganan mahasiswa pada masanya kuliah dulu.
Ada beberapa kuliner yang menjadi langganan para mahasiswa FKUI yang kuliah di Salemba pada masa itu. Mulai dari soto daging atau gado-gado di Pasar Paseban. Ada juga restoran bakmi Mio-Seng di Jalan Salemba, atau ketoprak di Gang Tengah.
“Waktu itu belum banyak tempat makan yang bagus seperti sesudah tahun 1970an. Jenis makanannya pun masih terbatas dan cukup sederhana,” tulis Firman Lubis dalam buku Jakarta 1960an, Kenangan Semasa Mahasiswa yang diterbitkan Masup Jakarta.
-
Apa saja jajanan tahun 90-an yang hits? Bagi anak kelahiran tahun 1990-an, beberapa jajanan menjadi hits di eranya. Dijamin deh pasti kangen sama jajanan ini.
-
Apa inovasi kuliner mahasiswa UNY untuk Gen-Z? Mahasiswa adalah agen perubahan. Berbagai inovasi dilakukan para mahasiswa demi memberi perubahan di tengah masyarakat ke arah yang lebih baik. Hal itulah yang dilakukan para mahasiswa UNY ini. Mereka melakukan inovasi berupa makanan sehat yang memiliki kandungan gizi tinggi.
-
Dimana jajanan tahun 90-an biasa dijual? Hampir semua anak SD tahun 90-an tahu betapa terkenalnya mi instan anak mas dan mi gemez.
-
Bagaimana jajanan tahun 90-an menarik perhatian anak? Beberapa merek makanan itu mendominasi dan hampir semua anak SD menggemarinya.
-
Apa camilan untuk kopi di zaman dulu? Jika orang jaman dahulu minum kopi bersanding dengan ubi rebus, pisang goreng atau singkong rebus.
-
Siapa yang sering mentraktir mahasiswanya? Hanya sedikit orang yang menyadari bahwa Marissa merupakan dosen yang sangat dicintai oleh para mahasiswanya. Salah satu penyebabnya adalah selama berprofesi sebagai dosen, Marissan terkenal sebagai pribadi yang dermawan dan kerap menjamu mahasiswanya.
Di tahun 1960an, warteg, soto atau sate madura, bakso, dan siomay, masih jarang ditemui. Tenda-tenda yang menyediakan pecel lele, atau ayam goreng, masih bisa dihitung dengan jari.
“Walau hanya sepotong, makan ayam goreng sudah dianggap mewah pada masa itu,” kenangnya.
Makanan Padang Mahal
Saat ini, rumah makan Padang menjamur di Jakarta. Mulai dari warung makan dengan paket murah Rp 10.000 hingga restoran yang mematok harga ratusan ribu per porsinya. Nah, di tahun 1960an, ternyata rumah makan Padang masih langka. Harganya pun cukup mahal untuk kalangan mahasiswa.
“Warung makan Padang belum sebanyak setelah tahun 1970an. Makan makanan Padang bagi mahasiswa zaman itu, terasa mahal. Sekali-sekali saja,” beber Firman Lubis.
Kue kegemaran mahasiswa pada masa itu adalah kue pancong. Kue ini terbuat dari adonan tepung yang dicampur gula dan kelapa. Cara memasaknya, adonan dimasukan dalam cetakan, dan setelah matang diangkat dengan kait besi seperti pancongan. Karena itu dinamakan kue pancong.
Harga kue ini cukup murah dan lumayan mengenyangkan untuk mahasiswa. Seperti makanan berat, pilihan kue pun terbatas di tahun 1960an. Aneka kue, cake, dan restoran siap saji belum bisa dibayangkan pada masa itu.
Kafetaria Kampus Jadi Andalan
Jajan di luar kampus seperti di atas, relatif jarang dilakukan mahasiswa FKUI ketika itu. Jadwal perkuliahan yang padat membuat mereka lebih sering makan di kafetaria atau kantin kampus.
Kafetaria ini dikelola oleh Senat Fakultas. Karena itu harga makanan bisa ditekan sesuai kantong mahasiswa. Pilihan makanannya pun cukup bervariasi.
“Ada gado-gado, sup, nasi rames, tahu dan tempe yang bisa diambil sendiri,” tuturnya.
Kantin ini menjadi andalan para mahasiwa untuk mengganjal perut di tengah-tengah perkuliahan.
Siapa yang sangka, anggota senat mahasiswa yang mengurusi makanan di kantin tersebut kelak menjadi seorang menteri.
“Yang mengurusi kafetaria saat itu Abdul Gafur, kemudian jadi Menpora di era orde Baru,” tutup Firman Lubis.