Pencari dan Penjaga Oksigen Jakarta
Ini cerita tentang kondisi udara Jakarta. Cerita yang datang dari para pencari dan perawat oksigen ibu kota.
"Aku ada di dalam Kota Metropolutan." Sebaris lirik yang digunakan grup band Navicula untuk menggambarkan kondisi ibu kota Jakarta. Gersang, panas dan berdebu. Kesan yang terlanjur melekat jika melintas di Kawasan Tanjung Priok, Cilincing, dan Cakung. Kendaraan berat hilir mudik, meninggalkan jejak asap pekat.
Pengendara sepeda motor tampak sesekali mengusap keringat yang mengucur pelan di sela helm. Sulit menemukan ruang terbuka hijau di jalanan ini. Terik sinar matahari bercampur debu dan asap kendaraan bermotor seolah menjadi hal biasa bagi mereka yang tinggal dan beraktivitas di sana.
-
Mengapa konten video Jakarta di masa depan menjadi viral? Karena kreativitasnya, postingan @fahmizan kemudian menjadi viral dan di repost oleh banyak akun di berbagai sosial media.
-
Kenapa Pantai Widodaren viral? Keberadaannya belum banyak yang tahu. Namun belakangan ini, pantai ini viral karena keindahannya.
-
Apa yang viral di Babelan Bekasi? Viral Video Pungli di Babelan Bekasi Palaki Sopir Truk Tiap Lima Meter, Ini Faktanya Beredar video pungli di Babelan Bekasi. Seorang sopir truk yang melintas di kawasan Jalan Raya Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat merekam banyaknya aktivitas pungli baru-baru ini.
-
Mengapa kejadian ini viral? Tak lama, unggahan tersebut seketika mencuri perhatian hingga viral di sosial media.
-
Apa yang viral di Ponorogo? Viral Trotoar di Ponorogo Ini Ternyata Nisan Makam Tokoh Penting Belanda, Ini Sosoknya Kematiannya pun sempat jadi bahan pemberitaan di masanya. Namun sayang jirat makamnya justru jadi trotoar di Ponorogo Jalan Batoro Katong di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, mendadak viral.
-
Apa yang terjadi pada bocah yang viral di Bandung? Viral Remaja Pukuli Bocah Lalu Mengaku sebagai Keponakan Mayor Jenderal Sekelompok remaja tmenganiaya dan mencaci bocah di Bandung, Jawa Barat. Videonya viral setelah seorang pelaku mengaku sebagai keponakan seorang jenderal.
"Kita jadi enggak merasa lagi kalau ini sebenarnya polusi. Allhamdulilah belum ada keluhan penyakit sampai sekarang, mungkin juga sudah kebal," canda Karsam, seorang penjaja kopi di pinggir jalan Tanjung Priok saat berbincang dengan merdeka.com, akhir pekan lalu.
Sudah puluhan tahun Karsam tinggal dan mencari penghidupan di Tanjung Priok. Kondisi polusi udara di pagi hingga siang hari, biasanya tidak begitu parah menyerang tubuh. Selepas azan Ashar, udara bisa berubah drastis. Bahkan hingga malam hari. Periode waktu tersebut, saatnya bongkar muat kendaraan berat.
Debu polusi terbang jauh, hinggap ke permukiman warga. Mereka ‘dipaksa’ terbiasa. Bersiasat dengan keadaan. “Saya kalau jemur pakaian di dalam ruangan, Kalau di luar (rumah), sama saja, kotor lagi,” kata Kasman.
Dalam hatinya, Karsam punya harapan. Di usia yang tak lagi muda, dia bisa menghirup udara yang lebih bersih meski hidupnya sepanjang hari dihabiskan di jalanan.
Dari Tanjung Priok, bergeser ke Sunter dan Kemayoran, Jakarta Pusat. Kondisi tak jauh berbeda. Sepanjang jalan berteman debu dan asap kendaraan. Belum lagi aroma tak sedap dari Kali Sunter yang terbawa angin. Memicu emosi pengendara.
Berbincang dengan Rachdian Bimo (22). Bimo cukup lama menetap di Jerman saat masih sekolah. Selepas lulus SMA, Bimo kembali ke kampung halamannya di Kemayoran. Sudah bisa ditebak, perbedaan kondisi udara sangat dirasakan. Bahkan, dalam proses adaptasi lingkungan baru, dia sempat jatuh sakit. Dia mengamini, kondisi polusi udara di Jakarta sudah cukup parah.
