Mahasiswa zaman sekarang doyan nongkrong berjam-jam mengerjakan tugas di kafe. Menikmati kopi dan aneka makanan kekinian. Seperti apa di tahun 1960an?
Tahun 1960an, Indonesia masih dipimpin Presiden Sukarno. Saat itu kondisi perekonomian sedang sulit. Jangan harap restoran, rumah makan atau ragam kuliner selengkap sekarang. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Firman Lubis menceritakan bagaimana rasanya menjadi mahasiswa era Orde Lama. Termasuk kuliner langganan mahasiswa pada masanya kuliah dulu. Ada beberapa kuliner yang menjadi langganan para mahasiswa FKUI yang kuliah di Salemba pada masa itu. Mulai dari soto daging atau gado-gado di Pasar Paseban. Ada juga restoran bakmi Mio-Seng di Jalan Salemba, atau ketoprak di Gang Tengah.
“Waktu itu belum banyak tempat makan yang bagus seperti sesudah tahun 1970an. Jenis makanannya pun masih terbatas dan cukup sederhana,” tulis Firman Lubis dalam buku Jakarta 1960an, Kenangan Semasa Mahasiswa yang diterbitkan Masup Jakarta.
Di tahun 1960an, warteg, soto atau sate madura, bakso, dan siomay, masih jarang ditemui. Tenda-tenda yang menyediakan pecel lele, atau ayam goreng, masih bisa dihitung dengan jari. “Walau hanya sepotong, makan ayam goreng sudah dianggap mewah pada masa itu,” kenangnya.
Saat ini, rumah makan Padang menjamur di Jakarta. Mulai dari warung makan dengan paket murah Rp 10.000 hingga restoran yang mematok harga ratusan ribu per porsinya. Nah, di tahun 1960an, ternyata rumah makan Padang masih langka. Harganya pun cukup mahal untuk kalangan mahasiswa. “Warung makan Padang belum sebanyak setelah tahun 1970an. Makan makanan Padang bagi mahasiswa zaman itu, terasa mahal. Sekali-sekali saja,” beber Firman Lubis.
Kue kegemaran mahasiswa pada masa itu adalah kue pancong. Kue ini terbuat dari adonan tepung yang dicampur gula dan kelapa. Cara memasaknya, adonan dimasukan dalam cetakan, dan setelah matang diangkat dengan kait besi seperti pancongan. Karena itu dinamakan kue pancong. Harga kue ini cukup murah dan lumayan mengenyangkan untuk mahasiswa. Seperti makanan berat, pilihan kue pun terbatas di tahun 1960an. Aneka kue, cake, dan restoran siap saji belum bisa dibayangkan pada masa itu.
Jajan di luar kampus seperti di atas, relatif jarang dilakukan mahasiswa FKUI ketika itu. Jadwal perkuliahan yang padat membuat mereka lebih sering makan di kafetaria atau kantin kampus. Kafetaria ini dikelola oleh Senat Fakultas. Karena itu harga makanan bisa ditekan sesuai kantong mahasiswa. Pilihan makanannya pun cukup bervariasi. “Ada gado-gado, sup, nasi rames, tahu dan tempe yang bisa diambil sendiri,” tuturnya.
Kantin ini menjadi andalan para mahasiwa untuk mengganjal perut di tengah-tengah perkuliahan. Siapa yang sangka, anggota senat mahasiswa yang mengurusi makanan di kantin tersebut kelak menjadi seorang menteri. “Yang mengurusi kafetaria saat itu Abdul Gafur, kemudian jadi Menpora di era orde Baru,” tutup Firman Lubis.
Seorang mahasiswa berinisial SS menjadi korban pembacokan oleh orang tak dikenal (OTK) di kawasan Cipayung, Jakarta Timur, Senin (26/8) malam.
Peristiwa tersebut terjadi saat mahasiswa baru Sekolah Vokasi Undip mengikuti kegiatan pengenalan di kampus.
Pemberian makanan bergizi gratis kepada siswa sekolah dasar itu merupakan kerja sama antara Pemprov DKI dengan BUMD PAM Jaya.
Dari informasi yang dihimpun ada belasan mahasiswa Undip yang mengalami keracunan setelah memakan katering saat orientasi studi dan pengenalan kampus.
Ati berharap jika program ini benar berjalan maka jenis makanan diharapkan semakin variatif.
Keterlibatan UMKM hingga warung sekitar sekolah bertujuan untuk memastikan kegiatan bisnis tetap terjaga.
Kopi dan jenis kafein lain sebaiknya dihindari untuk dikonsumsi pada saat cuaca sedang panas.
Menyesap kopi dan menyantap jajanan di warung Abah Unang menawarkan pengalaman mirip negeri di atas awan.
Menu makannya tidak hanya terdiri dari nasi dan lauk.
Bukan hanya mengolah biji kopi, namun mengenali karakter susu juga menjadi hal yang krusial dalam berkreasi karena susu memegang peranan penting.
"Untuk mengelola kafe, saya dibantu oleh 5 karyawan. Sedangkan pengelolaan kebun kopi dibantu 3 orang," kata Deni.
Budaya ngopi orang Aceh sendiri sudah ada sejak tahun 1980-an yang identik dengan bapak-bapak yang duduk di warung kopi.