Tak pede, partai dan calon terjebak politik uang
Sekoper Rp 510 juta dan calon PAN bernama Hanafi Rais. Uang bukan jaminan keterpilihan.
Berita tentang calon anggota legislatif yang membawa dan membagikan sekoper uang, sebetulnya biasa dalam musim pemilu. Banyak saksi bercerita, bahkan pelakunya sendiri membeberkan ke wartawan dengan wanti-wanti, "jangan sebut nama saya ya."
Tapi kalau ada polisi menangkap mobil kampanye yang membawa sekoper uang, tentu bukan cerita biasa. Sebab, ada fakta tak terbatahkan: uang sekoper bersatu bersama atribut partai dan calon, seperti kaos, form pengkaderan relawan, form pelatihan relawan, contoh surat suara, dan dokumen-dokumen calon lainnya.
Bahwa banyak orang tidak percaya lagi atas klaim elit partai politik, bahwa partainya bersih dan antikorupsi, kita sudah mafhum. Ya tentu saja, karena klaim itu berlawanan dengan praktik politik sehari-hari. Oleh sebab itu, teriak kencang juru kampanye, bahwa partai dan calonnya melarang politik uang, hanya jadi bahan ketawaan saja.
Meski demikian, tertangkapnya sekoper uang bersama atribut partai dan calon oleh polisi itu, tetap menarik perhatian. Apalagi ada nama mentereng di situ: Hanafi Rais, Calon Anggota DPR dari PAN, Nomor Urut 1 Daerah Pemilihan DI Yogyakarta. Dari namanya sudah ketahuan: dia adalah anak Amien Rais, mantan Ketua Umum PAN.
Tapi hendaknya kita tidak berprasangka terlebih dahulu, bahwa Hanafi Rais akan membagi-bagikan uang tersebut kepada pemilih. Jangan-jangan uang itu akan digunakan untuk pelatihan relawan dan pelatihan saksi, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa dokuman dalam mobil itu.
Memang relawan itu kerja tanpa motif uang. Tapi mereka toh tetap biaya makan dan transportasi. Memang saksi itu diangkat oleh partai. Tapi mereka juga butuh biaya makan dan transportasi. Mungkin dana Rp 510 juta dalam koper itu tidak cukup untuk membiayai kegiatan relawan dan saksi yang jumlahnya ribuan.
Ok. Kita paham alasan itu. Atau paling tidak, kita bisa tunggu penyelidikan pengawas pemilu atas dugaan ada tidaknya kaitan sekoper uang itu dengan kegiatan politik uang.
Namun sebelum pengawas pemilu memutuskan, kita sudah mafhum, sebagian besar calon memang gemar bagi-bagi duit ke pemilih, baik dengan cara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, baik dilakukan sendiri maupun melalui kaki tangan. Tindakan ini sesungguhnya tidak masuk akal.
Pertama, jika semua calon membagikan uang, lalu ada calon terpilih dan ada yang tidak, berarti dasar keterpilihan itu bukan faktor uang. Apakah calon yang memberi uang terbanyak akan terpilih? Tidak juga. Nyatanya, banyak calon gagal dan bangkrut karena alasan ini.
Kedua, dari tahun ke tahun, berbagai hasil survei menunjukkan, bahwa sekitar 75 sampai 85 persen pemilih yang menerima uang atau barang dari calon, ternyata tidak memilih calon yang memberikan uang atau barang itu. Ini terjadi baik pada pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilu kepala daerah.
Ketiga, data pilkada 2005-2008 dan pilkada 2010-2013 menunjukkan, bahwa 60 persen petahana di Jawa, terpilih kembali; sementara di luar Jawa angkanya 40 persen. Artinya, 40 persen petahana di Jawa gagal, sementara di luar Jawa 60 persen yang gagal. Nah, bukankah petahana punya nama, punya kuasa, dan punya duit, tetapi mengapa tidak terpilih semua? Sekali lagi, salah besar yang menganggap pemilih kita mata duitan.
Sesungguhnya elit partai politik dan para calon anggota legislatif mengetahui tiga situasi tersebut. Mereka paham betul, bahwa bagi-bagi uang bukan jaminan menjadi pilihan rakyat. Masalahnya, mengapa mereka tetap melakukan politik uang? Mengapa mereka mau bertindak yang jelas-jelas merugikan diri sendiri?
Di sinilah para politisi mengalami kegalauan. "Saya tahu politik uang tidak menjadi jaminan. Tapi kalau kita lihat, calon lain membagikan uang, maka muncul kekhawatiran: jangan-jangan kalau saya tidak bagikan uang, saya kalah?" Demikian pengakuan seorang politisi yang sudah 10 tahun ngantor di Senayan.
Sesungguhnya para politisi kita sudah masuk dalam jebakan politik uang. Dan cilakanya jebakan itu mereka ciptakan sendiri. Oleh karena itu, jangan berharap pemilih bisa melepaskan jebakan itu, karena yang paham tentang jebakan itu adalah para politisi sendiri.
Baca juga:
Sinar KPK dalam kegelapan dana pemilu
Problem media, pro atau anti-Jokowi
Beda Soekarno dan SBY saat hadapi media
Kasus Risma dan kemandulan PDIP
SBY dan Demokrat: tanpa ideologi tanpa visi
-
Kenapa Pemilu penting? Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Kapan Soimah menikah? Soimah atau yang akrab disapa Mae telah menikah dengan Herwan Prandoko atau Koko sejak tahun 2002.
-
Kapan Pemilu 1955 diselenggarakan? Pemilu tersebut dilaksanakan pada 29 September 1955 dengan sistem pemilihan anggota DPR menggunakan metode representasi proporsional.
-
Kapan Pemilu di Indonesia diselenggarakan? Pemilihan umum alias Pemilu digelar lima tahun sekali di Indonesia.
-
Kenapa Pemilu di Indonesia penting? Partisipasi warga negara dalam Pemilu sangat penting, karena hal ini menunjukkan dukungan dan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang berlaku.
-
Kapan Pemilu 1955 dilaksanakan? Pemilu 1955 adalah pemilihan umum pertama yang dilaksanakan di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945. Pelaksanaan Pemilu dilakukan pada tanggal 29 September 1955 dengan menggunakan sistem pemilihan proporsional. Hasil dari Pemilu ini menunjukkan kemenangan bagi partai nasionalis, seperti PNI dan Masyumi, sementara PKI juga berhasil meraih suara yang signifikan.