"Misalnya ditanya kenapa bisa begitu, agak susah juga buat saya jawab. Tapi bisa dirasakan," ucap Bimo.
Polusi Udara dan Hari Tidak Sehat
Ada lima Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambien (SPKUA) yang tersebar di lima wilayah Jakarta. Bundaran HI, Jakarta Pusat (DKI1), Kelapa Gading, Jakarta Utara (DKI2), Jagakarsa, Jakarta Selatan (DKI3), Lubang Buaya, Jakarta Timur (DKI4), Kebon Jeruk, Jakarta Barat (DKI5).
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup yang diambil dari data.jakarta.go.id, pada tahun 2017 kualitas udara di wilayah DKI Jakarta cukup baik dengan rata-rata 225 hari dalam kategori sedang dan rata-rata 97 hari dalam kategori baik.
Pada tahun 2018 (Januari-November), kualitas udara di wilayah DKI Jakarta cukup mengkhawatirkan. Mengingat jumlah hari dengan kualitas udara tidak sehat bertambah di beberapa wilayah bahkan ada hari dengan kategori sangat tidak sehat. DKI2 sebanyak 106 dan DKI3 78 hari. DKI5 164 hari tidak sehat. Bahkan, DKI5 juga memiliki hari terbanyak dengan kualitas udara sangat tidak sehat yaitu selama 19 hari.
Dari laporan Pemprov DKI, berdasar data historis tahun 2019 dan 2020, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memengaruhi kualitas udara menjadi lebih baik di lokasi tertentu. Penurunan konsentrasi PM2,5 pada tahun 2020 terhadap 2019 di Bundaran HI, cukup tinggi hingga 51% pada bulan Mei, dan CO menurun hingga 77% pada bulan April. Kondisi tersebut memberi gambaran bahwa pembatasan kendaraan bermotor pada masa PSBB memberi pengaruh baik terhadap kualitas udara di sekitar bundaran HI, namun di lokasi lain tidak terlalu berdampak, sehingga konsentrasi pencemar tidak menurun
Dikutip dari kesimpulan Laporan Akhir Kegiatan Pemantauan Kualitas Udara Provinsi DKI Jakarta Hasil ISPU Tahun 2021 menunjukkan hari Tidak Sehat terbanyak ada di stasiun DKI4 dengan persentase 35 persen.
Berdasarkan Laporan Akhir Kegiatan Pemantauan Kualitas Udara Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022, dari sisi Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), tidak sehat terjadi selama 119 hari. Cukup baik atau sedang hanya 113 hari. Sepanjang 2022 jumlah hari baik tertinggi 16 persen di DKI5 Kebon Jeruk. Hari tidak sehat tertinggi 35 persen di SPKUA DKI4 Lubang Buaya. Terdapat peningkatan jumlah hari tidak sehat sejalan dengan penurunan curah hujan memasuki musim kemarau.
"Dari data official DLH DKI jakarta yang jelas 2 tahun terakhir status mutu udaranya adalah Tercemar. Dan data udara Ambien tahunannya melebihi status baku mutu tahunan untuk parameter PM 2.5 (baku mutu tahunan nya adalah 10 yg/m3). Sementara data udara ambien tahunan PM 2.5 d Jakarta selalu di atas 20 ug/m3 yang artinya sudah melebihi baku mutu tahunan lebih dari dua kali lipatnya dalam 5 tahun terakhir," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki Strategi Pengendalian Pencemaran Udara alias SPPU. Ada 70 rencana aksi yang harus dilakukan. Rencana aksi tersebut menjadi pendoman Pemprov DKI dalam melakukan berbagai kegiatan yang berpihak pada lingkungan.
"Seandainya konsisten kita eksekusi nanti tahun 2030 udara di Jakarta itu akan jauh lebih membaik dari sekarang," ujar Yogi Ikhwan Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Salah satunya strategi itu, kampanye penggunaan transportasi publik. Masyarakat diajak beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan massal. Srategi lain adalah mewajibkan seluruh pengendara motor di Jakarta, ada 20 juta populasi pengendara motor, untuk melakukan uji emisi setiap tahun.
Uji emisi digalakkan terus menerus. Agar masyarakat mau ambil bagian dalam strategi pengedalian polusi udara. Uji Pemprov bekerja sama dengan kepolisian memberikan sanksi tilang bagi kendaraan tak uji emisi. Selain itu, pemberlakuan sanksi lain. Semisal tarif parkir mahal serta denda pajak jika kendaraan tidak uji emisi.
