Tak paham pemilu, hakim MK salah melulu
Dulu MK merebut kewenangan menyelesaikan sengketa pilkada. Setelah kewalahan, kini dikembalikan lagi ke MA.
Di tengah hingar bingar deklarasi calon presiden dan wakil presiden Jokowi - JK dan Prabowo - Hatta, Senin (19/5), Mahkamah Konstitusi ( MK ) membuat putusan penting: MK tak lagi berwenang mengadili sengketa hasil pilkada; yang berwenang adalah Mahkamah Agung (MA). Putusan ini tidak bulat. Ada tiga hakim konstitusi yang keberatan (dissenting opinion). Tapi bulat atau lonjong, putusan harus dijalankan.
Itu berarti MK mengembalikan wewenang yang dulu diambilnya dari MA, dan kini dilempar kembali ke MA, setelah selama hampir 10 tahun kewalahan menangani sengketa pilkada. Padahal banjirnya sengketa pilkada ke MK juga tidak terlepas dari putusannya yang membuka lebar kasus sengketa hasil pilkada: bukan sekadar salah hitung hasil pilkada tetapi juga pelanggaran masif, sistematis, dan terstruktur.
Apa tolok ukur pelanggaran yang masif, sistematis, dan terstruktur? Hanya MK yang tahu. Akibatnya, hampir semua calon yang kalah pilkada menggugat keputusan KPU daerah tentang hasil pilkada. Mereka berspekulasi hakim menemukan pelanggaran yang masif, sistematis dan terstruktur. Apalagi, seperti halnya di lembaga peradilan lain, para calon juga mencium praktik jual beli perkara. Jadi siapkan segepok uang maka hakim konstitusi siap membantu. Tertangkapnya Akil Mochtar membuktikan hal itu.
Kisahnya berawal dari UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang untuk pertama kali mengatur tentang pilkada. Undang-undang itu menempatkan pilkada sebagai bagian dari urusan otonomi daerah (Pasal 18 UUD 1945), bukan domain pemilu (Pasal 22E UUD 1945). Makanya undang-undang itu mengatur, jika terdapat gugatan hasil pilkada, maka MA dan Pengadilan Tinggi yang berwenang menyelesaikannya.
Ketika dipimpin Jimly Asshiddiqie, MK memutuskan bahwa pilkada adalah bagian pemilu, sehingga jika terdapat sengketa pilkada, maka MK-lah yang menyelesaikannya. Lalu Mahfud MD, ketua MK berikutnya, memperlebar kewenangannya: sengketa pilkada itu bukan sekadar soal hitung-hitungan, tetapi juga soal pelanggaran yang mempengaruhi hasil pilkada. Pelanggaran macam apa yang bisa mempengaruhi hasil pilkada? Ya itu tadi, pelanggaran yang masif, sistematis dan terstruktur.
Padahal terhadap pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana, undang-undang pemilu (baik pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pilkada) sudah menggariskan: pelanggaran administrasi diselesaikan KPU dan pelanggaran pidana diselesaikan peradilan umum melalui pengawas pemilu, polisi, dan jaksa. Putusan KPU dan putusan peradilan umum tersebut, pada hal-hal tertentu juga bisa membatalkan hasil pemilu: kepesertaan pemilu bisa dicoret, calon terpilih bisa tidak dilantik, dll.
MK yang kemaruk kewewenangan itu akhirnya kewalahan perkara. Sepanjang tahun kesibukan hakim adalah menyelesaikan sengketa pilkada, bukan menyidang perkara peninjauan kembali undang-undang yang menjadi wewenang pokoknya. Jika kemudian ada hakim konstitusi perkara, itu implikasi logis saja. Ya, dengan banyaknya perkara sengketa pilkada, tiada pihak yang bisa mengontrol hakim. Bahkan mengherankan, Akil Mochtar yang jejak-jejak mencurigakannya sudah terdeteksi, terpilih menjadi ketua.
MK pimpinan Hamdan Zoelva rupanya paham masalah. Jika MK menangani begitu banyak kasus pilkada, maka lembaga hanya jadi tempat sampah kerumitan pilkada, yang bisa memunculkan "Akil-Akil" baru. Jalan pintas pun ditempuh: mengembalikan kewenangan menyelesaikan sengketa pilkada ke MA. Hal ini sejalan dengan kehendak pemerintah yang berencana mengembalikan penanganan sengketa pilkada ke MA, seperti terlihat dalam RUU Pilkada yang kini tengah dibahas DPR dan pemerintah.
Apakah MA siap menerima lemparan perkara pilkada dari MK? Masalahnya bukan pada siap atau tidak siapnya MA, tapi pada dampak putusan terhadap struktur ketatanegaraan dan pembangunan demokrasi ke depan.
Dengan MK menempatkan pilkada sebagai domain otonomi daerah, maka pilkada bukan bagian dari pemilu. Padahal pemilu sebagai wahana untuk memproduksi anggota legislatif dan pejabat eksekutif, pilkada tidak bisa dimasukkan kotak otonomi daerah begitu saja, karena UUD 1945 juga menempatkan pemilihan anggota DPRD sebagai bagian pemilu. Apabila pemilu DPRD dan pilkada dianggap sebagai entitas terpisah, maka masalahnya adalah pada efektivitas pemerintahan daerah.
Kinerja pemerintahan daerah tidak saja ditentukan hasil pilkada, tetapi juga hasil pemilu DPRD; keduanya secara bersama-sama adalah bagian dari pemerintahan daerah. Belum lagi, jika ditinjau dari hubungan vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, di mana kinerja gubernur dan bupati/wali kota juga dipengaruhi hubungannya dengan presiden. Semua itu bisa direkayasan melalui pemilu sinergis. Tapi jika pilkada diletakkan di luar kota pemilu, tentu susah mengaturnya.
Baca juga:
Berbagi amarah dengan Ahok, Ganjar, dan Risma
Pahit getir di Hari Kebebasan Pers
Sepuluh tahun politik tanpa ideologi
Konflik partai rebutan calon presiden
Manipulasi konvensi berujung frustrasi
-
Kapan Indonesia merdeka? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka.
-
Siapa yang bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
-
Siapa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Bukan hanya tanggal yang kita rayakan, tetapi semangat dan cita-cita yang diwariskan oleh para pahlawan. Merdeka! Selamat HUT RI ke-79!
-
Apa yang bisa dilakukan untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia? Berbagai cara bisa dilakukan untuk turut serta memeriahkan Hari Kemerdekaan Indonesia. Mulai dari ikut lomba 17 Agustus, ikut upacara bendera, membagikan kata ucapan Hari Kemerdekaan hingga mengunggah foto setelah menggunakan link twibbon.
-
Siapa yang berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia? Peringatan Hari Santri seyogyanya sebagai pengingat bahwa para santri punya andil besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, teruslah berjuang di jalan dakwah untuk memelihara persatuan dan kerukunan Tanah Air. Selamat Hari Santri Nasional 2023!
-
Kapan Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan? Masyarakat sebentar lagi akan memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Tahun ini, Indonesia akan memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-78.