Menggali dan menyemai kebajikan Pancasila dalam keluarga
Sekolah gagal menghasilkan pribadi baik. Inilah tantangan nyata revolusi mental.
Mengikuti berita aksi-aksi teroris di Prancis dan negara-negara Eropa dua bulan terakhir, rasanya wajar saja kalau kita ikut was-was menjelang Natal 2015. Apalagi di sana sini juga terbetik berita polisi kontak senjata dengan kelompok teroris. Kita semua tidak ingin serentetan bom malam Natal 2000 terulang kembali.
Alhamdulillah, puji Tuhan. Perayaan Natal tahun ini berlangsung lancar, dan aman. Polisi sudah meningkatkan kewaspadaan dan penjagaan. Seperti biasa, barisan GP Anshor dan beberapa ormas pemuda Islam lainnya ikut mengamankan jalannya kegiatan gereja.
Natal 2015 ini memang istimewa. Sehari sebelum umat Kristiani merayakan lahirnya Yesus Kristus, Kamis 24 Desember 2015, umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad. Perdebatan boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal di media sosial lenyap disapu oleh ramainya ucapan selamat Maulid dan selamat Natal sekaligus. Suasana toleransi dan kebersamaan benar-benar terasa.
Majelis Rasulullah, yang biasa menggelar peringatan Maulid Nabi di Masjid Istiqlal hingga jam 12.00 malam, kali ini mengubah jadwal. "Kami menghormati umat Kristiani yang akan menjalankan ibadah misa Natal nanti malam, maka kami mengadakan Maulid Nabi di pagi hari," kata Habib Nabil, Dewan Syuro Majelis Rasulullah.
Indonesia memang dikenal sebagai bangsa toleran. Ini bisa dilacak dari masuknya berbagai macam agama dan ideologi ke Nusantara, nyaris tanpa kekerasan. Sikap terbuka dan bersedia menerima perbedaan pandangan, merupakan perwujudan dari nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan yang sudah mendarah daging di masyarakat.
Memang kita sempat dibelenggu feodalisme yang meninggikan sedikit orang dan merendahkan sebagian besar orang selama beratus-ratus tahun sebagaimana pernah terjadi di wilayah manapun di dunia ini. Namun nilai-nilai agama yang memuliakan manusia di satu pihak; dan pengalaman dijajah oleh bangsa Eropa, di lain pihak; menjadikan kesetaraan dan kebersamaan berubah menjadi prinsip membangun bangsa dan negara merdeka.
Bangsa ini memang tidak sepi dari konflik dan kekerasan yang menelan korban jiwa dan harta tidak sedikit. Dipicu oleh sentimen politik atau dilatari oleh kesenjangan ekonomi, perbedaan keyakinan, warna kulit, suku dan adat istiadat serta daerah, bisa berubah menjadi baku bunuh. Peristiwa Kalteng 1997, Jakarta 1998, Maluku 2000, Tolikara 2015, dan beberapa yang lain, tidak hanya membuat trauma bangsa, tetapi juga menjadi pelajaran sangat berharga agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
Sementara itu, dalam kehidupan sehari-hari peristiwa kekerasan dari seorang ke seorang masih terus terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak, angkanya tidak pernah turun. Demikian juga dengan kekerasan yang oleh sekelompok orang: kawanan begal, geng motor, hingga ormas berbendera agama/etnis dan ormas sayap partai politik. Semua itu tentu sangat memprihatinkan.
Meniti soal toleransi, kesetaraan dan kebersamaan, serta membandingkan dengan beberapa peristiwa kekerasan masyarakat, komunitas, maupun individu, mengingatkan saya pada pesan Gus Sholah, panggilan Sholahudin Wahid, dalam sebuah diskusi awal Desember lalu.
Atas banyaknya peristiwa kekerasan yang terjadi di negeri ini, Gus Sholah melihat ada yang salah dalam sistem pendidikan kita: sekolah gagal menghasilkan orang-orang berkepribadian baik. "Di sinilah pentingnya pendidikan keluarga. Nilai-nilai kebaikan akan efektif jika disemai di lingkungan keluarga. Nilai-nilai kebajikan Pancasila harus terus digali dan ditanamkan di keluarga," tegas Gus Sholah.
Pernyataan Gus Sholah mengingatkan saya dengan pengalaman masa kecil saat mana bapak dan ibu menanamkan nilai-nilai tersebut. Mulai dari mengajari, "jika kamu merasa sakit dicubit, maka jangan mencubit teman," lalu, "jangan berebut ambil makanan, dibagi rata agar semua kebagian," sampai dengan "kalau ada masalah bersama, bicarakan baik-baik, pasti ketemu jalan keluarnya." Tentu saja penanaman nilai-nilai itu harus disertai laku tauladan orangtua sehari-hari.
Melalui bukunya "Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan," Yudi Latif berhasil merekam nilai-nilai kebajikan Pancasila dari para pendiri bangsa. Melanjutkan apa yang sudah dimulai Yudi Latif, kita harus menyelesaikan dua tantangan ini: pertama, mencatat dengan nilai-nilai kebajikan Pancasila yang hidup di masyarakat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke; kedua, menanamkan nilai-nilai kebijakan tersebut di tengah-tengah keluarga Indonesia. Inilah kegiatan kongkret revolusi mental.