"Ituakan memaksa 20 juta pengendara untuk melakukan uji emisi . Kalau 20 juta pengendara itu melakukan uji emisi setiap tahun Jakarta akan lebih baik."
Penjaga Oksigen Ibu Kota
Tak perlu jauh membandingkan dengan Jerman. Bimo mencontohkan antara tempat tinggalnya Kemayoran dengan Tebet. Menurutnya, udara di Tebet masih bisa dinikmati. Banyak pohon rindang sebagai sumber oksigen yang bersih. Berbeda dengan Kemayoran. Kawasan Tebet masih memiliki ruang terbuka hijau penghasil oksigen yang gratis bagi masyarakat.
"Kalau lewat Tebet masih adem, udaranya segar," singkat Bimo.
Fili (20) sesekali menyempatkan diri datang ke Taman Tebet Eco Park, Jakarta Selatan. Dari rumah di Kawasan Otista, Jakarta Timur, tak butuh waktu tempuh yang panjang. Satu alasan yang mendorongnya datang.
"Di Jakarta jarang ada ruang terbuka gitu ya, jadi pas ada di sini ya lumayan buat hirup udara baru," kata Fili.
Gerak cepat roda pembangunan Jakarta perlu diimbangi dengan bertambahnya ruang terbuka hijau. Termasuk di jantung ibu kota. Pusat segala aktivitas ekonomi yang biasanya menjadi daerah dengan polusi udara tinggi. Setidaknya, taman dan ruang terbuka hijau bisa menjadi elemen penyeimbang. Sebagai penyedia udara bersih ibu kota. Meskipun tidak bisa menyembuhkan udara Jakarta yang terlanjut sakit.
Luas ruang terbuka hijau sebagai kantong oksigen di Jakarta masih jauh dari ideal. Saat ini hanya 5,18 persen dari luas wilayah keseluruhan Jakarta yang mencapai 664,01 kilometer persegi. Amanat Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, RTH harus memenuhi 30 persen.
Masih dari data yang sama, RTH di Jakarta Timur 26,2 persen, Jakarta Selatan 24,92 persen, Jakarta Utara 20,87 persen, Jakarta Pusat 12,69 persen, Jakarta Barat 8,64 persen. Dari data itu, setidaknya ada 2.307 RTH di Jakarta, 1.710 jalur hijau, 1.335 taman lingkungan, 17 kebun bibit, 10 taman rekreasi, dan lainnya.
Pemprov DKI Jakarta berjanji terus memperbanyak RTH sebagai paru-paru ibu kota.
"Itu menjadi salah satu aksi dari 70 SPPU (Strategi Pengendalian Pencemaran Udara) untuk memperluas RTH sebagai salah satu upaya memperbaiki kualitas udara," kata Yogi Ikhwan Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Udara bersih yang dirasakan Fili dan pengunjung lain tak bisa dilepaskan dari ketulusan tangan-tangan para penjaga oksigen di Taman Tebet. Setiap hari, mereka merawat semua pohon dan tanaman di lahan seluas hampir 7,5 Hektare ini.
"Untuk penyiraman ada dua tim. Tim pagi dari kita dan tim malam yang dari tangki air kecamatan," kata Agus (55), koordinator Pengurus Tanaman dan Pohon di Tebet Eco Park.
Nyaman. Satu kata yang bisa dilukiskan Agus dalam merawat Taman Tebet. Kenyamanan itu tidak datang begitu saja. Semua harus bermula dari diri sendiri, kecintaan terhadap tanaman sebagai penghasil oksigen yang dibutuhkan semua orang.
"Dari sebelum kerja di taman juga saya memang sudah senang merawat-rawat tanaman. apalagi sekarang kerja di taman ya jadi makin tersalurkan," katanya.
Keikhlasannya merawat ruang terbuka hijau tak perlu diragukan. Mereka tetap merawat meski menyimpan kekecewaan atas perilaku pengunjung yang terkadang tak sejalan dengan harapan. Kesadaran pengunjung belum terwujud. Sampah berserakan menjadi ancaman yang paling besar. Belum lagi jejak alas kaki pengunjung yang membuat tanaman mati.
"Tanaman juga kadang ada yang nginjek, padahal sudah jelas dilarang," sesalnya.
