Tafsir seenaknya Pancasila dan UUD 1945
Jika pilkada langsung bertentangan dengan Pancasila, jangan ajarkan anak-anak milih ketua kelas dengan voting.
Banyak alasan mengapa partai-partai politik pendukung Prabowo-Hatta dalam pemilu presiden lalu, tetap ngotot agar RUU Pilkada menetapkan pilkada oleh DPRD. Mulai dari menyalahi Pancasila, sistem liberal, biaya mahal, konflik horisontal, menyuburkan korupsi, hingga merusak birokrasi. Perdebatan sering tak tuntas dan argumentasi meloncat-loncat sehingga menjurus pada sikap pokoknya.
Sikap itu sesungguhnya mencerminkan: kuatnya pertimbangan politik daripada pertimbangan rasional, pengutamaan kepentingan kelompok daripada kepentingan rakyat, dan pengabaian masa depan demi keuntungan sesaat. Adu argumen diwarnai manipulasi data dan pencampuradukan alasan filosofis dengan teknis.
Untuk menghindari sesat pikir dan jebakan kepentingan, saya akan menyampaikan argumen secara runtut, mulai dari landasan filosofis, tafsir konstitusi, sistem pemilihan, manajemen tenis penyelenggaraan, hingga penegakan hukum. Runtutan argumentasi tersebut akan meneguhkan sikap menolak rencana pilkada oleh DPRD.
Pertama, landasan filosofis. Kata pendukung Koalisi Merah Putih, pilkada langsung oleh rakyat bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila itu menghendaki keputusan diambil berdasarkan musyawarah. Tentu benar, tapi ingat selain kata "permusyawaratan" juga terdapat kata "perwakilan".
Kata kedua itu menunjukkan bahwa rakyat harus memilih wakil-wakilnya untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, karena rakyat tidak mungkin berkumpul untuk mengambil keputusan bersama. Para wakil memang harus bermusyawarah, tetapi mereka bisa bermusyawarah atas mandat rakyat. Mereka harus dipilih.
Mandat itu tidak hanya dalam menjalankan fungsi-fungsi legislatif, tetapi juga eksekutif karena kita menganut sistem pemerintahan presidensial. Makanya selain memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, rakyat juga memilih presiden. Jika presiden dipilih oleh rakyat tidak disebut sistem liberal, mengapa memilih kepala daerah disebut liberal?
Jika memang pemilihan kepala daerah itu bagian dari liberalisme, dan liberalisme jenis itu bertentangan dengan Pancasila, maka jangan ajarkan lagi anak-anak di sekolah untuk memilih ketua kelas dengan cara voting. Jangan ajarkan anggota koperasi memilih pengurus dengan cara pemungutan suara; dan jangan biarkan warga desa memilih kepala desa melalui pemungutan suara!
Kedua, tafsir konstitusi. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Ini merupakan hasil Perubahan Kedua UUD 1945 dalam SU-MPR 2000. Frasa "dipilih secara demokratis" dipakai karena pembuat konstitusi baru akan menyelesaikan perdebatan pemilihan presiden pada Perubahan Ketiga dalam SU-MPR 2001.
Saat itu memang sudah muncul perdebatan, presiden dipilih langsung oleh rakyat atau tetap dipilih MPR. Apapun yang diputuskan oleh SU-MPR nanti, frasa "dipilih secara demokratis" harus dimaknai sama dengan apa yang diputuskan pada Perubahan Ketiga.
Ternyata hasil Perubahan Ketiga, seperti tertera pada Pasal 6A UUD 1945 disebutkan, bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Dengan demikian frasa "dipilih secara demokratis" untuk memilih gubernur, bupati dan walikota, juga harus dimaknai dipilih secara langsung oleh rakyat.
Perdebatan itu sudah tuntas pada saat hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 dirumuskan oleh SU-MPR 2001. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah kemudian menerjemahkannya ke dalam UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, yang di dalamnya mengatur tentang pemilu kepala daerah. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi pun juga meneguhkan bahwa pilkada langsung oleh rakyat benar menurut UUD 1945.
Jadi, kalau saat ini mantan Ketua MK Mahfud MD dan anggota MK Patrialis Akbar bilang, bahwa pilkada oleh DPRD tidak sesuai dengan konstitusi, jelas mereka melakukan tafsir yang keliru. Tidak hanya keliru, tetapi juga menggelapkan sejarah perumusan konstitusi.
Bayangkan, apa yang akan terjadi dalam Republik ini jika (mantan) hakim konstitusi punya pandangan demikian. Namun sesungguhnya hal itu bukan mencerminkan pandangan seorang (mantan) hakim konstitusi, melainkan pandangan seorang politisi. Ya maklum saja, Mahfud adalah mantan ketua tim kampanye Prabowo-Hatta, dan Patrialis adalah mantan pengurus DPP PAN, partai yang mendukung Prabowo-Hatta.
Ketiga, sistem pemilihan. Pada tataran inilah mestinya perdebatan itu harus dilakukan serius dan komprehensif. Sebab pada pengaturan sistem pemilihan kepala daerah inilah sebetulnya yang menjadi sumber masalah penyelenggaraan pilkada. Karena itu kita harus membahasnya lebih dalam, disertai dengan fakta dan data lapangan lengkap. Tentang hal ini akan saya bahas dalam kolom berikutnya.