Terancam Proyek Geopark Taman Nasional Komodo
Kesadaran untuk mengedepankan konservasi juga harus dibayar mahal masyarakat dengan merelakan mata pencahariannya.
Nama Taman Nasional (TN) Komodo, Manggarai Barat, NTT menjadi buah bibir. Semua berawal dari foto viral seekor komodo berhadapan dengan truk proyek pembangunan Geopark di Loh Buaya, Pulau Rinca. Kejadian ini seakan jadi pemicu. Membuat semakin deras protes penolakan wisata premium Pulau Komodo.
Berbagai elemen masyarakat angkat suara. Mengkritik pembangunan Geopark tersebut. Salah satu alasan yang paling kuat dikemukakan, yakni status TN Komodo sebagai kawasan konservasi alam. Dikhawatirkan pembangunan proyek yang kemudian santer disebut ‘Jurassic Park’ tersebut bakal mengancam kehidupan hewan langka dengan nama latin Veranus Komodoensi tersebut.
-
Apa saja yang ditawarkan Pulau Komodo? Di lokasi ini, Anda dapat melakukan berbagai kegiatan menarik. Di antaranya yakni berfoto dengan latar belakang pulau cantik, tinggal di kapal pinisi, menyelam, menjajal trekking, dan masih banyak lagi.
-
Dimana Pulau Komodo terletak? Lokasi Pantas Pink ini sendiri berada di bagian selatan Pulau Komodo.
-
Kapan Pulau Komodo mulai populer? Labuan Bajo adalah salah satu dari lima Destinasi Super Prioritas yang sedang dikembangkan di Indonesia.
-
Mengapa komodo terancam punah? Ancaman terhadap kelangsungan hidup komodo termasuk perusakan habitat, perubahan iklim, dan penangkapan liar.
-
Mengapa Pantai Kodok ramai dikunjungi? Saat hari libur, lokasi ini dipenuhi oleh para pengunjung dari luar daerah yang ingin menghabiskan waktu di Pandeglang.
Peneliti dari Sunspirit for Justice and Peace, Venan Haryanto, menegaskan penolakan publik terhadap proyek di kawasan TN Komodo tidak hanya dipicu foto viral tersebut. Perjuangan masyarakat sudah dibangun sejak lama. Penolakan juga bukan hanya terkait proyek Geopark. Masyarakat sesungguhnya berkaitan dengan semua proyek pembangunan yang sedang dan akan berjalan di kawasan TN Komodo. Baik yang dikerjakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian PUPR maupun proyek-proyek yang digarap sejumlah perusahaan swasta.
"Kalau menempatkan ini dalam konteks besar, penolakan kita bukan hanya penolakan pembangunan sarpras (sarana prasarana) ini saja, tapi sejak 2018 ada satu perusahaan namanya PT Sagara Komodo Lestari yang mau membangun sarana prasarana untuk tujuan bisnis pariwisata alam di pulau Rinca juga. Persis bersebelahan dengan proyek yang sekarang ini," tegas Venan, sapaan akrabnya, kepada Merdeka.com, pekan lalu.
Infografis Kuasa Lahan di TN Pulau Komodo ©merdeka.com/Sunspirit for Justice and Peace
Jika dikelompokkan maka ada dua jenis pembangunan yang berlangsung di kawasan TN Komodo. Pertama pembangunan infrastruktur atau pembangunan spasial yang meliputi pembangunan Geopark di Loh Buaya, dermaga di Pulau Padar, dan kawasan kuliner juga di pulau padar. Proyek-proyek ini dibangun pemerintah dengan dana APBN.
Sementara itu ada juga pembangunan perusahaan swasta. Selain pembangun spasial, ada juga pembangunan non-spasial yang berkaitan dengan rencana penataan baru terhadap beberapa destinasi di Kawasan TN Komodo.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan, pembangunan yang dilakukan merupakan bagian dari penataan menyeluruh Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Proyek yang dikerjakan PUPR berkaitan dengan pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata. Salah satunya di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo.
Penataan Kawasan Pulau Rinca terdiri atas beberapa kegiatan yang meliputi pembangunan Dermaga Loh Buaya, yang merupakan peningkatan dermaga eksisting. Selanjutnya pengerjaan bangunan pengaman pantai sekaligus berfungsi sebagai jalan setapak untuk akses masuk dan keluar ke kawasan tersebut, dan Elevated Deck pada ruas eksisting.
