Pandemi Usai, Harga Pangan Melonjak
Aktivitas ekonomi dunia mulai bergerak setelah dihantam badai pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir. Arus ekspor-impor antarnegara meningkat.
Aktivitas ekonomi dunia mulai bergerak setelah dihantam badai pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir. Arus ekspor-impor antarnegara meningkat. Namun, pasokan dan jalur distribusi yang belum pulih sepenuhnya menimbulkan ancaman baru. Harga komoditas melonjak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, naiknya harga komoditas seperti minyak bumi, gas, batu bara, nikel, hingga CPO (crude palm oil) sebenarnya menambah penerimaan negara. Tapi, di sisi lain masyarakat akan merasakan efek dari inflasi global tersebut. Terutama dari kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang bersumber dari impor.
-
Di mana harga bahan pangan di pantau? Situs Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Rabu 21 Februari 2024 pukul 13.00 WIB menunjukkan kenaikan harga beberapa bahan pangan, terutama beras dan cabai rawit merah.
-
Kapan harga bahan pangan di Jakarta terpantau naik? Situs Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Rabu 21 Februari 2024 pukul 13.00 WIB menunjukkan kenaikan harga beberapa bahan pangan, terutama beras dan cabai rawit merah.
-
Kapan harga ayam potong mulai naik? Menurut salah seorang pedagang di sana, harga ayam potong mengalami kenaikan hingga Rp8 ribu per kilogramnya. Sebelum berada di angka Rp40 ribu, ayam potong masih stabil di Rp32 ribu per kilogram. "Sebelumnya harga ayam potong Rp32 ribu per kilogram (kg), namun saat ini mencapai Rp40 ribu per kilogram," kata salah seorang pedang, Yayan, mengutip ANTARA.
-
Apa yang dijual di Pasar Pakelan? Selain Haniq, ada pula Tawinem. Di pasar itu ia membeli gorengan. "Di sini apa-apa Rp500-an. Ini puli pecel, bahannya dari beras," kata Tawinem.
-
Apa keunggulan pasir kucing wangi yang dijual dengan harga terjangkau? Cub n Kit Scented Cat Litter menawarkan pasir kucing wangi dengan kualitas premium dan harga terjangkau.
-
Mengapa harga kedelai impor kembali mengalami kenaikan? Harga kedelai impor kembali mengalami kenaikan dan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
"Dulu tantangan dan ancaman masyarakat adalah pandemi. Sekarang tantangan dan ancaman bagi masyarakat adalah kenaikan barang-barang tersebut," kata Sri Mulyani usai sidang Kabinet Paripurna tentang Antisipasi Situasi dan Perkembangan Ekonomi Dunia di Istana Negara, Jakarta, Selasa 5 April lalu.
Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, sudah menyiapkan beberapa langkah agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Tambahan penerimaan dalam APBN akan dialokasikan untuk menjaga momentum pulihnya aktivitas ekonomi. Salah satunya adalah program subsidi.
Presiden Jokowi sebelumnya telah menyampaikan bahwa pemerintah akan menyalurkan BLT (bantuan langsung tunai) minyak goreng kepada 23,5 juta penerima. Dana APBN yang disiapkan sebesar Rp6,9 triliun. Kemudian, bagi para pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta per bulan, subsidi upah akan diberikan kepada 8,8 juta penerima. Anggaran yang disiapkan sebesar Rp8,8 triliun.
Sementara bagi pelaku usaha mikro, program bansos produktif dengan anggaran Rp7,2 triliun akan dikucurkan kepada 12 juta penerima yang masing-masing mendapatkan bantuan Rp600.000.
Surplus Ekspor Tertinggi
Indikasi bergeliatnya aktivitas ekonomi ditandai dengan nilai ekspor Indonesia yang mengalami surplus pada bulan Februari 2022. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia meningkat tajam menjadi USD3,82 miliar pada Februari 2022 dari USD1,96 miliar pada Februari 2021.
Angka ini merupakan surplus perdagangan tertinggi sejak November 2021, di tengah kenaikan harga komoditas dan permintaan global yang kuat sebelum invasi Rusia di Ukraina pada akhir Februari.
BPS menjelaskan, ekspor nonmigas Februari 2022 mencapai USD19,47 miliar, naik 6,55 persen dibanding Januari 2022, dan naik 35,24 persen dibanding ekspor nonmigas Februari 2021.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Februari 2022 mencapai USD39,64 miliar atau naik 29,75 persen dibanding periode yang sama tahun 2021. Demikian juga ekspor nonmigas mencapai USD37,74 miliar atau naik 31,02 persen.
Peningkatan terbesar ekspor nonmigas Februari 2022 terhadap Januari 2022 terjadi pada komoditas bahan bakar mineral sebesar USD1.756,4 juta (141,45 persen), sedangkan penurunan terbesar terjadi pada besi dan baja sebesar USD372,9 juta (16,67 persen).
