Penyadapan, BIN dan Lemsaneg ngapain aja
Secara ekonomi, Indonesia tergantung pada Australia. Tapi jika soal teknis dikuasai, kita tak sampai dipermalukan.
Presiden SBY marah atas laporan media Australia, bahwa pemerintah Australia menyadap teleponnya, istrinya, dan beberapa pejabat lain. Kemarahan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Marty Natanegara, Senin (18/11).
SBY bicara soal penyadapan itu melalui sosial media. "Sejak ada informasi penyadapan AS & Australia terhadap banyak negara, termasuk Indonesia, kita sudah protes keras," tulis SBY dalam akun Twitter-nya @SBYudhoyono, Selasa (19/11).
Apakah SBY benar-benar marah? Sulit dipastikan. Pertama, SBY belum menyampaikan secara langsung pernyataannya di hadapan publik. Kedua, pernyataan melalui Twitter belum meyakinkan, karena di media sosial itu tidak terlihat ekspresi SBY.
Bandingkan dengan acara jumpa pers di Halim Perdanakusuma beberapa waktu lalu, saat SBY menanggapi kesaksian mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq tentang peran penting Bunda Putri. Rakyat dengan gamblang menyaksikan kemarahan SBY karena kata-kata dan ekspresi wajahnya terekam jelas di layar kaca.
Pemerintah memang telah menunjukkan protes kerasnya. Menteri Luar Negeri telah memanggil Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Australia di Jakarta, untuk dimintai penjelasan. Kemenlu juga memanggil pulang Duta Besar RI di Australia, Nadjib Riphat Kesoema. Namun tindakan ini sebetulnya hanya tata krama diplomasi saja.
Pemerintah agaknya takkan bertindak lebih dari itu. Apalagi sampai sekarang SBY belum juga menunjukkan kemarahannya secara langsung. Padahal pemerintah Australia merasa tidak bersalah atas apa yang dilakukannya. "Australia tidak perlu meminta maaf atas langkah yang kita lakukan demi melindungi negara saat ini atau di masa lalu," kata Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Selasa (19/11) ini.
SBY bukanlah tipe Soekarno yang meledak-ledak kemarahannya atas perlakuan negara asing terhadap pemerintah dan negeri yang dipimpinnya. Dia juga bukan tipe Soeharto, yang datar saja saat menanggapi perilaku pemerintah asing; tahu-tahu duta besarnya sudah disuruh pulang. Tapi SBY bisa marah besar kalau sedang pidato tidak didengarkan, atau wilayah kepresidenannya diusik.
Jika SBY tidak marah besar atas perlakuan pemerintah Australia, jelas bukan semata faktor karakter pribadi atau gaya kepemimpinannya. Realitasnya kita memiliki banyak ketergantungan pada negeri tetangga. Coba saja stop impor daging sapi dan susu, tidak lama kemudian rakyat kota pasti mengamuk. Sesimpel itu.
Jadi, harus dipahami, selama Indonesia tidak memiliki ketangguhan ekonomi, politik, dan militer, selama itu pula tidak akan terjadi hubungan antarnegara yang sepadan. Jangankan dengan Australia, dengan Singapura dan Malaysia saja Indonesia sering dibuat tak berdaya.
Para politisi di Senayan bisa saja berteriak macam-macam, namun kelemahan Indonesia di mata tetangga adalah realitas pahit yang harus ditelan. Oleh karena itu, masalahnya harus ditarik tingkat teknis: mengapa Badan Intelijen Negara atau BIN gagal mengantisipasi sejak awal; mengapa Lembaga Sandi Negara atau Lemsaneg gagal mendeteksi aksi penyadapan oleh pihak lain.
Pertanyaan ini penting, sebab kalau berurusan dengan masalah dalam negeri atau berhadapan dengan rakyatnya sendiri, kedua lembaga itu selalu tampak hebat.
BIN selalu melaporkan kemampuannya mendeteksi potensi konflik, rusuh dan teror. Demikian juga, Lemsaneg selalu membanggakan keberhasilannya dalam mengamankan data e-KTP, sehingga penuh percaya diri untuk ikut mengamankan rekapitulasi elektronik yang akan dilakukan KPU dalam Pemilu 2014.
Sementara kedua lembaga itu belum bisa menjelaskan apa yang telah dilakukan atas aksi penyadapan terhadap pejabat negara, para hacker Indonesia sudah melampiaskan amarahnya kepada situs-situs agen rahasia Australia. Kalau demikian jadinya mana yang lebih jago, lebih sungguh-sungguh membela negara?