Elevated deck ini berfungsi sebagai jalan akses yang menghubungkan dermaga, pusat informasi serta penginapan ranger, guide dan peneliti. Rancangan setinggi 2 meter ini sengaja dibangun agar tidak mengganggu aktivitas komodo dan hewan lain yang melintas serta melindungi keselamatan pengunjung.
Selain itu, ada juga pengerjaan bangunan Pusat Informasi yang terintegrasi dengan elevated deck. Di antaranya kantor resort, guest house dan kafetaria, serta pengerjaan Bangunan penginapan untuk para ranger, pemandu wisata, dan peneliti, yang dilengkapi dengan pos penelitian dan pemantauan habitat komodo.
Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR Endra S Atmawidjaja merinci, elevated deck memiliki panjang sekitar 630 meter dan lebar 4 meter. Elevated deck ini akan menjadi penghubung antara dermaga dan pusat informasi sebagai bangunan utama. Sedangkan fasilitas dermaga terdiri dari dermaga statis dari beton dan kayu ulin dengan panjang 100 meter dan lebar 4 meter. Juga empat buah dermaga apung yang lebarnya 3 meter dan panjangnya 20 meter.
"Kapasitas kapal 16 buah sekali sandar sekaligus, dengan panjang kapal 15 meter/buah," kata Endra kepada merdeka.com, pekan lalu.
Total anggaran dibutuhkan untuk peningkatan kualitas Loh Buaya, Pulau Rinca, sekitar Rp 97 Miliar. Terdiri dari kegiatan pengaman pantai dan dermaga sebesar Rp47 Miliar dan pengerjaan sarana dan prasarana pendukung, seperti elevated deck, pusat informasi dan penginapan ranger/peneliti sebesar Rp50 Miliar. Anggaran proyek berasal dari APBN.
Pengerjaan akan dilakukan PT Karya Pembangunan Rezki dan PT. Selosari (KSO) untuk kegiatan pengaman pantai dan dermaga. Sementara pengerjaan sarana prasarana akan dilakukan PT Syarif Maju Karya.
Venan menegaskan dasar pijak penolakan dilakukan masyarakat, yakni status TN Komodo sebagai wilayah konservasi. Tentu di dalamnya perhatian besar diberikan kepada Komodo sebagai salah satu hewan termasuk dalam kategori terancam punah. "Ini bukan karang-karangan kita, tapi sudah diberikan pengakuan oleh lembaga internasional. Bahkan penelitian sudah membuktikan bahwa ini binatang yang sangat rentan akan kepunahan," ujar Venan.
Kesadaran tinggi akan pentingnya perlindungan terhadap wilayah konservasi jelas dia sudah ada dalam benak masyarakat, baik yang tinggal dalam kawasan Taman Nasional maupun masyarakat Labuan Bajo. Kesadaran itu terbentuk lewat proses edukasi yang panjang, sejak Taman Nasional Komodo diresmikan beberapa dekade lalu. Hal tersebut membuat masyarakat mengawasi secara ketat berbagai kegiatan berlangsung di kawasan Taman Nasional.
Sebagai contoh, kegiatan seperti menerbangkan drone saja mendapat perhatian dan pengawasan ketat. Apalagi sebuah proyek pembangunan.
Kesadaran untuk mengedepankan konservasi juga harus dibayar mahal masyarakat dengan merelakan mata pencahariannya. Banyak masyarakat yang dulunya nelayan harus beralih profesi lantaran tempat mereka beraktivitas masuk dalam kawasan konservasi. "Masyarakat di Pulau Komodo tidak bisa lagi melaut karena kawasan konservasi. Mereka untuk mendapatkan kayu saja harus dibeli di Labuan Bajo. Artinya sampai seketat itu."
Karena itulah, wajar jika masyarakat kaget dan menyuarakan penolakan terhadap pembangunan sedang berlangsung di kawasan Taman Nasional Komodo. Selain alasan konservasi sebagai faktor utama, penolakan juga berkaitan dengan alasan ekonomi.
Lembaga peneliti Sunspirit for Justice and Peace terus memperjuangkan adanya keadilan dalam distribusi pendapatan yang bersumber dari usaha di kawasan Taman Nasional. Patut diakui bahwa kehadiran banyak perusahaan swasta dengan penguasaan lahan besar bisa berdampak buruk bagi pelaku usaha pariwisata berskala kecil dan menengah. Pendapatan pengusaha kecil hampir dapat dipastikan tergerus.