Sedangkan menurut sektor, BPS menyebut, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari-Februari 2022 naik 29,57 persen dibanding periode yang sama tahun 2021, demikian juga ekspor hasil pertanian naik 11,45 persen dan ekspor hasil tambang dan lainnya naik 42,84 persen.
Surplus perdagangan dari ekspor nonmigas Februari 2022 berasal paling besar dari Tiongkok yaitu USD3,72 miliar, disusul Amerika Serikat USD2,39 miliar, dan Jepang USD1,71 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 40,18 persen. Sementara nilai ekspor Indonesia ke ASEAN dan Uni Eropa (27 negara) masing-masing sebesar USD3,68 miliar dan USD1,58 miliar.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono dalam rilis kinerja ekspor dan impor Februari 2022, di Kantor Pusat BPS, Jakarta, 15 Maret lalu menjelaskan, nilai impor Indonesia Februari 2022 mencapai USD16,64 miliar, turun 8,64 persen dibandingkan Januari 2022 atau naik 25,43 persen dibandingkan Februari 2021.
Kenaikan terjadi pada impor migas Februari 2022 senilai USD2,90 miliar, naik 30,19 persen dibandingkan Januari 2022 atau naik 122,52 persen dibandingkan Februari 2021.
Sedangkan impor nonmigas Februari 2022 senilai USD13,74 miliar, turun 14,05 persen dibandingkan Januari 2022 atau naik 14,84 persen dibandingkan Februari 2021.
Penurunan impor golongan barang nonmigas terbesar Februari 2022 dibandingkan Januari 2022 adalah besi dan baja USD368,3 juta (27,13 persen). Sedangkan peningkatan terbesar adalah gula dan kembang gula USD117,8 juta (41,21 persen).
Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Februari 2022 adalah Tiongkok USD10,48 miliar (35,27 persen), Jepang USD2,54 miliar (8,55 persen), dan Thailand USD1,97 miliar (6,62 persen). Impor nonmigas dari ASEAN USD5,31 miliar (17,87 persen) dan Uni Eropa USD1,69 miliar (5,68 persen).
Neraca perdagangan Indonesia Februari 2022 mengalami surplus USD3,82 miliar terutama berasal dari sektor nonmigas USD5,73 miliar. Sedangkan di sektor migas terjadi defisit USD1,91 miliar.
Dampak Perang Rusia-Ukraina
Dalam penjelasannya, BPS mengindikasikan bahwa perang Rusia-Ukraina memiliki dampak perdagangan langsung yang sangat terbatas terhadap ekonomi terbesar di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Namun demikian, apabila perang berlanjut dalam jangka waktu yang lebih lama, kenaikan angka inflasi secara global diperkirakan akan meningkat tajam akibat terganggunya stok sejumlah komoditas.
Meski begitu, mengingat Indonesia adalah negara pengekspor komoditas seperti batu bara, kelapa sawit, minyak bumi, hingga nikel, BPS menyebut dampaknya akan terbatas. Neraca perdagangan Indonesia dalam jangka menengah diperkirakan masih akan mengalami surplus.
Kepala Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Wahyu Utomo yang dihubungi merdeka.com pekan lalu menjelaskan, perang Rusia-Ukraina secara geopolitik berimplikasi terhadap harga komoditas sektor energi dan pangan.
Efeknya terhadap APBN, harga komoditas yang naik akan menyebabkan inflasi naik. The Fed (Bank Sentral AS) akan melakukan moderasi sehingga terjadi pengetatan moneter. "Dengan pengetatan moneter, likuiditas berkurang. Maka kalau kita menerbitkan yield juga agak kurang (laku)," ujar Wahyu.
"Jadi tantangan kita ini ada dua. Tantangan kenaikan harga komoditas dan potensi untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan ini agak mahal," tukasnya.
Wahyu menambahkan, kenaikan harga komoditas akan membuat pendapatan negara naik dari pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Demikian juga tambahan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam juga naik.
"Cuma di sisi lain, belanja negara juga naik, terutama untuk subsidi energi, kepentingan kompensasi dan dana bagi hasil juga naik," jelasnya.
Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah berisiko mengeluarkan dana sebesar Rp320 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi akibat kenaikan harga minyak dunia.
"Kalau harga minyak dunia bertahan di level sekarang, pemerintah berisiko mengeluarkan dana Rp320 triliun untuk subsidi dan kompensasi BBM dan elpiji. Itu belum termasuk listrik, mungkin listrik tidak sebesar itu," ujarnya seperti dilansir dari Antara, Minggu (17/4).
Berdasarkan asumsi APBN, saat ini harga minyak mentah Indonesia atau ICP hanya dipatok sebesar 63 dolar AS per barel dengan perhitungan alokasi subsidi dan kompensasi BBM dan elpiji sekitar Rp130 triliun.
