Panen rezeki dari parkir kuda besi
Aparat keamanan dan otoritas pemerintah kerap minta jatah kepada pengelola. Permintaan mesti dituruti kalau tak ingin diganggu.
Ratusan motor berderet rapi di salah satu tempat penitipan di kawasan Stasiun KA Tebet, Jakarta Timur. Dua petugas, Ateng (43) dan Angga (40) terlihat sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk tiap menitnya. Setelah membayar sesuai tarif, pemilik motor meninggalkan parkiran tanpa takut kehilangan kendaraan mereka.
Lahan parkir yang dijaga Ateng dan Angga sekitar duapuluh meter jaraknya dari Stasiun KA Tebet. Padahal, di depannya sebuah parkiran tersedia di dalam areal Stasiun Tebet. Diakui keduanya, parkiran itu tak pernah sepi.
Bisnis lahan parkir menjadi potret umum yang sudah menjamur di wilayah Jakarta. Hampir di setiap sudut, pengguna kendaraan bermotor menemui tukang-tukang parkir yang berseliweran. Bisa dikatakan, wilayah ibu kota tak satu pun yang gratis. Tempat-tempat umum yang seharusnya bebas dari parkiran liar dialihfungsikan sebagai tempat meraup untung.
Salah satu lokasi yang kerap ditemui adalah lahan parkir di dekat stasiun-stasiun Kereta Api seperti yang dikelola Ateng dan Angga. Meski setiap stasiun disediakan lahan parkir, namun pengguna Commuter Line (CRL) dan Kereta Api masih mengandalkan lahan parkir berbayar.
Keberadaan lahan parkir ini diakui sangat membantu sekaligus sebagai solusi oleh kurangnya lahan parkir. Warga hanya cukup membayar sesuai tarif lalu kemudian menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada pengelola lahan parkir.
"Tarif parkir di dalam per jam. Kalau dihitung-hitung sangat mahal jika tiap hari, apalagi untuk ukuran mahasiswa seperti saya," ungkap Reno kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Reno merupakan salah satu pengguna jasa lahan parkir di sekitar Stasiun KA Tebet, Jakarta Timur. Tiap bulannya, Reno cukup membayar Rp 130 ribu kepada tukang parkir. Dibanding tarif per jam di dalam parkiran stasiun, Reno dan pengguna Commuter Line merasa sangar terbantu oleh adanya tempat penitipan motor. Harga sewa murah dan kendaraan mereka aman terjaga. "Di sini bayarannya murah dan sangat membantu," lanjut Reno.
Usaha lahan parkir Ateng dan Angga sudah berjalan dua tahun lebih. Lahan parkir dulunya merupakan bekas kantor sebuah organisasi. Karena sudah tidak digunakan lagi, Ateng pun berinisiatif menyewa lahan sebesar Rp 480 ribu tiap harinya. Untuk setiap motor dikenakan tarif Rp 5.000. Harga sewa itu mulai berlaku hingga pukul 24.00 WIB.
"Tarif itu juga tidak tentu meski kami pasang tarif Rp 5.000 hingga mereka pulang nantinya," kata Ateng.
Awetnya bisnis parkiran ini tak lepas adanya 'kerja sama' dengan petugas. Seperti diakui Ateng, tiap bulannya mereka menyetor kepada petugas, baik dari kepolisian maupun dari Dinas Perhubungan DKI. Setoran ini tentu menjadi pelicin meski tidak ada keharusan. "Kalau untuk polisi kami bayar Rp 150 tiap bulan, sedangkan untuk Dishub Rp 25 ribu setiap hari,".
-
Siapa yang memulai usaha peternakan di Jakarta Selatan? Hidup di perkotaan padat seperti Jakarta, hampir mustahil rasanya merintis usaha peternakan. Namun, hal yang tidak mungkin itu justru bisa dimentahkan oleh Abdul Latif.Dilansir dari akun youtube Naik Kelas, pria Betawi ini memilih usaha penggemukan atau peternakan sapi di Jalan Palem 2, Petukangan Utara, Jakarta Selatan.
-
Di mana Widodo merintis usaha kerajinan limbah kayu jati? Setelah pensiun tahun 1994, ia pindah ke Desa Tempurejo, Kabupaten Boyolali. Saat pensiun itulah Widodo merintis usaha kerajinan yang diolah dari limbah kayu jati.