Di Tanah Abang, kami bertemu lagi dengan para penjaga oksigen ibu kota. Namanya, Dasmun (45). Sehari-hari, Dasmun bertugas menyiram tanaman yang ada di jalanan sekitar Kawasan Tanah Abang. Sudah lebih dari 20 tahun dia bekerja di Dinas Air Kecamatan Tanah Abang. Area kerjanya hanya di Kecamatan Tanah Abang. Mulai dari, Penjompongan, Penjernihan, Karet Bhivak, Margono, dan lainnya.
Saat penghuni ibu kota tertidur pulas, Dasmun bekerja dalam diam. Truk berisi 5.000 liter air bergerak pelan, menyapa tanaman-tanaman penghias jalanan. Air ribuan liter itu biasanya habis sekitar 1.5 jam. Setelah habis, mereka kembali mengisi tangki.
"Setiap hari dari malam ke pagi hari. Dalam sehari itu bisa menghabiskan waktu sekitar 8 jam. Setelah Isya kita mulai jalan dan itu beresnya pasti pagi," ujar Dasmun.
Pekerjaan menyiram tanaman terkadang menyita waktu. Apalagi di saat jalanan Jakarta masih dipadati kendaraan. Berjalan pelan, kerap menjadi sasaran kesalahan, dianggap penyebab kemacetan. Belum lagi jika ada kendaraan yang parkir sembarangan. Menghalangi air bertemu dengan tanaman.
Oksigen Berbayar
Polusi yang berimbas pada memburuknya kualitas udara sedikit banyak berdampak pada kualitas hidup warga penghuni Jakarta. Menurut data Greenpeace, di Jakarta dengan polusi udara dari PM2,5 meningkatkan risiko kematian dini 13.000 jiwa sejak 1 Januari 2020.
"Sangat disayangkan ketika level ISPU menunjukan Tidak sehat, tidak pernah ada peringatan kepada publik perihal apa yang harus dilakukan sehingga kita bisa terhindar dari menghirup udara yang tidak sehat itu," jelas Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Yogi Ikhwan mengatakan, masyarakat yang terpapar penyakit gangguan pernapasan karena menghirup PM2.5 atau menghirup SO2. PM2.5 sejenis debu-debu yang jika banyak dihirup akan masuk pembuluh darah.
"Jadi akan banyak penyakit-penyakit, bukan karena nggak ada oksigen. Yang menjadi parameter internasional suatu daerah tercemar atau nggak itu dari PM2.5," kata Yogi.
Masyarakat yang terlanjur terjangkit penyakit pernapasan akibat buruknya kualitas udara Jakarta, terpaksa merogoh kantong untuk membeli oksigen yang seharusnya bisa didapat gratis. Erfan (26) penjual Oksigen di Jalan Minangkabau menceritakan, banyak warga yang datang membeli oksigen karena ada keluarga yang mengalami gangguan pernapasan. Sehingga membutuhkan oksigen yang ‘bersih’. Umumnya, untuk orang tua yang rentan.
"Sesak nafas karena udara ada, karena sakit lebih banyak."
"Kalau sesak karena udara daripada nanti pinjam atau gimana saat dibutuhin enggak ada jadinya mending beli buat persiapan," tambahnya.
Untuk membeli ‘udara’ mereka harus membayar Rp75.000 untuk 6 kubik. Harga satu kubik oksigen di sana Rp20.000. Biasanya, satu kubik hanya cukup untuk pemakaian 4 jam nonstop. Bagi mereka yang mengalami gangguan pernapasan, oksigen ini memang jadi penolong. Tapi berbahaya jika tidak dikontrol dengan baik. Bisa menimbulkan ketergantungan bagi pasien.
"Ada kejadian, pertama biasanya dipakai 2 tabung, cuma ditinggikan terus jadinya sehari bisa 10 tabung," katanya.
Dia menganalogikan, kualitas udara dari oksigen yang dijualnya mirip dengan kualitas udara di taman. Jauh lebih baik ketimbang kualitas udara di jalanan ibu kota.
"Kalau perbandingannya dengan analogi mobil, udara biasa mungkin Avanza. Nah kalua udara dari tabung oxygen mungkin Lamborgini. Soalnya, kalau nggak salah udara yang kita hirup biasa kadar oxygennya nggak sampai 90 persen. Sementara, yang di tabung ini bisa sampai 99 persen makanya murni dan plong banget."
Reporter Magang: Rafi Indra Jaya Putra
(mdk/noe)