Adapun harga minyak mentah yang kini bertengger di atas 100 dolar AS membuat pemerintah harus menyiapkan kembali dana tambahan sebesar Rp190 triliun untuk subsidi energi. Menteri Arifin mengingatkan bahwa saat ini harga jual BBM dan elpiji bersubsidi telah berada jauh dari harga keekonomian.
Dia mengimbau masyarakat untuk menggunakan bahan bakar yang sesuai dengan kemampuan, sehingga alokasi subsidi BBM dan elpiji tidak tergerus dan penyalurannya lebih tepat sasaran.
"Penyalahgunaan BBM subsidi akan menambah beban keuangan negara. Masyarakat diminta ikut mengawasi dan melaporkan apabila menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran dan pemakaian BBM subsidi," tegas Arifin.
Menjaga Pemulihan Ekonomi
Demi menjaga agar kenaikan harga-harga komoditas tidak menghambat pemulihan ekonomi, Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu Wahyu Utomo mengatakan, kebijakan fiskal yang diterapkan APBN harus dapat menjadi peredam yang menyerap dampak yang timbul.
Pemerintah harus melindungi masyarakat miskin dan rentan. Salah satunya lewat BLT minyak goreng dalam konteks untuk menjaga daya beli. Di sisi lain, kata Wahyu, pemerintah juga konsisten menjaga fiskal semakin sehat dengan konsolidasi 2023 defisitnya di bawah 3 persen.
Meski kasus Covid-19 mulai menurun, Wahyu menjelaskan, APBN tetap menganggarkan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). APBN tetap dijaga fleksibel mengantisipai munculnya kembali lonjakan kasus.
"Jadi jika kombinasi ini dijaga, maka harapannya di satu sisi bisa jaga stabilitas harga, mampu melindungi masyarakat rentan tapi APBN tetap sehat. Dan bisa dilakukan konsolidasi secara smooth sampai 2023," jelasnya.
Sebelum Rusia menginvasi Ukraina, badan PBB untuk urusan pangan dan pertanian (FAO) merilis data kompilasi harga pangan dunia yang mencapai rekor tertinggi pada Februari 2022 dengan kenaikan tahunan mencapai 20,7 persen. Lonjakan dipicu oleh harga minyak nabati dan produk susu.
Dikutip dari Reuters, Ekonom FAO Upali Galketi Aratchilage mengungkapkan kondisi panen dan ketersediaan ekspor menjadi sebagian faktor pemicu kenaikan harga pangan global.
Khudori, Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan yang juga pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengatakan, situasi dunia saat ini belum betul-betul bebas dari pandemi. Negara-negara produsen pangan belum sepenuhnya pulih.
Menurutnya, Indonesia yang bergantung pada impor akan terpengaruh pada instabilitas harga. Untuk itu, dia mengingatkan pemerintah agar mengatur waktu yang tepat untuk melakukan impor komoditas agar pasokan terjaga.
"Tergantung bagaimana kita atur impor itu. Kalau enggak harga akan tinggi. Harga tinggi ini juga dipengaruhi harga luar, kecuali pemerintah kasih subsidi komoditas. Kalau enggak ada, kita akan ikut harga dunia," ujarnya kepada merdeka.com.
Salah satu kegagalan pemerintah yang disorot Khudori adalah kasus kelangkaan minyak goreng. Upaya pemerintah membuat regulasi tidak berhasil dan akhirnya menyerahkan kembali kepada mekanisme pasar. "Ada kebijakan yang dapat perlawanan pasar, yang disebut pemerintah kalah," ujarnya.
Selain CPO, Khudori juga menyinggung soal produksi unggas. Peternak kecil selama ini menjadi korban karena pasokan yang berlebih tidak diimbangi dengan pengembangan produk hilir. "Ini masalahnya bukan tergantung impor, produksi juga bermasalah karena regulasi," katanya.
Sedangkan Ekonom INDEF Eko Listyanto menilai resesi menuju pemulihan setelah pandemi akan diikuti dengan kenaikan harga. Selama pandemi ekonomi lesu dan kini tiba-tiba meningkat karena permintaan yang tinggi.
"Ini secara natural saja. Tanpa ada perang saja atau gangguan saja, ini ada kenaikan permintaan dari masyarakat. Apalagi penurunan ekonomi ini disengaja karena pandemi, dan ketika dibuka ini mendorong permintaan (meningkat)," ujarnya kepada merdeka.com.
Eko menekankan pada faktor gangguan distribusi yang berpengaruh besar ke pemulihan ekonomi. Saat pandemi, sistem logistik, gudang dan distribusi diefisiensikan. Saat sejumlah negara sudah pulih, beberapa negara lain belum dan membuat rantai distribusi tidak maksimal.
"Terjadi kelangkaan kontainer ini harus bisa diatasi. Ini yang bisa menentukan keterikatan dengan negara satu dengan lain semakin kencang hubungan dagangnya. Kalau mitra dagang kita belum pulih itu juga jadi masalah," jelasnya.
(mdk/bal)