Sejauh ini pemerintah telah memberi lahan seluas 151,94 hektar kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) untuk Izin Pengusahaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA). Di atas lahan itu akan dibangun rest area seperti villa, restoran, unit penginapan staf dan jetty. Pemerintah juga tengah mengurus izin bagi PT Flobamora, BUMD milik Provinsi NTT bersama mitranya, untuk bisnis wisata alam di Pulau Komodo.
Di Pulau Rinca, berdekatan dengan area geopark, pemerintah telah memberi konsesi kepada PT Sagara Komodo Lestari (SKL) untuk bisnis sarana pariwisata alam di atas lahan seluas 22,1 hektar. PT SKL juga akan membangun rest area seperti villa, restoran, unit penginapan karyawan, office park di atas lahan ini.
Di Pulau Padar juga akan dibangun sejumlah infrastruktur. PT KWE yang berinvestasi di Pulau Komodo juga telah mengantongi lahan seluas 274,13 ha untuk bisnis pariwisata alam di Pulau Padar. Sama seperti di Pulau Komodo, PT KWE juga akan membangun rest area di Padar. Sementara itu, dalam rangka mendukung wisata super-premium Taman Nasional Komodo, akan dibangun sentra kuliner dan dermaga kelas premium di Pulau Padar.
Selanjutnya Pulau Tatawa, sebuah Pulau Kecil dekat Padar. Pemerintah memberikan lahan seluas 17 ha kepada PT Synergindo Niagatama (SN) untuk bisnis pariwisata alam pada 2019. Sementara itu, tepat di gerbang timur Taman Nasional Komodo, di daerah Golo Mori, pemerintah telah merencanakan untuk membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di atas lahan seluas 560 ha. Di atas lahan ini, pemerintah akan membangun hotel-hotel berbintang lima dan convention center. Golo Mori ini dalam rencana bakal menjadi lokasi KTT negara-negara G-20 tahun 2023.
"Dengan kehadiran perusahaan swasta ada satu wajah pembangunan yang terjadi relasi asimetris antara para pengusaha yang difasilitasi negara dengan usaha-usaha kecil masyarakat. Sama saja suruh tikus bermain dengan kucing. Pasti mati lah tikusnya,” ungkap dia.
Rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan pulau Komodo sebagai destinasi wisata super premium dengan tiket masuk diperkirakan sebesar USD 1.000 - 2.000, atau Rp14-28 juta per orang. Usulan ini muncul dari Menko Maritim dan Investasi Luhut B Panjaitan pada Oktober 2019. Wisata ini sengaja dibuat mahal dengan alasan demi menjaga kebersihan dan keamanan binatang Komodo.
Pemerintah juga masih membuka ruang bagi pengunjung nonpremium agar bisa melihat Komodo di habitat aslinya. Lokasi tersebut bukan di Pulau Komodo melainkan pulau lain di sekitarnya. Seperti Pulau Rinca dan Pulau Padar. Adapun konsep pembangunan wisata premium Pulau Komodo diakui Luhut meniru pengelolaan wisata di Afrika.
Konsep pemerintah ini menjadi penolakan. Bagi Venan, selama ini penduduk di kawasan Taman Nasional Komodo telah menjadi bagian penting dari rantai ekonomi pariwisata dengan menjadi pengrajin, pengusaha souvenir dan jasa homestay. Dengan demikian, penerapan wisata eksklusif untuk Pulau Komodo berpotensi mematikan rantai ekonomi bagi para pelaku wisata skala kecil ini.
Jika menilik branding destinasi wisata Taman Nasional Komodo maka pembangunan berbagai proyek yang dilakukan sebenarnya melupakan esensi Taman Nasional Komodo sebagai destinasi wisata alam. Misalnya pembangunan elevated deck. Pembangunan tersebut justru dikhawatirkan menurunkan citra Taman Nasional komodo sebagai destinasi wisata alam.
"Justru wisatawan selama ini ke dalam, sensasi pengalaman berwisata alam bahwa mereka berada dalam ketakutan karena tiba-tiba ada Komodo. Itu sensasinya. Itu experience-nya. Dan selama ini berjalan baik," imbuh dia.
Alasan berikut yang menjadi dasar penolakan, terkait dengan konsultasi publik terkait pembangunan yang dinilai minim. Sebab hanya melibatkan sekelompok kecil masyarakat. Misalnya pembangunan geopark di Pulau Rinca yang hanya melibatkan masyarakat kampung Rinca sebagai perwakilan untuk konsultasi publik. Demikian juga pembangunan di pulau Komodo.