-
Kapan Jalur Lingkar Barat Purwakarta dibangun? Sebelum dibangun jalan lingkar pada 2013, Kecamatan Sukasari yang berada paling ujung di Kabupaten Purwakarta aksesnya tidak layak.
-
Apa bisnis Dio Arli? Dari unggahannya beberapa tahun lalu, diketahui bahwa Dio adalah seorang juragan produk pertanian yang berlokasi di Banyuwangi.
-
Kapan Baihaki memulai bisnis lakbannya? Memasuki usia yang ke-29, Baihaki menjadi pekerja lepas sebagai sales di sebuah perusahaan sepeda motor.
-
Apa yang menjadi bisnis utama Haji Ismail di Indonesia? Seorang pria asal Mali, Afrika, rela jauh-jauh datang ke Indonesia untuk membuka sebuah usaha. Usaha yang dibuatnya adalah sate domba yang sangat khas dan hanya ada di Afrika.
"Awalnya tidak ada tapi setelah tempat ini ramai petugas masuk ke sini. Biasalah..." katanya.
Meski memberikan jatah kepada petugas, Ateng mengaku tidak merasa ada yang membekingi pekerjaannya. Dia tidak khawatir usahanya akan ditutup.
"Sejauh saya yakin tidak mengganggu lalu lintas saya akan tetap bekerja. Lagian di sini baik kok, tidak ada masalah," tuturnya.
Lahan yang dijaga Ateng dan Angga ini terdiri dari dua tempat. Satu di depan rumah berukuran 10x10 meter persegi dan satunya lagi di lantai atas dengan ukuran 5x5 meter persegi. Menurut Ateng, lahan itu bisa menampung hingga 200 motor tiap harinya. Diakui Ateng, lahan itu bisa meraup untung Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta tiap harinya.
"Kalau sepi ya bisa dapat segitu tapi kadang juga bisa dibawahnya," jelas pria yang pernah menjadi kuli bangunan ini.
Merdeka.com selanjutnya mendatangi kawasan Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat. Di stasiun ini terdapat beberapa lahan parkir yang dikelola warga setempat. Selain lahan milik warga, tukang parkir menggunakan areal bawah jembatan layang tempat rel kereta api melintas di kawasan Kebon Sirih ini.
Menurut Izul, Ketua RT 05 RW 07, Kelurahan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, lahan parkir itu rata-rata dikelola oleh warga yang notabene pengangguran. Mereka memanfaatkan areal di bawah jalan layang karena daya tampung parkiran di dalam kawasan Stasiun Gondangdia kerap tak cukup.
"Tidak dibolehkan sebenarnya karena itu merupakan jalan umum asal yang kelola adalah warga dari sini juga. Tidak ada setoran ke RT/RW. Hasilnya untuk mereka," kata Izul ketika berbincang dengan merdeka.com kali lalu.
Sama halnya dengan lahan parkir yang dikelola Ateng dan Angga di Stasiun Tebet, lahan di kawasan ini memasang tarif Rp 5.000 untuk tiap kendaraan roda dua. Harga itu berlaku untuk satu hari penuh selama pemiliknya menitipkan kendaraan kepada penjaga parkiran.
"Ada yang kasih lebih jika sudah jauh malam. Mereka biasanya mengerti dengan kita," terang Adi (50), salah seorang penjaga lahan parkiran.
Adi dulunya termasuk penjaga lahan di Stasiun Gondangdia. Namun setelah lahan yang dijaganya sudah menjadi RPTRA, Adi kemudian mengelola lahannya sendiri. Lahan itu merupakan bagian dari sebuah rumah yang luasnya tidak seberapa. Adapun kendaraan yang dititipkan kepada Adi adalah mereka yang sudah mengenalnya di lahan terdahulu.
"Kalau motor yang masuk ke sini umumnya karena sudah saling kenal. Mereka bisa menitip beberapa hari kepada saya," kata Adi.
Baca juga:
Demi nafkahi anak istri
Parkir liar dan premanisme hantui warga Ibu Kota
Tajir berkat uang parkir
Cegah pungli dengan teknologi
Bisa tajir meski cuma tukang parkir
Melongok bisnis parkir liar di Jakarta