Tantangan mewujudkan persatuan Palestina
KTT ini tak pelak adalah pembuktian kesekian kalinya, komitmen Indonesia pada perjuangan Palestina untuk merdeka.
Indonesia 6-7 Maret 2016 lalu menghelat Konferensi Tingkat Tinggi (KTTI) Luar Biasa Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Jakarta di mana masalah Palestina, khususnya perkembangan terbaru di Al Quds Al Sharif akan menjadi perhatian utama. Penyelenggaraan KTT ini tak pelak adalah pembuktian kesekian kalinya, komitmen Indonesia pada perjuangan Palestina untuk meraih kemerdekaannya di tengah makin menurunnya perhatian dan komitmen dunia atas derita Palestina.
Pada konferensi ini Indonesia sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo menekankan kesatuan Palestina. Ia menyatakan bahwa untuk berjuang diperlukan kesatuan dan Palestina harus bersatu dan rekonsiliasi sembari menegaskan kesiapan Indonesia untuk membantu proses rekonsiliasi. Menlu Retno L.P Marsudi bahkan dengan mengutip Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 10, menyebut bahwa persatuan sebagai suatu keharusan dalam perjuangan Palestina.
Mengapa persatuan Palestina ini penting, karena waktu telah membuktikan bahwa faksi-faksi internal Palestina sangat sulit untuk rekonsiliasi. Perpecahan yang mengemuka sejak 2007 dan berbagai perjanjian belum berhasil merukunkan dua pihak berseteru yaitu Fatah
dan Hamas.
Perjanjian pertama disepakati di Mekkah pada Februari 2007, kemudian di Yaman pada Agustus 2007, diikuti oleh Perjanjian Kairo di bulan Desember 2011, Perjanjian Doha bulan Februari 2012 dan April 2014. Namun semua kesepakatan ítu belum berhasil mengakurkan
dan mengurangi perbedaan meski sudah disponsori oleh berbagai negara Arab seperti Arab Saudi, Mesir dan Qatar. Fatah dan Hamas tetap kukuh pada posisi masing-masing dan enggan memberi konsesi untuk mewujudkan kesepahaman.
Fatah ngotot Hamas harus melepas sebagian kekuasaannya di Jalur Gaza yang telah dikuasai sejak 2007 dan menyerahkan jalur lintas Rafah ke pemerintahan Fatah. Sementara Hamas juga kukuh meminta Fatah mengakui semua kejadian sejak 2007 dan termasuk krisis pembayaran gaji pegawai pemerintah di Gaza. Seperti kita tahu, Hamas memenangkan pemilu legislatif di bulan Januari 2006. Konflik meruncing kala Fatah di awal 2007 dituduh ingin menyingkirkan Hamas dengan kekerasan dan dibalas dengan pengambilalihan Gaza oleh Hamas.
Tepat sebulan lalu (7-8 Februari 2016) telah terjadi lagi pembicaraan keduanya di Doha, Qatar. Rupanya belajar dari pengalaman sebelumnya, perundingan itu dilakukan secara rahasia agar tidak terjadi distorsi dan gangguan yang tidak diharapkan, meski sempat ada saling tukar kecaman dari kedua pihak yang ditangkap oleh media.
Rekonsiliasi dan persatuan antara Fatah dan Hamas merupakan tantangan yang tidak main-main yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak yang ingin membantu merukunkan keduanya. Meski boleh diasumsikan keduanya ingin terbentuknya suatu pemerintahan
berdasarkan kesatuan nasional, tapi jelas nampak bahwa keduanya berbeda pandangan soal bagaimana mencapainya.
Fatah menginginkan Piagam dan program Palestine Liberation Organisation (PLO) sebagai dasar tiap perjanjian, sedangkan Hamas justru tidak terlalu menginginkan perjanjian rekonsiliasi baru melainkan implementasi perjanjian Kairo 2011 dan Al Shati 2014.
Keduanya secara ideologis juga sangat berbeda sehingga pandangan terhadap Israel juga berbeda. Hamas mendukung perjuangan bersenjata melawan Israel dan menuntut dikembalikannya seluruh wilayah historis Palestina sedangkan Fatah melihat negosisasi dengan Israel sebagai jalan yang rasional meski sampai saat ini perjanjian itu belum dapat
terwujud.
Masalah geopolitik kawasan Timur Tengah juga tidak bisa diabaikan. Perbedaan pandangan dengan rejim Assad dalam hal penanganan protes di Suriah telah membuat Hamas meninggalkan Damaskus pada Desember 2012 sehingga menyulitkan hubungannya dengan Iran dan sejak itu penataan kembali pusat-pusat kekuatan regional menjadi makin jelas, menuju pada dua kutub yaitu Saudi Arabia di satu sisi dan Iran di sisi lain.
Selain itu, dengan adanya pembicaraan mutakhir yang dilakukan di Qatar yang merupakan seteru Mesir khususnya dalam hal isu Ikhwanul Muslimin, bisa jadi Mesir akan bereaksi negatif karena ia selama ini memandang masalah Palestina juga masalah dalam negerinya
dan hal ini akan mempersulit Fatah dan Hamas mewujudkan rekonsiliasi.
Kita berharap, KTT Luar Biasa OKI kali ini di bawah kepemimpinan Indonesia dapat memberikan momentum positif bagi terwujudnya rekonsiliasi nasional Palestina sehingga upaya dan perjuangan Palestina meraih kemerdekaannya bisa segera mencapai ujung dan realisasinya.