Pihaknya mendorong adanya proses pengambilan keputusan terkait pengembangan kawasan Taman Nasional Komodo yang demokratis dan melibatkan partisipasi publik yang luas. Jangan sampai proses pengambilan keputusan berlangsung sangat teknokratis. Dalam arti kebijakan disusun di pusat lalu tinggal dibawa untuk dikerjakan di daerah. "Tiba-tiba datang ke sini langsung suguhkan ke kita roadmap yang sudah jadi."
Kementerian PUPR menegaskan bahwa penataan kawasan Pulau Rinca akan dijalankan dengan hati-hati. Demi melindungi Taman Nasional Komodo sebagai World Heritage Site UNESCO yang memiliki Outstanding Universal Value (OUV). Kementerian PUPR bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melalui Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) yang ditandai dengan penandatanganan kerja sama pada 15 Juli 2020.
Koordinasi dan konsultasi publik yang intensif terus dilakukan, termasuk dengan para pemangku kepentingan lainnya, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan di lapangan untuk mencegah terjadinya dampak negatif terhadap habitat satwa, khususnya komodo.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, pembangunan infrastruktur pada setiap Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) direncanakan secara terpadu baik penataan kawasan, jalan, penyediaan air baku dan air bersih, pengelolaan sampah, sanitasi, dan perbaikan hunian penduduk. “Melalui sebuah rencana induk pengembangan infrastruktur yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi,” ujar dia dalam keterangannya.
Izin Lingkungan Hidup terhadap kegiatan Penataan Kawasan Pulau Rinca di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai Barat telah terbit pada 4 September 2020 berdasarkan Peraturan Menteri LHK No 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup yang telah memperhatikan dampak pembangunan terhadap habitat dan perilaku komodo.
Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, mengatakan pembangunan sarana dan prasarana (sarpras) di Loh Buaya, Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, tetap mematuhi kaidah konservasi demi keberlangsungan ekosistem di daerah itu. Dia bahkan menegaskan tidak pembangunan tidak boleh sampai mengorbankan satwa endemik tersebut. Pembangunan sarpras di Pulau Rinca rencananya seluas 1 hektar.
Dia menyebutkan, sejumlah sarpras yang sedang dalam proses pembangunan di Loh Buaya di antaranya dermaga Loh Buaya, pengaman pantai, elevated deck, pusat informasi, pondok ranger/peneliti/pemandu. Saat ini pembangunan tengah memasuki tahap pembongkaran bangunan yang eksisting dan pembuangan puing, pembersihan pile cap, dan pembuatan tiang pancang. Wiratno mengatakan, sarpras ini tidak dibangun pada lokasi baru melainkan lokasi lama yang sebelumnya juga sudah dibangun sarpras namun tidak secara terpadu.
"Untuk itu pembangunan sarpras ini kita benahi secara terpadu. Kalau dulu kan terpisah-pisah dan juga belum lengkap," katanya.
Dia mengatakan, dalam proses pembangunan sarpras juga dijaga secara ketat oleh sebanyak 10 ranger untuk memastikan bahwa tidak ada Komodo di sekitarnya. Para ranger ini setiap hari memeriksa di bawah puing-puing bangunan, di bawah kendaraan, dan sekitarnya untuk memastikan tidak ada Komodo saat pembangunan dilaksanakan.
Adapun tujuan pembangunan sarpras di Loh Buaya untuk meningkatkan fasilitas berstandar internasional sekaligus untuk menjaga keberlangsungan ekosistem satwa purba Komodo itu sendiri. Dengan pembangunan ini maka nantinya pengunjung tidak lagi berinteraksi langsung dengan satwa Komodo seperti selama ini melainkan berada pada jarak tertentu untuk melihat Komodo. Nantinya pengunjung juga bisa mendapat berbagai informasi mengenai alam dan Komodo pada pusat informasi yang akan dibangun.
Saat ini, proses pembangunan di Loh Buaya, Pulau Rinca masih sedang berlangsung. Dalam pantauan Venan dan rekan, di lokasi proyek sedang berlangsung proses penggusuran yang dibantu alat berat berupa eskavator dan sejumlah truk pengangkut material. Aktivitas di Loh Buaya untuk sementara dihentikan dulu.
Menurut dia, selama ini sudah ada sarana dan prasarana yang dibangun untuk mendukung kegiatan pariwisata di kawasan tersebut. Sarana dan prasarana itu, menurut dia sudah digusur sehingga dapat dibangun sarana dan prasarana yang baru. "Digusur semua itu," kata dia menegaskan.
(mdk/ang)